Rabu, 23 Januari 2013

Kronik Perjalanan Etnis Tionghoa ke Indonesia dan Sentuhannya Pada Jember

Rabu, 23 Januari 2013
1. 206 SM – 220 M (Masa Dinasti Han)

Itu adalah rentang waktu Dinasti Han. Kenapa saya menuliskannya di nomor urut satu? Karena menurut catatan sejarah, awal mula datangnya orang-orang Tionghoa ke Indonesia dapat ditelusuri sejak masa Dinasti Han. Pada masa itu, Tiongkok telah membuka hubungan perdagangan dengan negara-negara yang ada di kawasan Asia Tenggara, dan menurut catatan sudah ada orang Tionghoa yang datang ke Pulau Jawa.

Pada masa sebelumnya, yaitu masa Dinasti Qin (221 SM - 206 SM), hanya memiliki masa yang pendek. Namun begitu, Dinasti Qin-lah yang meletakkan dasar-dasar kekaisaran yang kemudian akan diteruskan selama 2000 tahun oleh dinasti-dinasti setelahnya. Dinasti ini juga adalah dinasti pertama yang mempersatukan suku bangsa beragam di Cina ke dalam entitas tunggal nasional Cina.

Semoga andatidak rancu membedakan antara Dinasti Qin (221 SM - 206 SM) dan Dinasti Qing (1644 - 1911 M). Sekilas namanya memang mirip (apalagi untuk lidah orang Njember), tapi kedua Dinasti itu berbeda dan hidup di masa yang tidak sama.

Kembali pada Dinasti Han..

Dinasti Han didirikan oleh Liu Bang, seorang petani yang memenangkan perang saudara dengan saingannya, Xiang Yu. Dinasti Han merupakan salah satu dinasti terkuat di Cina, dan karena pengaruhnya yang besar, etnis-etnis mayoritas di Cina sekarang ini menyebut mereka orang Han (biarpun mungkin nenek moyang mereka bukan dari etnis Han).

2. 618 – 907 M (Masa Dinasti Tang)

Didapati keberadaan orang-orang Tionghoa di Kerajaan Sriwijaya.

Jauh pada paruh kedua abad ke-9, ketika tentara pemberontak pimpinan Huang Chao menduduki Guangzhou, muslim Tionghoa serta saudagar Arab dan Persia yang berjumlah besar dan bermukim di sekitar Guangzhou berbondong-bondong mengungsi ke Sriwijaya.

3. 1280-1367 M (Masa Dinasti Yuan)

Pada tahun 1293 kaisar Kubilai Khan (dari Dinasti Yuan) memerintahkan pasukannya untuk menyerbu pulau Jawa dan memberi pelajaran kepada Raja Kartanegara dari kerajaan Singosari yang dianggap membangkang. Ternyata Kubilai Khan mendapati koloni-koloni pemukiman etnis Tionghoa disepanjang pesisir utara pulau Jawa.

Orang-orang Tionghoa ini yang berasal dari propinsi Hokkian di daratan Tiongkok, pada umumnya adalah para pedagang perantara, petani dan tukang-tukang kerajinan yang hidup dengan damai bersama penduduk setempat.

Kemudian sebagian prajurit pasukan Kubilai Khan yang terdiri dari orang-orang Tionghoa yang direkrut dari propinsi Hokkian tidak mau kembali ke daratan Tiongkok. Mereka takut menghadapi ancaman hukuman, karena pasukannya tertipu masuk perangkap Raden Wijaya dan berhasil dihancurkan. Akhirnya mereka memilih untuk tetap tinggal di Jawa dan menikah dengan perempuan setempat.

Jika dirata-rata, kebanyakan orang Tionghoa yang datang ke nusantara (dan Jawa) adalah para lelaki. Orang Tionghoa laki-laki yang sampai ke Jawa tidak membawa keluarga mereka tetapi kawin dengan perempuan pribumi dan menetap.

4. 1403-1424 M (Masa Dinasti Ming)

Selanjutnya pada masa dinasti Ming, orang-orang Tionghoa datang bersamaan dengan ekspedisi Laksamana Cheng Ho sebanyak tujuh kali ke Nusantara.

Pada saat kedatangan Cheng Ho yang pertama, sudah banyak terdapat etnis Tionghoa di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Cheng Ho sendiri adalah seorang pelaut dan penjelajah Tiongkok terkenal yang melakukan beberapa penjelajahan antara tahun 1405 hingga 1433.

Beberapa catatan tentang Cheng Ho..

Cheng Ho adalah seorang kasim Muslim yang menjadi orang kepercayaan Kaisar Yongle dari Tiongkok (berkuasa tahun 1403-1424), kaisar ketiga dari Dinasti Ming. Nama aslinya adalah Ma He, juga dikenal dengan sebutan Ma Sanbao (馬 三保)/Sam Po Bo, berasal dari provinsi Yunnan. Ketika pasukan Ming menaklukkan Yunnan, Cheng Ho ditangkap dan kemudian dijadikan orang kasim. Ia adalah seorang bersuku Hui, suku bangsa yang secara fisik mirip dengan suku Han, namun beragama Islam.

Cheng Ho berlayar ke Malaka pada abad ke-15.

Pada tahun 1424, kaisar Yongle wafat. Penggantinya, Kaisar Hongxi (berkuasa tahun 1424-1425, memutuskan untuk mengurangi pengaruh kasim di lingkungan kerajaan. Cheng Ho melakukan satu ekspedisi lagi pada masa kekuasaan Kaisar Xuande (berkuasa 1426-1435).

Setelah Beijing dikuasai oleh suku Manchu, mereka kemudian mendirikan Dinasti Qing yang menandai runtuhnya Dinasti Ming. Sisa-sisa kekuatan yang setia kepada Dinasti Ming kemudian mengungsi ke selatan Cina dan meneruskan perlawanan secara terpisah. Dalam sejarah, kekuatan ini dikenal sebagai Ming Selatan. Ming Selatan kemudian berhasil dihancurkan oleh Kaisar Kangxi pada tahun 1683.

Pada akhir masa dinasti Ming (1368-1644) dan awal Dinasti Ching (1644-1911), jumlah imigran etnis Tionghoa yang datang ke Nusantara semakin bertambah. Hal ini disebabkan adanya penyerangan bangsa Manchu terhadap Dinasti Ming sehingga banyak penduduk Tiongkok yang bermigrasi untuk menghindari peperangan.

Para perantau kebanyakan berasal dari propinsi-propinsi di Cina Selatan, seperti propinsi Kwangtung, Fukien, Kwangsi, dan Yunan. Para perantau tidak berasal dari satu suku bangsa, tetapi paling sedikit delapan suku bangsa dengan bahasa yang berbeda-beda. Orang Cina di Indonesia sebagian berasal dari empat suku bangsa, yaitu Hokkien, Hakka atau Kheh, Tiu-Chiu, dan orang kota Kanton.

5. 1644 - 1911 M (Masa Dinasti Qing)

Dinasti ini dikenal juga sebagai Dinasti Manchu. Dinasti Qing (ada juga yang menyebutnya dengan pengucapan "Ching") adalah satu dari dua dinasti asing yang memerintah di Cina setelah dinasti Yuan Mongol, dan juga adalah dinasti yang terakhir di Cina. Asing dalam arti, sebuah dinasti pemerintahan non-Han yang dianggap sebagai entitas Cina di zaman dulu.

Dinasti Qing didirikan oleh orang Manchuria dari klan Aisin Gioro (Hanyu Pinyin: Aixinjueluo), kemudian mengadopsi tata cara pemerintahan dinasti sebelumnya serta meleburkan diri ke dalam entitas Cina itu sendiri.

Dinasti Qing mencapai puncaknya pada masa pemerintahan berikut ini:
- Kaisar Kangxi (memerintah 1662 - 1722)
- Yongzheng (1723 - 1735)
- Qianlong (1735 - 1796).

Dalam perjalanan waktu, tumbuhlah satu masyarakat Tionghoa peranakan yang nyata dan mantap. Kaum lelakinya memakai “theng-sha” (baju panjang Cina), sedangkan kaum wanitanya memakai kebaya dan dibesarkan seperti ibu-ibu mereka. Kaum peranakan biasanya tidak berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Cina, tetapi menggunakan bahasa setempat.

Bagaimana menerangkan keluarga pendatang ini di Pulau Jawa? Leo Suryadinata dalam buku The Culture of the Chinese Minority in Indonesia membuat dua kategori orang Hoakiao: peranakan dan totok. Dua kategori ini mulai muncul pada awal abad XX ketika migrasi orang Cina ke Jawa meningkat.

6. 1795 M di Jember

Seorang Cina peranakan bernama Kyai Tumenggung Suro Adiwikrama sudah menjabat sebagai Bupati di Kabupaten Puger. Hal ini tercatat dalam penelitian seorang Ilmu Sejarah FSUJ, Retno Winarni.

Pada saat itu, Jember merupakan salah satu distrik dari Kabupaten Puger. Keberadaan Kyai Tumenggung Suro Adiwikrama sebagai bupati menunjukkan, bahwa pada masa itu telah ada eksistensi orang Tionghoa di Jember.

7. 1802 - 1813 M

Kyai Tumenggung Surio Adiningrat menjabat Bupati Kabupaten Puger, menggantikan Kyai Tumenggung Suro Adiwikrama yang juga adalah Bapak mertua dari Kyai Tumenggung Surio Adiningrat. Kyai Tumenggung Surio Adiningrat juga seorang Cina peranakan.

Orang-orang Tionghoa di masa ini kemudian membentuk pemukiman tersendiri yang berpusat di daerah Pecinan yang terletak di pusat distrik Jember, sekitar Pasar Tanjung.

8. 1815 M

Pada tahun 1815 dari total jumlah penduduk di Jawa sebesar 4.615.270 jiwa, terdapat 94.441 orang (2,04%) dari golongan Tionghoa.

Sumber: Lembaga Studi Realino (ed.), Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa, (Yogyakarta: Kanisius dan Lembaga Studi Realino, 1996), hlm. 11.

9. 1900 M

Didirikan Tiong Hoa Hwee Koan atau lebih dikenal dengan THHK. Ini adalah tonggak awal munculnya nasionalisme Tionghoa.

E Renan menyebut NASION sebagai keinginan untuk ada bersama atau keinginan untuk hidup bersama. Dan etnik-etnik yang ada di Indonesia salah satunya adalah etnis Tionghoa. Mereka merindukan tumbuhnya Nasionalisme Cina di Pulau Jawa. Untuk itu, mereka banyak mendirikan sekolah-sekolah yang berbahasa pengantar Cina (Tiong Hoa Hak Tong).

Surat-surat kabar yang muncul di masa THHK:

- 1901: Li Po, di Sukabumi
- 1902: Pewarta Soerabaia, di Surabaya
- 1903: Perniagaan, di Batavia
- 1909: Djawa Tengah, di Semarang
- 1910: Sin Po, di Batavia

Setelah pemunculan sekolah-sekolah berbahasa Cina dan surat-sura kabar Melayu - Tionghoa, mendorong lebih lanjut rasa nasionalisme serta memperkuat perkembangan Pan-Cina, yaitu mempersatukan orang Tionghoa Hinda Belanda yang terdiri dari berbagai macam kelompok dan mengarahkan orientasinya secara kultural dan politik ke negeri Cina.

- Pada 1907, masih di masa THHK

Pada tahun ini, Gerakan Cina Raya (di Hindia Belanda/Nusantara) berkembang dengan pesat.

Siang Hwee (Kamar Dagang Tionghoa) telah terbentuk di berbagai kota di Jawa. Kaum peranakan dan Tionghoa asli memegang pimpinan bersama, tetapi nampaknya jumlah kaum Tionghoa asli (atau totok) lebih banyak dibandingkan jumlah peranakan. Juga pada tahun 1907, Tung Meng Hui (Partai Revolusioner dr. Sun Yat Sen) membentuk cabang di Pintu Kecil, suatu lingkungan tempat tinggal kaum Tionghoa asli di Batavia.

Cabang ini segera mengubah namanya menjadi Chi-Nan She (Klub Pengembara Nanyang) dan mulai membangun taman-taman bacaan atau Soe Po Sia di Hindia Belanda, yang bertujuan untuk menyebarluaskan doktrin-doktrin revolusioner. Tidak hanya taman bacaan tetapi juga menyelenggarakan diskusi dan ceramah, yang menggunakan bahasa Cina (dengan dialek Hakka atau Kanton) sebagai bahasa perantara. Maka itu tidak banyak kaum peranakan yang ikut serta.

Gerakan Cina Raya menimbulkan kekhawatiran bagi penguasa kolonial Belanda. Kemudian mereka mendirikan Biro Urusan Cina yang bertujuan untuk memberi nasehat kepada pemerintah atas politiknya terhadap orang Tionghoa setempat. Banyak ahli Belanda yang mempelajari kultur Tionghoa-Belanda seperti, L.W.H. van Sandick dan P.H. Fromberg.

Bisa dimengerti bahwa Belanda mulai menghilangkan beberapa keluhan orang Tionghoa. Dengan undang-undang tahun 1907, orang Tionghoa dapat memperoleh status Eropa.

- 1908 M

Hollandsche Chineesche School (HCS), sekolah berbahasa Belanda untuk anak-anak Tionghoa dengan model Eropa didirikan pertama kali di Hindia Belanda. Jelas bahwa THHK mulai memiliki peran penting di tahun berdirinya HCS, 1908.

- 1910 M

Undang-undang tentang Kawula Negara Belanda (Wet op het Nederlands ch Onderdaanschaap-WNO) diberlakukan, yang menurut undang-undang tersebut kaum Tionghoa peranakan dianggap sebagai kaula Belanda (onderdanen). Tentunya, 1910 adalah tahun yang penting bagi perjalanan THHK.

- 1913 M

Di tahun 1913 ini, Belanda mulai menghapuskan dasar-dasar hukum diskriminasi.

- 1914 hingga 1917 M

Pengadilan Polisi dihapuskan di tahun 1914. Sistem penetapan wilayah tempat tinggal dan surat jalan dilonggarkan dan pada akhirnya dihapuskan pada tahun 1917. Bahkan di tahun yang sama (1917) orang Tionghoa berstatus Eropa mempunyai hak pilih di Volksraad.

Dalam perjalanan waktu, politik Belanda terbukti efektif dalam menggalang kaum Tionghoa peranakan untuk berorientasi ke Hindia Belanda dalam jumlah yang signifikan. Lebih banyak anak kaum peranakan mulai memasuki sekolah-sekolah Belanda, sekalipun sekolah-sekolah THHK masih tetap populer.

Selama perang dunia pertama (28 Juli 1914 hingga 11 November 1918), banyak sekali orang Tionghoa peranakan mulai menyisihkan diri dari gerakan Pan-Cina dan lebih berorientasi ke Hindia Belanda. Tetapi kelompok yang berkiblat ke Hindia Belanda ini dikalahkan dalam pertempuran pertama, yaitu dalam Konferensi Semarang tahun 1917.

Konferensi Tionghoa Hindia Belanda tahun 1917 diadakan berkaitan dengan pemilihan anggota Volskraad tahun 1918, untuk menentukan wakil golongan Tionghoa. Namun demikian suara masyarakat Tionghoa-Hindia Belanda terbagi dua dalam konferensi tersebut.

Sebagian menghendaki agar masyarakat Tionghoa memiliki perwakilan di Volksraad, suara yang menyetujui ini diwakili oleh seorang tokoh Tionghoa Peranakan, H.H. Kan. Dan sebagian lagi menentang, serta mengajak masyarakat Tionghoa-Hindia Belanda bersatu tidak mengurusi masalah politik 'setempat,' namun berkontribusi untuk kepentingan Nasionalisme Cina Daratan. Kelompok penentang ini disebut sebagai ”Kelompok Sin Po”, dengan Hauw Tek Kong dan The Kian Sing sebagai tokoh-tokohnya.

The Kian Sing menggambarkan Volksraad sebagai jebakan kolonial dan tidak mewakili kelompok Tionghoa Hindia Belanda. Pidatonya berhasil mempengaruhi para peserta dan mengobarkan rasa nasionalisme Cina (daratan). Terdengar teriakan, ”Jangan ambil bagian dalam Volksraad”, ketika The Kian Sing mengakhiri pidatonya.

Konferensi itu menunjukkan bahwa orang Tionghoa Belanda menaruh perhatian atas politik Hindia Belanda, tetapi tidak bersatu dalam pandangan mereka. Kebanyakan dari mereka tetap diilhami oleh nasionalisme Cina (daratan) dan percaya bahwa kebangsaan tidak dapat dipisahkan dari ras serta berharap perlindungan dari negeri Cina. Golongan Tionghoa - Hindia Belanda sendiri baru menempatkan 2 orang wakilnya di Volksraad pada periode 1924-1927, dimana mereka yang diangkat berasal dari kelompok Chung Hwa Hui, Persatuan Pelajar Tionghoa - Hindia Belanda yang belajar di Belanda dan berpusat di Leiden.

Ada juga Chung Hwa Hui yang terbentuk dan berproses di Jawa.

10. 1928 M - Berdirinya Chung Hwa Hui di Jawa

Chung Hwa Hui (CHH) adalah organisasi politik yang didirikan pada tahun 1928. Mereka mengusung Nasionalisme etnis Tionghoa yang berorientasi pada Hindia Belanda. Berkebalikan dengan THHK. Gerakan ini mendapatkan dukungan dari kalangan intelektual peranakan. Kelompok ini menganjurkan menerima kekawulaan Belanda dan aktif berpartisipasi dalam lembaga-lembaga politik lokal termasuk dalam Volksraad (Dewan Rakyat).

Para tokoh CHH lebih mendukung pendidikan Belanda daripada pendidikan Tionghoa karena mereka melihatnya sebagai sebuah cara yang baik untuk bisa berhasil dalam masyarakat kolonial.

Orang-orang CHH tidak merasa puas dengan status hukum yang rendah (inferior) dari masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda. Mereka menuntut sebuah status hukum yang akan menempatkan golongan Tionghoa setara dengan Eropa (Belanda) dan golongan Jepang yang dipandang sebagai golongan Eropa di depan hukum. Namun upaya tersebut tidak berhasil karena pihak otoritas Belanda khawatir bahwa gerakan seperti itu akan menimbulkan kemarahan masyarakat pribumi dan akan menyebabkan kekacauan dalam masyarakat kolonial.

11. 1932 M - Berdirinya Partai Tionghoa Indonesia

Partai Tionghoa secara langsung menentang Chung Hwa Hui. PTI meminta masyarakat Tionghoa Hindia Belanda untukk mengidentifikasikan diri mereka sebagai masyarakat Indonesia dan menyetujui upaya kalangan nasionalis Indonesia dalam membentuk sebuah pemerintahan sendiri dan akhirnya Indonesia yang merdeka melalui cara-cara konstitusional.

PTI bersikap anti Belanda dan menolak nasionalisme Tiongkok. Selain itu, PTI juga bekerja sama dengan pergerakan nasionalis Indonesia.

Selain melalui PTI, orang-orang etnis Tionghoa di Indonesia tidak sedikit yang terlibat dalam dunia pergerakan nasional, mereka turut andil dalam mencapai kemerdekaan. Misalnya, turut sertanya etnis Tionghoa dalam Sumpah Pemuda yang telah meletakkan dasar penting bagi lahirnya bangsa Indonesia. Mereka adalah Kwee Thiam Hong, Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, Tjio Djien Kwie.

Juga terdapat empat orang Tionghoa yang duduk dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yaitu Oei Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei, Mr. Tan Eng Hua, dan Liem Koen Hian.

Etnis Tionghoa yang turut meresmikan UUD 1945 dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) adalah Jap Tjwan Bing.

Penutup

Sumber Data

- Dari wikipedia dan tulisan-tulisan di blog personal
- NASIONALISME ETNIS TIONGHOA DI INDONESIA, 1900-1945, oleh Ririn Darini, seorang staf pengajar pada jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi, Universitas Negeri Yogyakarta
- Kong Yuanzhi, Silang Budaya Tiongkok-Indonesia, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2005).

Catatan: Kronik ini terbuka akan kritik (dan masukan data), serta siap diperbaharui kapan saja. Terima kasih dan salam hangat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.

RZ Hakim © 2014