Sabtu, 07 Juli 2012

Asal Usul Jember Dari Katanya ke Katanya

Sabtu, 07 Juli 2012
Oleh RZ Hakim

Teman-teman, sepengetahuan saya, kata 'asal usul' di KBBI dalam jaringan/online masih belum dijelaskan secara detail. Ia hanya memaparkan asal, serta usul. Keduanya memiliki kesamaan yaitu sama-sama mencari pangkal permulaan. Sedangkan kata 'asal usul' yang saya maksud dalam artikel ini adalah mengenai bagaimana rakyat Jember memandang sejarah diri dan lingkungan kehidupannya, dari kisah lisan yang pernah mereka dengar, dari generasi sebelumnya. Tentu ia berbeda dengan bidang sejarah yang bersifat non-fiksi. Maka dari itu, di belakang kalimat 'asal usul Jember' masih saya tambahkan 'dari katanya ke katanya.' Kita tahu, judul di atas telah bisa menggambarkan apa dan bagaimana isi catatan ringan di bawah ini. Terima kasih.

Ketika mencoba menguraikan asal usul Jember, saya mendapati sebuah kenyataan, bahwa Jember memiliki lebih dari satu versi asal usul. Berikut adalah beberapa versi tentang asal usul Jember.

1. Jember dimulai dari kata Jembrek

2. Jember adalah perpaduan dua kata: Jembar dan Jembher

3. Jember berasal dari nama seorang putri, yaitu Putri Jembersari

Sebelum saya meneruskan menulis, mari kita mencari satu kesepahaman dahulu tentang apa itu asal usul.

Yang akan saya tuliskan ini bersifat legenda. Berbeda dengan sejarah akademis yang kejadiannya ditentukan oleh data yang disinyalir akurat dan narasumber komprehensif --juga menyangkut ruang dan waktu, legenda lebih dekat dengan folklor lisan.

Legenda seringkali mengalami pengurangan dan penambahan cerita, dari berbagai sisi. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati saya mengundang rekan-rekan yang sekiranya ingin menambahkan dan atau mungkin memberi kripik pedas, sebagai tambal sulam dan apresiasi pada tulisan ini. Terima kasih sebelumnya.

Jember Dimulai Dari Kata Jembrek

Saya masih sangat bocah ketika Bapak mendongengkan kisah ini. Tentang Jember di masa lampau.

Bapak bilang, dulu Jember adalah sebuah hutan yang lebat dengan pohon yang sangat besar. sebegitu besarnya pohon tersebut, orang dewasa tidak bisa merangkul dan mempertemukan jemari tangan kiri dan kanannya. Butuh lebih dari satu orang untuk merangkul sebatang pohon. Itu cara Bapak mengilustrasikan diameter pohon.

Selain hutan dan segala isi di dalamnya, yang ada hanya sungai, gundukan tanah, dan lautan rawa. Jika-pun ada tanah yang terhampar, bisa dipastikan tanah tersebut adalah tanah yang becek. Orang-orang menyebut wilayah ini dengan Jembrek. Bisa diartikan becek dan berlumpur. Kondisi tersebut semakin menjadi-jadi manakala turun hujan.

Jika turunnya hujan sangat deras, wilayah yang terbentang di kaki Pegunungan Hyang dan tak jauh dari Gunung Raung ini juga rawan banjir. Sungai-sungai akan meluapkan air. Kata Bapak, ini namanya banjir maling.

Seiring berlalunya waktu, pengucapan kata Jembrek berubah menjadi Jember.

Saat saya besar, saya menemukan sebuah situs blog yang memuat tulisan (hasil wawancara dari seorang jurnalis Suara Soerabaia bernama Tiong Gwan. Dia berhasil membuat tangkapan sesaat mengenai situasi kota Jember tahun 1920. Berikut adalah cuplikannya.

Bila ada toeroen oedjan ketjil sadja, soedah tjoekoep membikin straat Djember berobah mendjadi laoetan loempoer.

Jember di tahun 1920:

Tiong Gwan toelis:

Keadaan kota Djember sekarang ini keliatan bagoesnja. Di sini soedah banjak sekali didirikan roemah2 baroe, begitoelah roemah jang paling modern.

Selainja itoe, semoea roemah bedak sekarang pada dirombak dan dibikin baroe. Kantoor post, jang kita tempo doeloe pernah oesik lantaran kotornja, hingga tiada pantes diseboet postkantoor, sekarang ini djoega tiada maoe ketinggalan. Tempo doeloe bila orang ada keperloean di kantor post selaloelah moesti saling mendesak, sebab tempatnja ada terlaloeh ketjil, tetapi sekarang aken diadaken anem local dan roeangannja aken lebih loeas lagi.

Tetapi sedang keadaan roemah2 pada berobah mendjadi baikan, adalah straatnja Djember selaloeh tinggal membikin poebliek poenja tjomelan. Bila ada toeroen oedjan ketjil sadja, soedah tjoekoep membikin straat Djember berobah mendjadi laoetan loempoer. Tetapi bila tiada toeroen oedjan, lantas itoe laoetan loempoer mendjadi kebon deboe, hingga bila ada angin sedikit sadja, lantas itoe deboe mengeboel ke antero djoeroesan. Ini tentoe sadja meroegikan bagi prikesehatan.

Terlebih lagi bila ada auto djalan, wah, djangan harap orang bisa bernapas, bila tiada maoe makan deboe.

Betoel sekarang ini di tepi-tepi straat orang moelain adaken solokan, tetapi tiada begitoe dalem, hingga satoe kali ada toeroen oedjan, aernja bila mengalir di sitoe solokan soedah tertoetoep loempoer poela.

Kita harep sadja ini keada’an bisa berobah.


Catatan peninggalan Tiong Gwan tersebut mengingatkan saya akan cerita Bapak tentang asal usul kota kecil Jember yang dimulai dari kata Jembrek.

Ada satu lagi kisah menarik yang saya temukan di makalah Drs. Edy Burhan Arifin. Berikut adalah sepenggal kisah tersebut:

Jember di abad XIX :

Sebelum berkembangnya perkebunan, kondisi jembatan dan jalan di Jember sangat jelek, pada musim hujan jalan-jalan becek dan banjir. Seperti yang dikisahkan dokter Greve yang mendapat tugas di Jember dan tempat prakteknya di sebelah kiri sungai Bedadung. Pada musim hujan Greve tidak bisa praktek karena terhalang banjir dan tidak ada sarana jembatan. Kesulitan sarana itu mendorong dia untuk menulis laporan pada Bataviasche Bladen, dan artikelbnya berjudul “Een auklacht tegen den direktur Burgelijk Openbare Werken” Artikelnya berisi keluhan terhadap direkyut Dinas Pekerjaan Umum (BOW). Tulisan dr Greve memperoleh tanggapan positif dari pemerintah. Sejak saat itu pemerintah banyak membangun jembatan yang kokoh.


Jember Adalah Perpaduan Dua Kata: Jembar dan Jembher

Pada jaman dahulu, ketika pulau Jawa masih lebih banyak hutan belantara dibanding populasi yang ada, manusia seringkali melakukan perpindahan untuk mencari tempat tinggal yang lebih baik.

Ini bercerita tentang dua kelompok migrasi.

Kelompok pertama berasal dari suku Jawa. Jawa Timur pedalaman. Seperti Kediri, Tulungagung, Trenggalek, Blitar, Bojonegoro Ponorogo dan sekitarnya.

Kelompok migrasi kedua adalah Dari suku Madura. Kedua kelompok tersebut bermigrasi. Mencari tempat yang lebih baik dari sebelumnya. Keduanya bertemu pada satu titik.

Kelompok pertama dari suku Jawa berkata,”Nang kene ae, lemahe sik Jembar." Artinya, disini saja tanahnya masih luas. Kelompok kedua dari suku Madura juga berujar, “Iyeh, neng dinnak beih, tananah gik Jembher." Artinya, Iya disini saja, tanahnya masih luas.

Begitulah awal terjadinya akulturasi. Percampuran kebudayaan antara kata Jembar dan Jembher, yang sama-sama memiliki arti, sebuah tempat yang luas.

Seiring dengan berjalannya waktu, dua kata tersebut mengalami perpaduan hingga akhirnya menjadi seperti yang kita tahu saat ini. JEMBER.

Jika merunut dari sisi ruang dan waktu, usia legenda Jember yang berawal dari kata Jembar dan Jembher terbilang sangat muda. Kemungkinan lahir pada pertengahan abad XIX, saat George Birnie dan rekan-rekannya (Mr. C. Sandenberg Matthiesen dan van Gennep) mengajukan ijin untuk membuka usaha di Jember.

Sepintas Tentang Usaha Birnie:

Saya takut salah dalam menulis tanggal (dan beberapa hal). Akhirnya saya membuka kembali lembar catatan tentang Jember yang masih tersimpan sedari jaman sekolah hingga sekarang. Syukurlah, masih ada. Akan saya tuliskan kembali di sini.

Usaha tersebut terwujud 21 oktober 1859, ditandai dengan didirikannya Landbouw Maatsccappij Oud Djember, bergerak di bidang tembakau (jenis Na Oogst). Pada 1909, NV LMOD semakin melebarkan sayapnya dengan tidak hanya pada tembakau, melainkan juga perkebunan aneka tanaman seperti kopi, cacao, karet dsb.

Jember yang tadinya terisolir, berubah menjadi daerah potensial yang terus bertumbuh dan berkembang. Terlebih, pada tahun 1883 Jember mengalami perubahan status. Dari yang semula distrik menjadi regentschap sendiri terpisah dari Bondowoso. Ini berpengaruh pada pembangunan infrastuktur seperti jalan, jembatan, dll. Dengan dibukanya jalur kereta api dari Surabaya menuju Probolinggo dan terus ke Jember, serta dari Jember menuju Panarukan, semakin membuat Jember wow. Jalur kereta api tersebut direncanakan untuk mengangkut produk komoditi eksport menuju pelabuhan Panarukan pada era 1890-an.

Ibarat lampu neon, Jember semakin bersinar dan mengundang banyak serangga. Tidak bisa dielakkan, terjadilah gelombang migrasi besar-besaran dari daerah Madura dan Jawa menuju Jember. Dari sinilah kemungkinan lahirnya perpaduan dua kata antara Jembar dan Jembher.

Sampai hari ini, Jember masih di dominasi oleh dua suku besar tersebut. Jawa dan Madura.

Bagian ini pernah saya tayangkan juga di blog personal acacicu.

Jember Berasal Dari Nama Seorang Putri, Yaitu Putri Jembersari

Dikisahkan pada jaman dahulu kala, hiduplah seorang putri yang cerdas lagi cantik jelita bernama Putri Jembersari. Saat kecil, orang-orang di sekitarnya memanggilnya dengan nama Jember.

Dia hidup di sebuah kampung yang lokasinya ada di dekat laut selatan. diceritakan pula bahwa semua warga di kampung tersebut bekerja sebagai nelayan, hingga kampung tersebut dinamai kampung nelayan. Putri Jembersari sendiri adalah keturunan dari kepala kampung di wilayah tersebut.

Pada saat Putri Jembersari masih kecil (balita), terjadi sesuatu di kampung tersebut. yaitu serangan dari gerombolan perampok. Para perempuan, orang tua, dan anak-anak segera mengungsi dari kampung tersebut. Putri Jembersari juga turut mereka bawa. Sementara itu para lelaki di kampung tersebut bertempur dengan gagah berani. Akan tetapi mereka semua tewas di tangan para perampok.

Rombongan yang mengungsi tiba di sebuah tempat yang ada di dekat sungai bedadung. Ada juga sebuah telaga di sana. Lalu mereka sepakat untuk tinggal dan menetap di sana. Maka dimulailah kegiatan bertahan hidup. Segala yang bisa mereka lakukan, akan mereka lakukan. Mulai dari bercocok tanam hingga mencari ikan di sungai bedadung.

Putri Jembersari yang masih sangat kecil, mereka rawat dengan penuh kasih sayang. Ada juga beberapa orang yang khusus memberi pendidikan pada Putri Jembersari. Ada yang mengajarinya ilmu beladiri, membuat obat-obatan dari akar dan dedaunan, membuat api, berburu, cinta lingkungan, dan masih banyak lagi. Mereka menggemblengnya. Pantaslah jika saat besar nanti Putri Jembersari ibarat sosok harimau jawa. Anggun, cantik, lembut, sedikit pemalu, tapi tidak bisa diremehkan.

Kembali pada para penduduk desa.

Mereka membuat sebuah desa yang baru, dan rata-rata penghuninya adalah perempuan. Kondisi itu membuat mereka kesulitan untuk memilih seorang pemimpin desa. Mereka hidup bersama tanpa pemimpin dalam waktu yang lama.

Hingga pada akhirnya Putri Jembersari semakin matang dan dewasa, para penduduk desa baru itu menunjuknya untuk menjadi seorang pemimpin. Mulanya Putri Jembersari menolaknya, namun akhirnya dia menganggukkan kepala. Dengan satu syarat, dia akan berganti nama menjadi Endang Ratnawati.

Sebenarnya, rakyat lebih senang dengan nama Putri Jembersari. Tapi mereka lebih butuh sosok pemimpin dibanding dengan sebuah nama. pada akhirnya, seluruh rakyat tidak mempermasalahkannya.

Begitulah, Putri Jembersari mengubah namanya menjadi Endang Ratnawati. Dia adalah seorang pemimpin yang dicintai rakyatnya. Mudah baginya untuk memimpin rakyat yang sudah terbukti hebat dalam bertahan hidup. Dalam hati dia berjanji tak akan pernah mengecewakan rakyatnya. itu dibuktikan ketika semakin hari semakin banyak lelaki yang ingin mempersuntingnya. Dengan memilih kata-kata yang baik, sang ketua ini menolaknya. Dia masih ingin mengabdikan hari-harinya untuk rakyat.

Hingga pada suatu hari..

Endang Ratnawati alias Putri Jembersari sedang santai di tepi telaga dekat sungai bedadung. Dia tidak sendirian, melainkan ditemani oleh beberapa sahabat perempuannya. Saat sedang bersantai itulah, tiba-tiba datang sosok laki-laki yang memiliki maksud jahat. Ternyata dia adalah seorang kepala perampok. Dia ingin memperistri Putri Jembersari sekaligus menaklukkan desa. Tentu saja Putri Jembersari menolak dan melawan. Tak bisa terhindarkan, terjadilah perkelahian sengit.

Para sahabat Putri Jembersari tidak tinggal diam, mereka turut melawan. Tapi anak buah kepala perampok tersebut berdatangan. Mereka seperti datang dari segala arah. Alhasil, kisah lama pun terulang. Putri Jembersari tewas di tangan perampok.

Setelah itu, para perampok pergi. Berita kematian Putri Jembersari segera tersebar. Bunyi kentongan bertalu-talu, dengan sandi ketukan yang menandakan adanya berita duka. Rakyat berdatangan dari segala penjuru. Kesedihan pun menyelimuti langit desa tersebut.

Mereka sadar, waktu akan terus berdetak, tak peduli apakah mereka sedang berduka atau tidak. Para penduduk desa ini juga sudah sangat lama ditempa kehidupan. Akhirnya mereka bangkit dan tidak memperpanjang kesedihan, untuk kemudian menguburkan jenasah sang pemimpin yang selalu ada di hati, juga menguburkan para pengikutnya yang gugur.

Hari bersejarah itu ditandai diabadikannya nama kecil Putri Jembersari menjadi nama wilayah tersebut, yaitu JEMBER.

Apresiasi Saya Tentang Putri Jembersari

Kisah di atas adalah rangkaian dari beberapa tuturan (baik tulis maupun lisan) yang coba saya hadirkan kembali. Versi lain, Putri Jembersari tidak pernah berganti nama. Ada juga yang menuliskan nama Putri Jembarsari. Saya tidak tahu (belum menemukan narasumber dan atau data lain) yang mengkisahkan apakah Putri Jembersari dan Putri Jembarsari adalah tokoh yang sama atau berbeda.

Adapun Endang Ratnamawi, ada yang mengatakan bahwa dia figur yang berbeda. Diceritakan bahwa Endang Ratnawati adalah putri dari Raja Brawijaya. Dia memiliki kesukaan menyepi diri dan merenungi semesta. Kesukaannya membuat Endang Ratnawati sering berkelana keluar masuk hutan dan enggan menerima pinangan lelaki yang menaruh hati padanya.

Suatu hari, ketika Endang Ratnawati menyepi diri di sebuah tempat yang terpencil (ada yang berkata lokasinya di tepian Kali Jompo), ada seorang lelaki yang datang dari tempat yang tak terduga, kemudian menodainya. Endang Ratnawati terpukul oleh kejadian itu. Merasa tak lagi berarti, saat itu juga dia bunuh diri. Sebelum meninggal, Endang Ratnawati mengucapkan kata-kata yang lirih, "Jember.."

Orang terakhir yang mendapati kondisinya, mendengar rintihan tersebut. Dan dijadikanlah lirihan tersebut sebagai nama wilayah, tempat dimana Endang Ratnawati menghembuskan nafasnya.

Kembali pada Putri Jembersari

Legenda tentang kehidupan Putri Jembersari di waktu yang lampau sangat menarik bagi saya. Ini adalah satu-satunya legenda yang tidak berbau Nederland Centris. Meskipun sulit diterima di kalangan akademis, tapi mampu menjadi media pengingat setidaknya untuk saya sendiri, bahwa di Jember banyak sekali peninggalan sejarah yang berceceran, tapi tidak memiliki kisah.

Jember, Wilayah Bersejarah Yang Tak Terkisah

Saya pernah membaca artikel di sebuah blog, bahwa di daerah Jatian (dusun Kaliputih) – Rambipuji ada sebuah situs bernama Prasasti Batu Gong. Diyakini, prasasti ini berasal dari masa Hindu dengan aliran Siwa (dari aksara yang berbunyi PARVVATESWARA yang artinya Dewa Gunung), dan hasil peninggalan antara tahun 650 – 732 Masehi. Sayangnya batu ini tidak berkisah. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di Jember pada era tersebut.

Ada lagi Prasasti Congapan di desa Karang Bayat Kecamatan Sumberbaru. Di prasasti ini ada tertulis kalimat pendek, "tlah sanak pangilanku," yang artinya tahun 1088. Yang mengatakan adalah Didik Purbandriyo, Koordinator Balai Pelestarian Peninggalan Purbakal Kementerian Budaya dan Pariwisata.

Sumber dari tulisan tersebut ada di :

http://beritajatim.com/detailnews.php/6/Politik_&_Pemerintahan/2011-04-04/97181/Usia_Jember_Lebih_Tua_daripada_Surabaya

Senin, 04 April 2011 08:30:22 WIB Reporter : Oryza A. Wirawan

Sayang sekali, ketika saya mencoba membukanya kembali ternyata tidak bisa. Beruntung saya masih menemukan apresiasi tulisannya di situs Alumni SMA 1 Jember.

Masih banyak lagi jejak yang ditinggalkan masa lampau di kota Jember (dan sekitarnya). Ketika saya mendaki Argopuro, saya menemukan reruntuhan batu (seperti sebuah prasasti) di puncak rengganis. Ketika saya bermain di desa Kamal - Arjasa (tak begitu jauh dari rumah saya), ada banyak peninggalan berupa batu di sana. Di dekat kampus UJ ada sebuah sumur tua yang baru ditemukan sekitar tahun 2008 (saya lupa tahunnya, padahal saya pernah kesana). Kita punya candi deres, sekelumit kisah Sadeng, dan masih banyak lagi. Dan.. Sudah, hanya sampai di sana saja.

Di saat kita menemui keterbatasan dokumen sejarah, maka satu-satunya jalan menuju penggalian sumber sejarah adalah dengan mencumbui sejarah lisan. Ah, saya jadi ingat kata-kata yang pernah dituliskan Kuntowijoyo, bahwa sejarah lisan menawarkan banyak harapan.

Jember punya banyak jejak tapi tak terlacak. Mungkin kita bisa memulainya dari yang dianggap fiksi oleh banyak kalangan, kisah tentang Putri Jembersari misalnya.

Ups, saya membahas legenda ya? Maaf, lupa.

Sedikit Tambahan

Mengenai asal usul kota Jember versi Jembrek berlatar masa hidup Sunan Kudus, akan saya tuliskan di kesempatan yang lain.

Salam Gaya Bulbul!

10 komentar:

  1. saudara2 ada yang tau tentang sejarah ini ???
    sdkit ulasan ...
    Universitas Jember dan jembatan Mastrib berawal dari BotoL kosong dan Buah kelapa ! R. Soedjarwo. Beliau adalah Bupati keenam yang memimpin Jember di tahun 1957 - 1959. Setelahnya, pengganti beliau adalah Moh. Djojosoemardjo sebagai Bupati ketujuh di tahun 1959 - 1961. Baru setelah Bapak Moh. Djojosoemardjo selesai satu periode, Pak Djarwo kembali memimpin Jember untuk kedua kalinya pada 1961 - 1964.
    Nah, ketika masa kepemimpinan Pak Djarwo, dibangun sebuah jembatan dari Pagah (PB. Soedirman) menuju Jalan Mastrip.
    Awal pembangunannya pada tahun 1961.
    Jembatan ini baru selesai sempurna pada tahun 1976. Oleh orang-orang Jember yang segenerasi dengan Bapak, jembatan ini dikenal dengan nama jembatan Djarwo atau jembatan BOTOL.
    mengapa diberi nama jembatan botol???

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rahayu...! pada tahun-tahun itu saya bersekolah di SDN Kepatihan VI Jember. waktu itu saya masih kelas 2 SD. Pada wkt itu, setiap murid di sarankan membawa sebuah botol atau sebutir kelapa dan diserahkan ke guru kelas masing-masing. seingat saya, ada kurang lebih 2 truk botol dan 5 truk kelapa, dijemput dan dibawak kemana saya tidak tahu.
      Setelah saya dewasa, sy bertemu dengan sesepuh yang waktu itu tinggal disekitar jembatan tersebut (sekarang rumahnya menjadi dieler Suzuki, Eyang Ismadi namanya. beliu pensiunan penilik sekolah TK/SD. saat sy merawat beliu (krn Jompo), saat saat sengang beliu bercerita tentang riwayat jembatan Mastrip itu...bahwa beliu perna ditugasi oleh kepala dinas pendidikan (P dan K namanya waktu itu), untuk menghimbau sekolah-sekolah se Kab Jember, agar murid-muridnya mengumpulkan botol dan kelapa. oleh pak Bupati botol dan kelapa itu dikirim ke Surabaya dan uangnya digunakan meneruskan Jembatan Mastrip itu.
      sontak saya teringat masa kanak-kanak sy, wkt itu saya turut mengumpulkan botol. mengenai tahunnya saya lupa tepatnya. tp kejadian itu benar-benar terjadi dikota Jember. semoga bermanfaat kisah saya ini. Salam _()_ Rahayu dari : www.belajarilmujawa.blogspot.com

      Hapus
  2. jembatan mastrip dibangun dg mengumpulkan kelapa dari masyarakat yg dipimpin oleh bupati. Sama seperti pembangunan masjid batok kelapa /masjid Al Baitul Amin Yang Baru.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai Mas Ade. Di waktu yang lalu saya pernah diantarkan mesin pencari, menuju blog Anda. Menarik. Saya suka cara Anda memperlakukan sejarah.

      Salam saya, RZ Hakim

      Hapus
  3. sya ada beberapa foto lama
    nnti sya uplod
    trims

    BalasHapus
  4. Mantap kisahnya untuk membedah sejarah jember.
    Jika memang ada putri seperti kisah itu.. Lantas dimana letak makamnya??.. Salam Djember..!!!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih apresiasinya, Mas. Ini tulisan lama yang kisah-kisahnya saya dapatkan dari orang-orang yang saya temui. Tentu bukan sejarah, melainkan cerita rakyat. Ia lebih dekat dengan fiksi.

      Salam Djember.

      Hapus
  5. Kalo diruntut kebelakang, sejarah Kabupaten Jember sudah dimulai pada tahun 1330 M. Kita tentu ingat sejarah pemberontakan Sadeng di masa Kerajaan Majapahit. Pemberontakan ini pula yang kemudian memunculkan nama Gajah Mada. Ya, wilayah Sadeng diambil dari sebuah gunung kapur didaerah Sadengan yang kini masuk dalam wilayah Desa Grenden, Kecamatan Puger, Kabupaten Jember.

    BalasHapus
  6. sejarah ini bisa mengingatkan kita betapa kelamnya masa lalu di jember. kita patut bersyukur hari ini.

    BalasHapus
  7. Alhamdulillah

    kebetulan saya ada tugas tentang asal usul pemberian nama Daerah Asal (Toponimi), dan kebetulan saya berasal dari Jember yang sedang menyelesaikan kuliah di Yogya. Sangat membantu sekali dengan adanya artikel atau tulisan ini.
    Terima Kasih mas Hakim, sukses untuk blogging nya. Semoga semakin berkembang tiap harinyaa.
    sekali lagi saya ucapkan terima kasih..

    Selamat Malam

    BalasHapus

Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.

RZ Hakim © 2014