Senin, 15 Oktober 2012

Mengintip Kondisi Pers Indonesia

Senin, 15 Oktober 2012
Tulisan saya sebelum ini, membuat saya harus berkenalan dengan dunia jurnalistik di tahun 1918. Dengan harapan, nanti saya akan lebih mudah menemukan sumber data tentang didirikannya Normaalschool di Jember.

Seharusnya sederhana, tapi ternyata tidak. ABD. MOEKI membawa saya pada sebuah labirin yang besar. Saya tidak bisa kembali, untuk terus melanjutkan langkah-langkah kaki inipun, saya harus mengisi otak dengan data sebanyak-banyaknya, disaring, untuk kemudian data hasil saringan akan saya jadikan bahan.

Kali ini saya mencoba menelusuri kembali majalah-majalah ataupun hanya guntingan koran lama yang di-digital-kan, berharap menemukan tanggal berdirinya Normaalschool di kota kecil Jember. Semuanya mengerucut pada tahun 1918, dimana saya berasumsi bahwa pembukaan Normaalschool Jember ada di tahun tersebut. Untuk itu semua, saya harus mempelajari kondisi tanah air (dan Jember khususnya) dari sisi jurnalistiknya.

Di sebuah situs milik Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), saya menemukan tulisan yang diposting oleh Yayat R. Cipasang. Tulisan tersebut membeberkan tentang kondisi pers Indonesia di jaman Hindia Belanda.

Sejak tahun 1918 diberlakukannya Wetboek van Strafrecht atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Saya tuliskan kembali mengenai kebijakan pers yang diteliti oleh Mirjam Maters, seorang ilmuwan Belanda kelahiran Utrecht 26 Mei 1963. Dia mendeskripsikan, menganalisis, dan menyimpulkan kebijakan penguasa kolonial secara komprehensif. Mirjam Maters mengambil rentang waktu antara 1906 hingga 1942, dan dia membaginya ke dalam lima periode.

Periode Kebijakan Pers di Indonesia

1. Periode 1906 - 1913

Pada periode ini pers benar-benar bebas. Ini ditandai dengan penghapusan sensor preventif terhadap barang cetakan. Pemerintah kolonial juga mendukung pertumbuhan pers yang dapat memajukan penduduk pribumi.

Pada masa ini )1906 - 1913) setiap orang bebas menerbitkan media cetak. Surat izin bahkan dapat diurus belakangan, selambat-lambatnya 24 jam setelah terbit. Pemerintah juga memosisikan sebagai lembaga pengawas bukan lembaga sensor. Untuk mengawasi pers, gubernur jenderal memberikan penerangan dan memberikan subsidi modal.

2. Periode 1913 - 1918

Masa ini adalah saat-saatnya tumbuh transparansi dan pers bebas. Penduduk pribumi benar-benar mendapatkan lebih banyak kesempatan untuk mengekspresikan diri yang berpengaruh pada bidang politik. Apalagi setelah terbentuknya Volksraad (Dewan Rakyat), koran-koran sangat bebas memuat perdebatan-perdebatan para politisi.

Volksraad atau Dewan Rakyat adalah semacam dewan perwakilan rakyat Hindia-Belanda, dibentuk pada tanggal 16 Desember 1916 oleh pemerintahan Hindia Belanda.

3. Periode 1918 - 1927

Berkebalikan dengan dua poin di atas, periode ini adalah awal-awal kemunduran bagi pers pribumi. Penguasa kolonial banyak membatasi pers, khususnya pers radikal seiring dengan bangkitnya nasionalisme penduduk pribumi yang diwujudkan dengan berdirinya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan politik yang radikal pula. Puncaknya adalah pemberontakan Partai Komunis Indonesia di sejumlah daerah yang berhasil ditumpas tentara kolonial.

Pada periode antara 1918 - 1927 ini pemerintah kolonial mulai memberlakukan KUHP. Di dalamnya terdapat ranjau-ranjau hukum pidana pers. Siapa saja wartawan yang menulis berita di luar selera penguasa, maka dia akan berhubungan dengan ranjau-ranjau hukum tersebut. Yang paling seram adalah Pasal 154 - 157 tentang delik penyebaran kebencian (haatzaai artikelen), serta pasal 207 - 208 tentang delik terhadap kekuasaan negara. Satu tahun kemudian, puluhan wartawan dijebloskan ke penjara oleh pihak Hindia Belanda.

4. Periode 1927 - 1931

Masa ini adalah era penerapan ordonansi pemberangusan pers. Pemerintah tanpa melibatkan pengadilan dapat melarang sementara terbitan berkala setelah memberikan peringatan. Dalam aturan ini, gubernur jenderal bisa memberedel surat kabar dengan dalih "mengganggu ketertiban umum". Masa pemberedelan selama-lamanya delapan hari, dan jika masih bandel diperpanjang 30 hari.

5. Periode 1931 - 1942

Periode ini adalah puncaknya pemberangusan pers yang ditandai dengan pemberedelan sejumlah media. Pada masa ini penguasa kolonial sudah berhasil menguasai kebijakan pengendalian pers secara administratif, yuridis, sosial, dan ekonomis. Kebijakan pers pemerintah kolonial berakhir setelah Jepang tiba di Indonesia pada 1942.

Sedikit Tambahan

Kajian perjalanan pers Indonesia yang saya dapatkan dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ini membuat saya mengerti bahwa data yang saya cari (berupa koran dal sebagainya) di tahun 1918 adalah imbang antara mudah didapat dan sulit. Karena 1918 adalah masa transisi dari periode pers yang bebas dan sekaligus juga sebagai titik kemunduran.

Ini adalah salah satu contoh koran yang diterbitkan tahun 1918 di Medan. Foto saya dapat dari google dan saya edit menggunakan Photoscape.


Benih - Merdeka, Selasa, 2 Juli 1918, Orgaan oentoek menoentoet kemerdekaan

Di Jember sendiri, koran lama yang saya temukan adalah cetakan tahun 1933 - 1934. Koran tersebut bernama Pembrita Djember. Tapi saya rasa ini bukan koran milik pribumi, karena saya temukan juga koran Pembrita di kota yang lain. Sifatnya seperti Radar Jember. Akan saya posting tersendiri di tulisan setelah ini.

Salam Gaya Bulbul!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.

RZ Hakim © 2014