Ada sebuah buku bagus yang di dalamnya mengulas tentang kondisi Normaalschool di Minangkabau. Buku tersebut berjudul Asal-usul elite Minangkabau modern: respons terhadap kolonial Belanda abad XIX/XX. Penulisnya adalah Elizabeth E. Graves.
Di sini saya tidak hendak mencoba menyamakan kota kecil Jember dengan masyarakat Minangkabau yang kaya budaya. Saya hanya ingin melukiskan Normaalschool dari segala sisi. Dan buku tersebut menjawab apa yang saya inginkan. Harapannya, saya akan lebih mengenal dan bisa menggambarkan Normaalschool di Jember tempo dulu.
Gambaran Normaalschool, Bercermin Pada Normaalschool di Minangkabau
Dimulai dari halaman 158. Di lembar itu, kita diajak untuk melihat pertumbuhan sekolah-sekolah nagari (atau sekolah rendah, dengan masa studi 2 tahun), di awal 1850-an. Dikatakan bahwa pemerintah Batavia menolak untuk mendanai sekolah-sekolah nagari, namun pemerintah setuju untuk mendirikan sekolah guru / normaalschool Surakarta.
I. Syarat-syarat menjadi siswa Normaalschool
1. Untuk masuk sekolah ini, para siswa tidak perlu tamat sekolah nagari, tapi mereka setidaknya harus berumur 14 tahun
2. Sudah bisa membaca dan menulis dalam bahasa melayu
3. Memiliki kemampuan berhitung dasar
II. Kurikulum Normaalschool untuk masa belajar tiga tahun
1. Bahasa Melayu (dalam Arab, Melayu, dan Latin)
2. Geografi
3. Ilmu Ukur
4. Pembukuan
5. Menulis surat (koresponden)
6. Menulis laporan resmi dengan format yang benar
Mata pelajaran tersebut akan mempersiapkan para siswa untuk mengajar di sekolah nagari dan melatih anak-anak untuk menjadi "Kepala dan pegawai negeri yang kompeten dan profesional."
III. Tugas guru Normaalschool
Tugas paling standart adalah mengajar di kelas pada jam pelajaran. Tugas wajib lainnya adalah mengawasi para siswa dalam kegiatan sehari-hari, cara mereka berpakaian, dan kesehatan mereka di luar kelas. Semua ini menjadi suatu pelatihan yang ketat, dan mencakup semuanya.
IV. Asisten residen sebagai pengawas guru
Siapa yang mengawasi kinerja guru Normaalschool? Tidak lain adalah para asisten residen. Mereka diperintahkan untuk mengawasi sekolah dengan ketat, dan memeriksa apakah guru-guru sudah menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan.
V. Bantuan Pemerintah Belanda untuk Normaalschool
Pemerintah Belanda akan menyokong kegiatan belajar mengajar di Normaalschool dengan cara membayar gaji guru, membeli perabotan sekolah, dan menyediakan uang saku untuk setiap siswa.
VI. Status sosial orang tua siswa Normaalschool
Sebagian dari para siswa datang dari keluarga para kepala, tapi jumlah mereka tidak selalu mayoritas. Jumlah yang cukup besar berasal dari keluarga para saudagar. Selebihnya dari keluarga pengrajin, juru tulis, dan lain-lain.
Anak dari keturunan keluarga penghulu tidak bisa mendaftar di Normaalschool, karena mereka tidak bisa bertugas sebagai tenaga guru penuh. Saya tidak tahu alasannya, yang pasti mereka terikat oleh adat.
Normaalschool Minangkabau di Tahun 1863 - 1866
Pada periode ini, guru-guru di sembilan sekolah nagari di dataran tinggi menamatkan pendidian Normalschool. Kemudian guru-guru Minangkabau menyebar ke daerah lain di Sumatra seiring dengan terbentuknya administrasi Belanda yang baru (dengan pengecualian daerah Batak, yang membutuhkan guru yang bisa bahasa setempat).
Pada halaman 163, dijelaskan secara contoh, bahwa sistem penerimaan siswa Normaalschool di Minangkabau dilakukan dengan cara kuota. Semisal, Gubernur di Padang (mulanya) membatasi kuota siswa Normaalschool dari dataran tinggi sebanyak 10 orang. Ini atas dasar pemikiran sekolah guru itu didirikan khusus untuk melatih calon guru yang berasal dari daerah itu. Karena itu dia menolak siswa dari daerah lain (Bengkulu, Lampung, Palembang, dan bahkan dari Residen dataran rendah. Terkecuali jika ada lowongan.
Peraturan tak tertulis tersebut pada akhirnya runtuh oleh desakan dari pejabat Sumatera yang lain.
Halaman 163 membuat saya berpikir, para siswa Normaalschool yang ada di Jember ada kemungkinan didominasi oleh lingkungan sekitar, dan atau sanak family dari sekretaris kepala (pejabat lokal) yang memiliki pengaruh di normaalschool.
Tamatan Normaalschool Minangkabau di Dekade Pertama
Di dekade pertama, lembaga pendidikan guru (normaalschool) Minangkabau mencatat sebanyak 49 siswa. Tapi diantara 28 siswa yang tamat, hanya ada 12 tamatan yang memilih karier sebagai guru.
Kenapa bisa demikian?
Baru disadari (terutama oleh pihak keluarga tamatan), ternyata kontrolir dan pejabat lainnya lebih mengutamakan para tamatan Normaalschool untuk diangkat sebagai pegawai, terutama lowongan untuk pengawas tanaman kopi, sekretaris, dan personil kepala gudang.
Inspektur pendidikan Belanda di masa itu (J.A. Chijs), mengungkapkan kekecewaannya. J.A. Chijs menyimpulkan situasi bahwa tambah banyak atau sedikit orang Minang yang mampu baca tulis, cukup bagus untuk dijadikan guru. Sayang sekali, orang Minang yang lebih terpelajar akan ditempatkan sebagai pejabat atau asisten bagi administrator Belanda.
Maaf saya menyela. Sepertinya J.A. Chijs lupa kalau orang Minangkabau memiliki naluri merantau. Tidak sedikit dari mereka yang belajar di negeri orang. Lagipula, ada pandangan dari masyarakat Minangkabau jika Normaalschool adalah lembaga pendidikan yang sekuler. Ini bertentangan dengan kultur dan kearifan lokal masyarakat.
Oke lanjut..
Para siswa tamatan sekolah guru Normaalschool lebih memiliki keuntungan untuk mendapatkan pekerjaan (diluar menjadi guru) dan kesempatan untuk membangun patronase. Dari sinilah nanti akan muncul bibit-bibit elite modern di Minangkabau.
Daya Tarik Bersekolah di Normaalschool
Di atas sudah saya singgung bahwa tamatan Normaalschool lebih memiliki peluang mendapatkan pekerjaan. Mengacu pada apa yang terjadi di Minangkabau di abad XVIII.
Pada tulisan di atas (poin V), juga sudah saya tuliskan tentang peranan pemerintah Belanda untuk Normaalschool. Mereka menyediakan uang saku pada masing-masing siswa.
Dilihat dari sudut pandang pribumi (Minangkabau), uang saku sama halnya dengan gaji. Wajar jika ada paradigma bahwa pemerintah membayar para siswa yang bersekolah di sana. Ini bagus untuk keluarga siswa. Mereka tidak perlu menginvestasikan apapun untuk berpartisipasi dalam eksperimen baru ini.
Fakta Lain Seputar Normaalschool di Minangkabau
Sekolah Raja, itu adalah sebutan dari masyarakat Minangkabau untuk Normaalschool.
Normaalschool yang didirikan di Bukittinggi pada tahun 1856 adalah sekolah guru pertama di Sumatera, dan merupakan satu dari (hanya tiga) sekolah guru di luar pulau Jawa.
Keterangan waktu (1856) yang mengacu pada tahun pertama sekolah itu tercatat dalam laporan pendidikan kolonial; asumsinya ialah tahun itu adalah tahun mulai beroperasinya sekolah itu.
Diluar sekolah lembaga guru Normaalschool, Pemerintah Hindia Belanda tidak begitu memperhatikan pengembangan pendidikan pribumi. Namun, melalui dekrit kerajaan tahun 1871, pemerintah kolonial secara resmi menjadi bertanggung jawab terhadap pendidikan untuk pribumi.
Pada tahun 1877 untuk pertama kalinya seorang siswa dari Sekolah Raja (Normaalschool) melanjutkan studinya ke negeri Belanda (Elizabeth E. Graves, halaman 346 - 354).
Sedikit Tambahan
Elizabeth E. Graves : Asal-usul elite Minangkabau modern: respons terhadap kolonial Belanda abad XIX/XX
Tsuyoshi Kato : Adat Minangkabau dan merantau dalam perspektif sejarah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.