Saya berbicara tentang selembar foto. Dari selembar foto itu saya mengenal Normaalschool (Normal School), sebuah sekolah menengah untuk para calon guru yang pernah ada di Jember, tahun 1923. Kemudian saya penasaran pada salah seorang siswa yang membawa plakat bertuliskan sebuah nama, ABD. MOEKI.
Selembar foto yang berhasil membuat saya jatuh cinta dan menyalakan hasrat sejarah itu saya dapatkan di sebuah situs bernama Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, atau lebih dikenal dengan KITLV. Saya kira, pantaslah bagi saya untuk membuat tulisan tersendiri tentang apa itu KITLV.
Tentang KITLV Itu Sendiri
KITLV adalah Lembaga Kerajaan Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi. Lebih sederhana lagi, KITLV merupakan sebuah lembaga ilmiah yang didirikan pada tahun 1851.
Perpustakaannya terletak di Leiden - Belanda. Selain foto-foto yang ditampilkan pada situs, mereka juga memiliki koleksi lengkap berupa buku-buku, naskah-naskah manuskrip, dan bentuk dokumentasi lainnya.
Dari wikipedia saya mendapat informasi, bahwa tujuan utama KITLV ialah penelitian ilmu antropologi, ilmu bahasa, ilmu sosial, dan ilmu sejarah wilayah Asia Tenggara, Oseania dan Karibia. Wilayah-wilayah ini merupakan wilayah penelitian sebab di terletak bekas jajahan Belanda dan juga wilayah Kerajaan Belanda yaitu Indonesia, Suriname, Antillen Belanda, dan Aruba.
Apakah hanya itu saja? Sebuah lembaga dokumentasi setua KITLV pasti memiliki sederet tujuan (menyangkut pembentukannya di pertengahan abad XIX), dan sederet 'maksud' lainnya.
Sebuah buku dari Hanneman Samuel (Sosiolog dan Pengajar) yang berjudul Genealogi Kekuasaan Ilmu Sosial di Indonesia, berhasil memperkaya pemahaman saya akan KITLV.
Latar Belakang Lahirnya KITLV
Tadinya, penelitian adalah wilayah kerja para misionaris. Bergerak pada zona agama, karena area agama adalah cerminan keadaan politik di masa itu.
Kemudian Belanda kembali memikirkan situasi politik tersebut. gambaran situasi yang mudah memercikkan api dan bisa menimbulkan ketegangan antara misionaris dan pemimpin Muslim. Pemerintah Kerajaan Belanda yakin, mengganti peran misionaris dengan lembaga penelitian sekuler bisa meminimalisasi konflik tersebut. Lembaga penelitian juga lebih efisien ketimbang menggunakan jasa misionaris.
Hal di atas melahirkan sebuah lembaga penelitian pertama di Hindia Belanda
Dua tahun setelah Amerika Serikat menyatakan kemerdekaannya (ini hanya sekedar cara saya mengingat angka tahun), didirikanlah sebuah lembaga penelitian ilmiah pertama di Hindia Belanda (Nusantara - 1778). Lembaga penelitian tersebut bernama Bataviasche Genootschap van Kusten en Westenscappen.
Bataviasche Genootschap van Kusten en Westenscappen bergerak dalam bidang sosial, humaniora dan ilmu alam. Bertujuan untuk advokasi perdagangan, kesejahteraan sosial, dan persoalan pertanian di tanah jajahan / Hindia.
Berjarak 73 tahun setelahnya, yaitu pada 1851, upaya penelitian tersebut dilembagakan dalam Royal Institute of Linguistics, Geography and Ethnology of the Netherlands Indies, atau yang sekarang ini kita kenal dengan KITLV.
Jadi, pondasi dari segala data tentang Indonesia tempo dulu bersumber dari hasil penelitian para misionaris dan lembaga penelitian Bataviasche Genootschap van Kusten en Westenscappen.
Koninklijk Academie adalah sebuah lembaga yang lain. Didirikan pada 1842 untuk melatih dan mempersiapkan para pejabat Belanda, baik sipil maupun militer, dengan bahasa dan kebudayaan Hindia Belanda. Sepuluh tahun sebelumnya, yaitu pda 1832, didirikan juga sebuah lembaga yang serupa Koninklijk Academie di Surakarta - Jawa Tengah. Bertujuan untuk melatih para birokrat rendah. KITLV memiliki hubungan keorganisasian dengan Koninklijk Academie, sejak awal KITLV berdiri.
Peran KITLV Untuk Pihak Belanda
KITLV memiliki peran untuk selalu melakukan kajian dan penelitian-penelitian masyarakat secara detail dan terus menerus. Hasil dari penelitian mereka nantinya akan dilaporkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Dari sana, lahirlah kebijakan-kebijakan penjajah untuk masyarakat yang dijajah.
Bisa dibilang, ketika Belanda berkuasa, masyarakat pribumi hanyalah obyek penelitian, tidak lebih dari itu.
Untuk mempermudah pemahaman dan imajinasi kita akan situasi nusantara saat itu, mari kita berkenalan dengan seorang pemikir penuh warna. Dia bernama Cristiaan Snouck Hurgronje.
Cristiaan Snouck Hurgronje
Cristiaan Snouck Hurgronje atau pernah dikenal sebagai Abdul Ghaffar, adalah seorang guru besar Universitas Leiden yang pengetahuan agama Islam-nya luas. Lahir pada 8 Februari 1857, di tengah keluarga berteologi Protestan yang sangat kental.
Snouck bukan hanya cakap berbahasa arab, dia juga pernah mengenyam pendidikan di Mekkah pada 1884. Sebelumnya, disertasinya yang berjudul Perayaan di Mekkah, berhasil menggaet predikat cum laude di Universitas Leiden.
Pada 1889, Snouck menginjakkan kaki di Pulau Jawa, dan mulai meneliti pranata Islam di masyarakat pribumi Hindia-Belanda, teristimewa di Aceh. Pengamatan Snouck terhadap Aceh sebenarnya sudah dimulai saat ia berada di Mekkah. Dia tertarik melihat orang Arab sering memperbincangkan Perang Aceh. Kabar yang Snouck dengar, orang Aceh sangat hebat dalam melawan Belanda.
Dari hasil penelitiannya, Snouck akhirnya merekomendasikan ke pemerintah Belanda agar umat Islam dibiarkan beribadah tapi dijauhkan dari politik. Peradaban eropa harus didesak paksakan ke masyarakat Islam Hindia Belanda. Selain itu, harus ada pengawasan ketat di lembaga-lembaga pendidikan umat Islam.
Singkat kata, rekomendasinya membuahkan hasil. Pada 1905 Belanda berhasil, dan Snouck mendapat penghargaan yang luar biasa. Setahun kemudian Snouck kembali ke Leiden. Dia wafat pada 26 Juni 1936.
Selengkapnya tentang Cristiaan Snouck Hurgronje bisa anda baca di sini.
Kembali Pada Peran KITLV Untuk Pihak Belanda
Gambaran akan Cristiaan Snouck Hurgronje adalah gambaran akan KITLV secara sepenggal. Pada dasarnya, kolonialisme butuh pengetahuan memadai tentang masyarakat jajahannya. Ini hanya demi melanggengkan kekuasaannya.
Di masa tersebut, peran KITLV seringkali serupa dengan yang diperankan Snouck. Para pemikir dan cerdik cendekia Belanda sengaja dijadikan sebagai alat kekuasaan, agar bisa mencengkeram lebih erat.
Mengenal Indologi
Segala hal yang saya paparkan di atas, mengantarkan kita pada sebuah kata bernama Indologi. Apa itu indologi? Sebenarnya, secara implisit, sudah tergambarkan definisi tentang indologi. Definisi paling sederhana dari indologi adalah segala pengetahuan mengenai Indonesia.
Indolog adalah orang atau pihak yang mempelajari, mengenal, dan melakukan eksplorasi juga penelitian tentang Indonesia, baik tentang masyarakatnya maupun tentang sumberdaya alam-nya. Diharapkan, indolog mampu menciptakan dan membangun pengetahuan tentang penduduk, kebudayaan, dan masyarakat di Hindia Belanda.
Sejarah mencatat bahwa cabang ilmu ini nantinya dikenal dengan cabang ilmu indologie dan Indonesainistiek. Di kemudian hari, cabang ilmu ini mewarnai kajian sosial indonesia (untuk para sosiolog), selain dari kajian sosio-kultur yang digelorakan para Indonesianis asal Amerika, dan metodologi serta riset mandiri.
Maaf jika pengertian saya tentang indolog terkesan berbelit-belit. Saya memang tidak pandai dalam membuat sebuah definisi. Oke kita lanjutkan.
KITLV hadir bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pemerintah kolonial dalam mengatur (dan menghisap) Hindia Belanda, tapi juga untuk menjawab kebutuhan para intelektual yang berhasrat ingin memahami Hindia Belanda. Secara lebih mengerucut lagi, KITLV dirancang untuk menggantikan peran para misionaris.
Para pencetus dan pengembang indologi tak hanya Cristiaan Snouck Hurgronje dan para indolog terkemuka lainnya, tapi juga para birokrat. Dan jumlah para birokrat yang berperan sebagai indolog sangat banyak, jauh lebih banyak dari para cendekia. Ini wajar, mengingat segala aktivitas KITLV dan para indolog tak terpisahkan dari kebijakan Belanda atau urusan-urusan negara kolonial.
Nusantara di mata para indolog
Mereka para indolog, mencitrakan Hindia (Indonesia) dan penghuninya sebagai sesuatu yang inferior, yang berkebalikan dengan Belanda dan Eropa Barat.
Dalam bukunya (Genealogi Kekuasaan Ilmu Sosial di Indonesia) halaman 63, Hanneman Samuel mengungkapkan bahwa ”Indologi tak memberikan pemahaman yang menyeluruh tentang realitas sosial yang dipelajarinya. Pertama, terdapat tembok tegas yang membatasi kelompok indolog beserta pemerintahan kolonial dengan masyarakat Indonesia. Kedua, kurangnya ragam cabang indologi telah mempersempit kemungkinan untuk mengecek dan ricek argumen-argumen yang telah dikemukakan oleh para indolog,” Itulah kenapa banyak asumsi dasar (yang dominan) yang terkesan kurang di eksplorasi, menjadikan pencitraan akan Hindia Belanda terlihat dangkal.
Peran KITLV Untuk Indonesia
Kita tahu, KITLV sengaja dibangun untuk memperkokoh keberadaan kolonial di Hindia Belanda. Sketsa kerjanya seperti ini. Mengumpulkan data sebanyak-banyaknya, melakukan riset atas data, eksplorasi, dan hasilnya akan digunakan untuk bahan DIKLAT para calon pejabat kolonial yang hendak diterjunkan ke daerah koloni.
Dari sisi para indolog sedikit lebih anggun. KITLV dimanfaatkan untuk pusat belajar dan pengarsipan data. Namun demikian, kontrol Pemerintah terlalu kuat pada mereka.
Terlepas dari itu semua, saya mencoba melihatnya dari sudut pandang sekarang. Bagi kita yang hidup di akhir abad 20 dan memasuki abad 21, data yang tersimpan di KITLV adalah amunisi untuk memahami Indonesia tempo dulu.
Ah ABD. MOEKI, kau membuatku melangkah agak jauh
Sedikit Tambahan
Ini yang bisa kita pelajari dari kebijakan Belanda akan KITLV, dan karya dari Hanneman Samuel, Genealogi Kekuasaan Ilmu Sosial di Indonesia.
Untuk mengatur tanah jajahan, Belanda tak hanya butuh armada yang kuat. Itu tidak cukup. Mereka juga sangat butuh pemahaman ilmiah tentang masyarakatnya. Kita yang saat ini sudah merdeka, sudah selayaknya menjadi seorang indolog mandiri, sebagai sumbangsih pada tanah air.
Data
Hanneman Samuel : Genealogi Kekuasaan Ilmu Sosial di Indonesia
History of Java karya Thomas Stamford Raffles
Pembangunan: Dari Indologi Leiden hingga Pusat Studi Indonesia Timur: (Sebuah
interpretasi atas Development as Freedom Amartya Zen)
Bentuk PDF Amartya Zen ada di sini.
Resensi Buku Hanneman Samuel
Di kompas dotkom
Di id.shvoong
Di blog personal
Di historia.co.id
Di web personal dosen Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.