Jumat, 26 Oktober 2012

Terdampar di Desa Mungkid

Jumat, 26 Oktober 2012
Pada bulan Oktober 2010 dua tahun yang lalu, ketika gema takbir menyambut Idul Adha berkumandang, saya sedang ada di Magelang. Tepatnya ada di sebuah desa bernama Mungkid, wilayah yang bertetangga dengan Kecamatan Muntilan.

Itu adalah saat dimana badai Merapi masih belum mereda. Debu tebal selalu menyertai langkah-langkah kaki para pejalan, dengan daya pandang yang kadang jelas kadang terbatas.

Dilihat dari namanya, desa Mungkid memiliki keunikan tersendiri. Karena selain sebagai nama desa, Mungkid juga nama sebuah kecamatan, dan sekaligus nama Ibu Kota Magelang, yaitu Kota Mungkid.

Ketika Ngopi di Desa Mungkid

Sehari sebelum malam takbir, saya menyempatkan diri untuk jalan-jalan sore menikmati suasana Mungkid. Langkah saya terhenti di sebuah toko kecil milik seorang perempuan paruh baya. Saya menuju ke toko tersebut karena di papan kecil (di depan toko) ada tertulis sebuah kalimat yang bersifat mengundang selera. JUAL KOPI - 2000 RUPIAH.

Kedatangan saya disambut oleh suara jenggongan anjing. Syukurlah, anjing tersebut diletakkan di dalam etalase (semi kandang). Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Takut anjing ya Mas?"

Pertanyaan dari pemilik toko saya jawab dengan senyum termanis yang bisa saya lemparkan. Tak lama kemudian, senyum saya semakin mengembang manakala terdengar bunyi kletek-kletek yang dihasilkan oleh benturan cangkir dan lepek yang bergoyang di atas nampan.

"Di Mungkid ini suasananya nyaman nggih Bu."

Gantian, kali ini si Ibu pemilik toko yang melempar senyum ke arah saya. Saya lupa, saat itu beliau ngomong apa. Yang jelas, setelah itu si Ibu bertutur banyak hal tentang daerah yang beliau tinggali. Desa Mungkid. Bukan hanya tentang Mungkid, beliau juga berkisah tentang Muntilan tempo dulu, juga sejarah Kabupaten Magelang secara garis besar.

Saya seperti seorang santri yang sedang mendengar petuah Mak Nyai. Begitu takjub dan begitu merasa bodoh. Desa Mungkid, Kecamatan Mungkid, dan Kota Mungkid Kabupaten Magelang, adalah daerah yang kaya akan kisah, dan saya baru tahu.

Acara ngobrol ala pesantren tersebut saya sudahi dengan merogoh dua lembar uang ribuan untuk membayar kopi nikmat yang sudah saya sruput sampai ke akar-akarnya. Betapa terkejutnya saya ketika Ibu pemilik toko berkata, "Mboten usah Mas, gratis."

Ah, Ibu ini ternyata bidadari berhati cantik. Kecantikannya terlihat dari gambar-gambar yang tertempel di dinding tokonya, sebuah simbol-simbol keagamaan, dan kisah yang tadi sempat tertuturkan, bahwa beliau adalah seorang jemaah gereja yang aktif di lingkungannya.

Mungkin Ibu pemilik toko itu juga kasihan melihat sosok lelaki yang ngopi di tokonya. Kecil, dekil, datang dari Jember karena ingin bergabung dengan team SAR, tapi kenyataannya potensi SAR sudah melebihi kuota. Akhirnya si lelaki ini terdampar di Balai Desa Mungkid yang dijadikan posko penampungan korban bencana, dan melebur bersama mereka. Menemani bocah-bocah kecil, menghibur para manula, memanajemen beberapa hal, dan setelahnya luntang-lantung bingung cari sesuatu untuk dikerjakan.

Ibu pemilik toko sempat berkata, "Oalah Mas, tak pikir sampeyan ini salah seorang pengungsi Merapi."

Kelak, ketika saya jatuh cinta pada selembar foto dengan ABD. MOEKI di dalamnya, saya kembali mengingat kisah yang pernah dituturkan Ibu pemilik toko yang baik hati. Dongengnya memudahkan saya untuk menelusuri Mungkid dan Muntilan tempo dulu, dari data ke data, dan dari katanya ke katanya.

Sebuah Kota Kecil Bernama Mungkid

Saya ajak anda untuk menengok sejarah berdirinya Kabupaten Magelang, dan tentang Kota Mungkid itu sendiri. Yang menarik dari Magelang adalah antara sejarah wilayah Kabupaten dan Kota-nya, saling berkaitan. Sebelumnya, kedua wilayah tersebut bersatu tanpa ada pemisahan teritorial.

Dari data yang saya baca, Magelang terbentuk pada tanggal 11 April 907 M. Ini didasarkan pada Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 6 Tahun 1989, setelah sebelumnya diadakan berbagai diskusi dan seminar mengenai Hari Jadi Magelang.

Pada 1918 di era Hindia Belanda, terbit UU No 22/1918, yang menyatakan bahwa Kota Magelang ditetapkan sebagai Ibu Kota Kabupaten. Selanjutnya, pada tahun 1950, di lima tahun kemerdekaan Indonesia, Kota Magelang diberi hak mengatur rumah tangganya sendiri, berdasarkan UU 13/1950.

Nah, sejak saat itu terjadilah pemisahan wilayah administratif antara Kota dan Kabupaten, meskipun pusat pemerintahan Kabupaten tetap berada di Kota Magelang.

Pada 32 tahun berikutnya, saat Bupati Magelang dijabat oleh Bapak drh. Soepardi (sejak 22 Maret 1979), ada sebuah gagasan menarik. Bapak drh. Soepardi memiliki pemikiran, jika roda pembangunan dan pemerintahan masih berada (dan terpusat) di kota Magelang, maka kemungkinan besar hasilnya kurang optimal. Berangkat dari pemikiran tersebut, beliau mengusulkan untuk memindahkan ibu kota kabupaten dari Kota Magelang ke wilayahnya sendiri, yaitu di daerah Mungkid.

Gagasan ini baru ditindaklanjuti tahun 1982. Setelah diadakan penelitian dari berbagai sisi, gagasan tersebut dianggap masuk akal dan bisa diterima. Lalu muncul opsi untuk daerah yang akan dipilih, yaitu Muntilan, Secang, Tempuran, dan Mungkid. Dan pilihannya jatuh pada daerah Mungkid.

Singkat cerita, terbitlah PP No 21/1982, yang ditandatangani Presiden Soeharto pada tanggal 4 Agustus 1982.

Sampai saat ini drh. Soepardi dikenang sebagai sosok pencetus berdirinya Kota Mungkid (dari yang tadinya bukan kota).

Antara Kota Mungkid dan Kecamatan Mungkid

Saya yang bukan warga Magelang, mulanya bingung dan sulit membedakan mana yang Kota Mungkid dan mana yang Kecamatan Mungkid. Tadinya saya kira keduanya adalah wilayah yang sama. Ternyata saya salah.

Kota Mungkid dan Kecamatan Mungkid adalah dua wilayah yang berbeda. Perbedaannya ada di pembagian wilayah. Kecamatan Mungkid terdiri dari 16 desa / kelurahan, dan dua diantaranya masuk ke zona Kota Mungkid.

Berikut 16 Desa di Kecamatan Mungkid:
- Ambartawang
- Desa Mungkid
- Blondo
- Bojong
- Bumirejo
- Gondang
- Mendut
- Ngrajek
- Pabelan
- Pagersari
- Paremono
- Progowati
- Rambeanak
- Sawitan
- Senden
- Treko
Adalah Kelurahan Sawitan dan Kelurahan Mendut yang masuk ke wilayah Kota Mungkid. Wilayah lainnya yang masuk ke dalam administrasi Kota Mungkid adalah desa Deyangan, sebuah desa yang menjadi bagian dari Kecamatan Mertoyudan.

Jadi, Kecamatan Mungkid adalah daerah tersendiri, sedangkan Kota Mungkid terdiri dari 2 kelurahan (dari Kec. Mungkid) dan satu desa (masuk Kec. Mertoyudan).

Kelak, nama drh. Soepardi diabadikan sebagai nama pendapa kabupaten dan nama lapangan sepak bola di Sawitan.

Sekarang saya mengerti, dulunya Mungkid adalah nama desa dan juga nama kecamatan yang kemudian dikembangkan menjadi ibu kota baru kabupaten, menggantikan Kota Magelang. Kota Mungkid berjarak sekitar 10 km sebelah selatan dari Kota Magelang.

Dari Mungkid ke Muntilan

Jarak antara Mungkid dengan Muntilan tidak terlalu jauh, sama seperti alun-alun Jember ke Taman Makam Pahlawan Patrang.

Saat berada di Muntilan, mata saya disegarkan oleh bangunan-bangunan tua yang masih eksis hingga sekarang. Dilihat dari situs arsiterturnya, pastilah Muntilan menyimpan kisah masa lalu yang indah.

Ya benar, di sinilah dulu Romo van Lith mulai merintis berdirinya sekolah guru yang tamatan-nya nanti diharapkan mampu mendidik kaum bumi putera. Sekolah guru ini dijalankan dengan sistem asrama, dengan nama Normaalschool dan Kweekschool.

Normaalschool adalah sekolah guru berbahasa pengantar bahasa daerah, sedang Kweekschool adalah sekolah guru dengan bahasa pengantar Belanda.

Saya pernah menuliskan sepenggal kisah Romo van Lith di sini.

Kampus SMA Pangudi Luhur van Lith

Sekarang, gedung bersejarah tersebut berganti nama menjadi Kampus SMA Pangudi Luhur van Lith. Dimulai pada tahun 1952, ketika sekolah tersebut diserahkan kepada Kongregasi Bruder FIC, yang dalam perkembangannya menjadi SGB, SMP, dan kemudian SGA Xaverius.

SGA Xaverius berganti nama menjadi SPG van Lith. Itu terjadi di tahun 1966. Perubahan terjadi lagi ketika Pemerintah menutup semua SPG di seluruh Indonesia, di tahun 1991.

Sebagai gantinya, SPG van Lith beralih fungsi menjadi SMA Pangudi Luhur van Lith. Sistem sekolahnya ber-asrama, dan dengan status disamakan. Dasar hukum dari pergantian nama ini berdasarkan Keputusan Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah No. 488/C/Kep/I/92 tanggal 31 Desember 1992.

Lebih Dekat Lagi Dengan Kabupaten Magelang

Sejarah Magelang ditelusuri melalui tiga sumber prasasti, yaitu Prasasti Poh, Prasasti Gilikan dan Prasasti Mantyasih. Ketiganya adalah prasasti yang ditulis diatas lempengan tembaga.

Dari penelusuran tersebut, disimpulkan bahwa Kota Magelang mengawali sejarahnya sebagai desa perdikan Mantyasih. Mantyasih sendiri saat ini dikenal dengan Kampung Meteseh di Kelurahan Magelang. Ah, sayangnya saya tidak pernah ke Kampung Meteseh. Sepertinya menyenangkan nyruput kopi di desa tua itu. Semoga suatu saat saya ada kesempatan ngopi di Menteseh, dan melihat sebuah lumpang batu (yang ada di desa tersebut) yang diyakini sebagai tempat upacara penetapan Sima atau Perdikan.

Ada desa lagi selain Matyasih, yaitu Glangglang. Seiring perubahan jaman, kedua desa tersebut berganti nama. Mantyasih menjadi Meteseh, Glangglang menjadi Magelang.

Prasasti Poh dan Mantyasih sendiri ditulis pada zaman Mataram Hindu, saat pemerintahan Raja Rake Watukura Dyah Balitung (898-910 M).

Kok saya tahu? Iya, saya mengintipnya di web Magelang Kota, hehe. Anda bisa inguk-inguk juga. Selengkapnya ada di sini.

Cara Saya Mengingat Magelang

Kelemahan terbesar saya adalah sifat pelupa yang dahsyat. Untuk itu, saya butuh metode tersendiri dalam mengingat kota cantik bernama Magelang. Nah, inilah cara saya dalam mengingat Magelang.

1. Mengenang Kerajaan Gelang-Gelang yang pernah disebut-sebut dalam sandiwara radio Saur Sepuh. Dari Gelang-Gelang, saya akan teringat Magelang.

2. Ingat Normaalschool, ingat Romo van Lith, ingat Muntilan, dan semuanya mengantarkan saya untuk mengingat Magelang.

3. Dunia kagum dengan Candi Borobudur, saya juga. Dan mahakarya peninggalan Dinasti Syailendra ini adalah cara termudah untuk mengingat Magelang. Ingat Borobudur ingat Magelang.

4. Posisi Magelang ada di cekungan sejumlah rangkaian pegunungan. Merbabu - Merapi - Sumbing, ketiganya mengingatkan saya Pada Magelang. Apalagi ketika menyebut barisan Bukit Manoreh, bukan hanya karya SH Mihardja saja yang saya ingat, tapi juga Magelang. Ingat Api di Bukit Manoreh, ingat Magelang.

5. Dan satu lagi yang paling mudah. Saya pernah terdampar di sebuah desa bernama Mungkid. Saat itu takbir berkumandang. Esoknya saya shalat Ied di sebuah masjid yang agak menjorok ke dalam gang, di seberang Balai Desa Mungkid. Ingat Mungkid ingat Magelang.

Sedikit Tambahan

Dari berbagai sumber, dan dari penggalan-pengalan kisah yang berhasil saya ingat.

Mungkid dan Moeki, hehe.. Mirip ya.

Salam Gaya Bulbul!

3 komentar:

  1. Orang yang berjiwa besar selalu menghargai sejarah ...

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  3. Saya tahu sejarah magelang dari orang luar magelang. Terima kasih.

    BalasHapus

Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.

RZ Hakim © 2014