Minggu, 28 Juni 2020

Untuk Notre

Minggu, 28 Juni 2020
Hai, Nak.

Aku mengenal Ayahmu di suatu malam yang biasa, pada Kamis Kliwon 8 Oktober 2015. Itu adalah hari dimana Svetlana Alexandrovna Alexievich mendapatkan nobel sastra, serta hari pertama kepulanganku dari Pulau Lombok.

Notre, kamu adalah titipan Tuhan yang dinanti-nanti oleh banyak orang, tak hanya oleh Ayah dan Ibumu saja. Kamu adalah kabar gembira di masa krisis. Kamu adalah Yahya bagi Zakaria.

Kamu adalah Notre bel enfant.

Betapa Ayah dan Ibumu begitu menjaga perasaan kami sehingga kami baru mengerti kabar gembira tentang kamu pada 9 Februari 2020 di Breez Cafe, setelah ditiupkan ruh di dalam dirimu. Satu bulan kemudian, pandemi sampai juga di negeri kita. Ayahmu seorang pekerja medis yang mencintai musik, sedangkan Ibumu adalah seorang dokter gigi. Di hari-hari yang kacau informasi, kami suka bertanya kabar pada orangtuamu. Suka bertanya seputar informasi kesehatan. Hari-hari yang sulit membuat kami jarang berjumpa. Meski begitu, toh kita sempat melakukan perjalanan bersama di kecamatan sebelah pada 22 Maret 2020, sehari sebelum aku merayakan hari lahir.

Anak kami yang cantik.

Bukan sesuatu yang mudah menanti kehadiranmu di masa sulit. Aku dan istriku punya sahabat di kabupaten sebelah, tepat di sisi timur Jember. Dia seorang dokter gigi yang (waktu itu) juga sedang mengandung. Ia sekeluarga adalah pasien positif pertama di kabupaten itu. Masya Allah, betapa beratnya rintangan yang harus dihadapi sahabat kami sekeluarga, hingga ia melahirkan buah hati pertamanya. Ibumu, kurasa ia lebih tenang. Tentu karena situasi yang dihadapi berbeda, juga karena orangtuamu sehat wal afiat. Mereka hanya bertetangga dengan pasien positif pertama di kecamatan Kalisat. Rumah yang jejer tak membuat mereka panik. Orangtuamu tenang, atau berusaha tenang, atau resah tapi pura-pura tenang. Atau apalah, yang pasti mereka tampak tenang. Biasa saja. Terukur sewajarnya. Berpikir seluas-luasnya. Itu tentu baik untuk tumbuh kembangmu di dalam rahim.

Notre.

Limabelas hari sebelum kamu dilahirkan di Rumah Sakit Jember Klinik, Ibumu masih sempat-sempatnya berbagi kisah tentang 'Dokter Gigi di Masa Pandemi' di rangkaian acara bincang-bincang sepanjang bulan Juni.

Pada 20 Juni lalu, aku ke rumahmu. Ditemani oleh Pak Puh Inor Ps dan Pak Puh Hidayat Kanurahman. Aku sedang butuh bantuan Ayahmu untuk record lagu. Aku bilang pada Ayahmu, "Lagu iki gawe acara sesok, Mas. Pembicarane Puthut Ea. Hanya untuk diputar satu hari saja, 21 Juni 2020, di Live IG Sudut Kalisat." Lalu kami pun melakukan proses recording sederhana. Lagu itu berjudul mojok di Jogja.

Notre, rupanya malam itu kami tak hanya record satu lagu. Ada satu lagu lagi yang kami rekam hanya dengan iringan keyboard. Ayahmu yang memainkan keyboard itu. Ketika take vocal, aku bernyanyi dengan pelan tapi nyresep. Selain memang sudah nyaman dengan volume pelan, aku khawatir mengganggu waktu istirahatmu di dalam rahim.

Hari telah larut ketika lagu yang berjudul 'Tersesat di Kalisat' itu usai direkam. Kalender telah berganti menjadi 21 Juni 2020. Bagiku, itu adalah hari yang istimewa, sebab di hari itulah istriku sedang merayakan hari lahirnya. Tentu saja lagu kedua yang kami record tersebut adalah kado kecil untuk dia. Kami menyebut hari itu sebagai hari yang layak untuk dikenang. Ada kado kecil, ada juga kisah yang lain.

Sabtu, 27 Juni 2020 pukul 17.30, Ibumu menyampaikan kabar gembira tentang kehadiranmu. Alhamdulillah Ya Allah. Kami turut bahagia atas kehadiranmu.

Kemarin aku tak sempat menuliskan ini. Sesorean kemarin, aku dan istriku sedang menikmati hari di desa Sumberjati, Silo. Sepulangnya dari sana, Kakakku datang. Tentu senang sebab sudah lama kami tak jumpa. Kami menikmati senja hari setekah maghrib dengan menggoreng tahu susu 'Mbok Dhe' yang terkenal itu. Malam harinya, ada perbincangan di Live IG Sudut Kalisat bersama Fawaz. Temanya menarik, mimpi tak bertepi.

Notre, selamat datang di dunia yang indah sekaligus penuh tipu daya ini. Tak perlu khawatir, kamu telah ada di lingkungan yang tepat. Pastilah merdu melihatmu bertumbuh.

Sabtu, 27 Juli 2019

Ibu Evri, Ada Apa?

Sabtu, 27 Juli 2019
Pada Rabu Kliwon, 24 Juli 2019, Mbak Esti berencana mengikuti jadwal kunjungan Ibu Aries Soraya dari Dinsos Jatim ke beberapa titik. Mula-mula di petilasan gugurnya Moch. Sroedji dan pasukannya, di desa Karang Kedawung, Mumbulsari, Jember. Lalu berkunjung ke dua veteran; Bapak Samsoedin di Gunung Malang - Sumberjambe. Berikutnya adalah di kediaman Bapak Mawi alias Haji Lipa di Gang Cempaka - Sukowono.

Mbak Esti datang dari Jakarta. Ia mewakili keluarga Moch. Sroedji di acara verifikasi Tim Peneliti Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) terkait pengusulan Letkol Moch. Sroedji sebagai pahlawan nasional. Di kegiatan tersebut, posisi saya seharusnya hanya menemani Mbak Esti, tidak ada hubungannya dengan TP2GP, Dinsos Jember, Dinsos Propinsi, dan Kemensos RI.

Karena sudah mengenal Mbak Esti, saya bilang padanya kalau jalur Karang Kedawung menuju Sumberjambe maupun Sukowono akan melewati desa Jatian, Pakusari. Alangkah baiknya bila Mbak Esti menyediakan waktu untuk menengok Pak Moelijan alias Pak Sus, mantan pejuang yang kini sedang sakit. Mbak Esti setuju. Ia antusias. "Coba aku komunikasikan juga dengan rombongan yang lain ya." Begitu kata Mbak Esti. Syukurlah, rupanya rombongan lain yang juga terdiri atas perwakilan DHC 45 Jember, mereka bersedia singgah di kediaman Pak Moelijan. Hanya sekedar menengok --bukan bagian dari verifikasi lapang.

Di hari tersebut, saya dan Hana tidak ikut di acara pertama, berkunjung ke petilasan Karang Kedawung. Acara dimulai lebih molor, dari jadwal yang direncanakan. Ia juga berakhir molor, karena rupanya di sana juga ada perangkat desa dan kecamatan, pemuda desa setempat --teman-temannya Windu-- dan rombongan Pemuda Panca Marga Jember. Saya dan Hana yang lama menunggu di Kalisat, akhirnya berinisiatif untuk berangkat terlebih dahulu ke rumah Pak Moelijan di Jatian. Untuk kunjungan ke Pak Samsoedin, kami meminta bantuan Edi dan Cak Har. Edi adalah putra bungsu Pak Samsoedin dari istrinya yang terakhir --istri nomor tujuh. Sedangkan untuk kunjungan ke rumah Pak Mawi, sudah diurus oleh Pak Erfan dan Mas Rendra. Kami selalu berkomunikasi dan tinggal menanti kesiapan rombongan.

Saat kami telah ada di desa Jatian, Edi dan Cak Har menyusul. Mereka datang dari arah rumahnya, desa Sumberjeruk kecamatan Kalisat. Lumayan lama kami menanti rombongan tiba di desa Jatian.

Di siang hari yang panas tersebut, tiba-tiba ada yang menelepon Hana. Mula-mula Mbak Esti yang menelepon melalui ponselnya. Lalu Mbak Esti menyerahkan (ponselnya) pada Ibu Evri dari DHC 45 Jember. Entah karena kelelahan atau karena cuaca yang terik, Ibu Evri menggunakan pilihan kata yang terbilang kasar, seolah-olah kami ini anak buahnya di DHC 45 Jember.

"Habis ini kita langsung ke Pak Marwi saja, yang rumahnya dekat gladak Ajung. Tapi saya tidak tahu rumahnya."

Hana tidak tahu siapa yang dimaksud, karena nama yang disebut oleh Bu Evri bukan merupakan tujuan kami. Salah satu tujuan kami seharusnya bernama Mawi, bukan Marwi. Ketika Hana mencoba menjelaskan duduk perkara soal nama yang berbeda itu, belum selesai sudah dipotong oleh Ibu Evri.

"Tidak usah ke Jatian! Langsung ke Pak Marwi saja. Minta tolong dipersiapkan semua dan dikondisikan. Soalnya yang datang ini dari Provinsi. Beneran lho, harus dikondisikan dan disiapkan, biar nggak malu-maluin."

Sampai pada kalimat 'biar nggak malu-maluin,' Hana sudah tak tahan mendengarnya. Ia tak jelas lagi dengan apa yang dikatakan oleh Ibu Evri selanjutnya. Lalu Hana menutup telepon yang tak menyenangkan hati itu. Beberapa detik kemudian, Hana menghubungi Windu --dari Yayasan/Universitas Moch. Sroedji-- melalui whatshapp.

Zuhana AZ: Mas, Bu Evri ojok karepe dewe nek nggawe janji. Mesakne mbah moelijan iki sing ngenteni. Wonge wes sepuh lagi gerah. Mesakne. Njenguk sediluk ae.

Zuhana AZ: Tak pikir wingi golongane dinsos karo Bu Evri gak melu.

Windu hanya menjawab singkat, "Otewe."

Benar juga. Rupanya rombongan meluncur dari Karang Kedawung menuju desa Jatian. Mereka jadi menjenguk Bapak Moelijan alias Pak Sus yang sudah hampir satu tahun ini ada di kondisi kesehatan yang buruk. Kini mantan pejuang tersebut sudah tak lagi bisa berjalan normal --berdiri-- melainkan ngesot.

Moelijan. Dulu ia seorang pejuang. Mulanya lelaki kelahiran 1920an ini hanya seorang petani biasa. Tapi semua menjadi berbeda ketika dirinya ikut pendidikan TKR 1946 di Prajekan, Bondowoso, di bawah pimpinan Letnan Beno. Tugas pertamanya adalah ketika ia dikirim di front Surabaya, tepatnya di desa Prasung Tani. Ia di sini selama tiga bulan. Setelah itu ada perintah GAIS atau pulang ke tempat masing-masing. Singkat cerita, pada pertengahan 1947, ketika pasukan Belanda telah memasuki wilayah Jember, ia bergabung pada COG 3 Resimen 39. Front meliputi desa Jatian, Pring Tali, Mumbulsari, dan Garahan. Ketika terjadi Hijrah TNI pada pemula 1948, Moelijan tak turut serta.

Rombongan yang tiba tersebut berjumlah delapan orang. Dari Dinsos Jatim ada Ibu Aries Soraya dan dua rekannya. Dari Dinsos Jember ada Bapak Didik. Ada Mbak Esti dan tentu saja Windu. Lalu Ibu Evri dari DHC 45 Jember, serta Bapak Bambang dari Pemuda Panca Marga Jember. Yang saya sebut terakhir ini, saya tidak mengenalnya. Dengan Ibu Evri pun, baru di rangkaian acara ini saya jumpa dengannya.

Sejak Pak Moelijan sakit, kamarnya dipindah di belakang sendiri, di antara dapur dan sumur. Kamar sekecil dan sepengap itu tentu tak cukup untuk memuat delapan orang ditambah saya, Hana, Edi, dan Cak Har. Maka saya memilih untuk berada di luar bersama Windu dan Cak Har. Adapun suasana di dalam kamar Pak Moelijan bukan lagi tentang menjenguk orang sakit, tapi lebih ke semacam interogasi. Hanya ada dua orang yang antusias melakukannya, Ibu Evri dan Pak Bambang. Mereka menanyakan masa hijrah, dijawab oleh pak Moelijan. Padahal saya tahu ia tak turut hijrah ke Karesidenan Kediri. Ia hanya sedang menceritakan pengalaman teman-temannya, dan suka karena ada yang bertanya.

Edi ada di dalam ruangan karena dimintai tolong untuk mendokumentasikan itu --dengan ponsel milik Edi sendiri. Hana juga ada di dalam ruangan, agak ke tepi di dekat sumur. Ia berdua dengan Ibu Sus, satu-satunya putri dari Pak Moelijan. Hana ada di sana karena khawatir sewaktu-waktu Mbak Esti butuh sesuatu.

Kisah 'menjenguk Pak Moelijan' adalah kisah yang panjang. Itulah kenapa esok malamnya kami berdua merasa perlu untuk sowan kembali ke rumahnya di Jatian. Minta maaf.

Ada lima poin alasan saya minta maaf:

1. Cara Ibu Evri dan Pemuda Panca Marga (Bambang S.) bertanya

2. Ketika melihat (sisa) dokumen milik Pak Moelijan, Bu Evri dan Pak Bambang berebut. Mungkin karena terlalu semangat. Menurut putri Pak Moelijan, sebagian dari kertas-kertas itu mereka bawa pulang

3. Bu Evri menjanjikan akan menguruskan semacam 'uang veteran' kepada Pak Moelijan

4. Bila hanya menjenguk, itu adalah durasi yang sangat lama. Di sisi lain, Pak Moelijan sedang sakit

5. Pernyataan dari Bu Evri yang membuat anak cucu keberatan, "Kalau Bapak mati, segera hubungi saya. Catat nomor saya."

Itu semua terjadi di luar sepengetahuan saya, karena posisi saya waktu itu ada di luar ruangan.

Kesan lain didapat oleh Hana dari Pak Bambang --Pemuda Panca Marga Jember-- saat kami hendak meninggalkan rumah Pak Moelijan.

Ketika rombongan mau pulang dari rumah Pak Moelijan, Pak Bambang dari Pancamarga bertanya pada saya setelah menyalami semua orang. Dengan gaya bicara yang sedikit meremehkan, atau memang gaya bicaranya seperti itu, dia bilang, "Anda ini siapa dan dari mana, ikut siapa kok dari tadi ada di sini?," Saya jawab, bukan siapa-siapa.

Meski demikian, pada hari itu, saya dan Hana menjamu keduanya sebaik yang kami bisa. Mungkin mereka berdua hanya sedang lelah. Karena bagaimanapun, tugas kami adalah menemani Mbak Esti dan menjaga martabat perwakilan keluarga.


RZ Hakim © 2014