Nama Bapak saya sendiri adalah Abdul Rohim. Tepat di tembok depan rumah, ada plakat nama yang bertengger di sana. Bukan Abdul Rohim, melainkan Abd. Rohim.
Jika saja Abd. Moeki dilahirkan setelah tahun 1972, tentulah ejaan namanya bukan Abdoel Moeki melainkan Abdul Muki. Ini berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1972, yang memberlakukan sistem ejaan Latin bagi bahasa Melayu (Indonesia - Malaysia).
Siswa Normaalschool di Jember, tahun 1923
Dulu saya pernah ditanya oleh seorang teman, apakah Bapak saya keturunan Arab? Saya jawab tidak. Ketika saya tanya kenapa, ternyata teman saya hanya menilai dari nama depan Bapak, Abdul. Jadi prediksi saya tentang Abd. Moeki, dia bisa keturunan Arab bisa juga bukan.
Sepintas Tentang Nama Abdul
Persebaran Islam di Indonesia tak serempak terjadi dalam waktu yang sama, melainkan berproses melalui aktifitas dagang dan sosial, dan jauh sebelum masa penjajahan Eropa. Tidak bisa dipungkiri, ada banyak peninggalan Islam selain agama itu sendiri. Satu diantaranya adalah pemakaian nama.
Apakah yang memiliki nama Abdul otomatis memeluk agama Islam? Ya, orang yang menyematkan Abdul dalam namanya, kemungkinan besar beragama Islam. Tapi bukan berarti dia keturunan Arab.
Menyebarnya agama Islam di nusantara dilakukan bukan hanya oleh satu bangsa saja, melainkan oleh berbagai bangsa yang berdagang di Indonesia.
Tentang Nama
Di situs UNDIP, ada saya temukan sebuah makalah yang membahas seputar nama. Makalah karya Sulistyo Basuki itu berjudul: Penentuan tajuk entri utama nama-nama Indonesia berdasarkan pola nama Indonesian dan kebiasaan penulisan di bahan perpustakaan. Anda bisa membacanya di sini.
Budaya tentang pemberian nama sudah lama dikenal di Indonesia. Akan saya tuliskan kembali di sini, bersumber dari makalah Sulistyo Basuki.
Budaya dan Peraturan Seputar Nama :
1. Di masa kerajaan Majapahit
Ada kebiasaan menggunakan nama binatang sebagai nama diri diri. Contohnya Kudamerta, Banyakwide, Dandanggendis, Lembu Ampal, Gajah Mada dan masih ada beberapa lagi yang bisa dicontohkan.
2. Di masa kesultanan Banten
Pernah terjadi, Sultan Haji (1682 - 1687) memerintahkan semua orang Banten harus pakai nama Arab. Ini menarik, sayang saya memiliki data yang tidak banyak untuk mengembangkannya. Lagipula, saya harus fokus pada Abdoel Moeki.
3. Di masa penjajahan Belanda
Belanda mengeluarkan banyak sekali peraturan, semuanya berkisar tentang persoalan nama.
- Tahun 1864 : Tercatat dalam Gouvernments Besluits tgl 4 Oktober 1864 no. 13 (Staatsblad no. 142) dikeluarkan peraturan pendaftaran nama untuk orang pribumi Kristen (Inlandsche Christenen).
- Tahun 1872 : Tercatat dalam Agrarische Eigendomrect vervanging van Indische orfelijk individual grondbezit door eigendom (Staatsblad th 1872 no. 117). Peraturan ini dikeluarkan karena adanya perubahan nama kecil (nama sejak kecil) menjadi nama tua. Peraturan ini sangat berhubungan dengan surat-menyurat.
- Tahun 1917 : Tercatat dalam Staatsblad 1917 - 130 juncto 1918 - 81, dan mulai berlaku sejak 1 Mei 1919.
- Tahun 1920 : Tercatat dalam Staatsblad 1920 no. 751 tgl 1 Oktober 1920 juncto Staatsblad 1927 nomor 564, dan mulai berlaku sejak 1 Januari 1926. Ini adalah peraturan tentang ketentuan pemilihan nama (naam aanneming).
- Sejak tahun 1925 : Ki Hadiwijana (penulis Serat Gita Wicara) mengatakan bahwa nama kaum (famili) yang telah diatur oleh Pemerintah Negara sejak berlaku bagi bangsa Indonesia diluar Jawa.
- Ketika Indonesia telah merdeka (1961) : Keluar Undang-Undang no. 4/1961 tentang perubahan atau penambahan nama keluarga. Berlaku sejak 25 Februari 1961.
- Masa Orde Baru : Keluar Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan no, 17485 tgl 18 Juli 1961. Bunyi Instruksi ini antara lain :
Mengenai nama panggilan, khusus dimintakan perhatian agar membuang kebiasaan mempergunakan bentuk diminutif (kata panggilan) keBelanda2an atau keBarat2an sebagai misal Fransje, Mieke, Mientje, Wiesje, Wimpie dsb dan panggilan terhadap Ibu Bapak dengan Mammie, Papie atau Mummy and Daddy. Panggilan-panggilan tersebut mungkin terdengar manis bagi orang Belanda / Inggris tetapi tidak akan meresap di jiwa Indonesia.
Kembali Pada Abdoel Moeki
Abdoel Moeki hidup di era 1920-an, dimana sudah ada himbauan untuk naam aanneming atau ketentuan pemilihan nama. Kemungkinannya, dia akan sulit berganti nama. Meskipun begitu, pernyataan saya ini sangat lemah. Ini berhubungan dengan akar budaya di Indonesia, dan masih eksis hingga saat ini.
Peraturan Vs Kearifan Lokal
Kenapa saya menganggap pernyataan saya di atas adalah lemah? Berikut akan saya ceritakan di paragraf selanjutnya.
Di Jember, bila ada anak yang sakit-sakitan sejak kecil, maka orang tuanya disarankan (oleh tokoh masyarakat yang dianggap mumpuni) untuk merubah nama anaknya. Dikatakan bahwa anak tersebut 'kaboten jeneng' atau nama yang disandang terlalu berat, hingga jasmani tidak mampu menopangnya.
Kesulitan saya untuk melacak nama Abdoel Moeki bukan hanya terletak pada perbedaan masa hidup, tapi juga sosial budaya kemasyarakatan. Tidak perlulah kita membahas perbedaan dari sisi teknologi. Lebih dari itu, saya sedang menghadapi sebuah budaya yang oleh orang pintar diberi nama teknonim.
Teknonim adalah penyebutan orang tua berdasarkan nama anaknya bukannya nama diri orang tua. Misalnya seorang lelaki bernama Abdul Rohim kemudian ketika punya anak bernama Hakim, maka sebutan Abdul Rohim menjadi Bapaknya Hakim. Kebiasaan ini bukan hanya ada di Jember, tapi juga terdapat di hampir seluruh daerah di Indonesia.
Bisa jadi di era 1930-an Abdoel Moeki menikah dan punya anak, kemudian dia dipanggil dengan nama anaknya. Atau berubah seperti nama-nama tokoh Indonesia. Muhammad Sahab menjadi Tuanku Imam Bonjol, Muhammad Darwisy menjadi KH. Ahmad Dahlan, dan masih banyak lagi.
Memanggil nama sesuai gelarnya
Jika Abdoel Moeki berakhir dengan menunaikan ibadah haji ke Mekkah, tentunya sepulangnya dia akan disebut dengan Pak Haji. Atau dia menggeluti pekerjaan yang mengharuskan dia memiliki nama baru. Di Jember, budaya memanggil seseorang dengan gelarnya masihlah lestari, meskipun pelestarinya semakin sedikit. Katakanlah dia menjadi guru, maka bisa jadi dia akan menghabiskan sisa usianya dengan panggilan, Pak Guru.
Namun, segala keresahan saya menguap setelah menemukan Dokumen berupa identitas (semacam KTP) dari Batavia keluaran tahun 1921. Saya berharap, dari semua orang yang terdata, salah satunya adalah Abd. Moeki.
Foto di atas saya dapatkan di sebuah blog personal. Anda bisa mengunjunginya di sini. Foto di atas terdiri atas lima lembar foto yang terpisah, lalu saya jadikan satu. Berikut adalah keterangan foto.
- Diterbitkan di Batavia pada 14 April 1921.
- Dokumen ini dicetak diatas kertas zegel jenis emboss, dengan nilai 1 1/2 Gulden (Een Gulden en Vijftig cent).
- Sebuah dokumen sipil jaman Hindia Belanda ini memiliki ukuran: 15 cm X 10 cm.
Kesimpulannya, ada peluang ABD. MOEKI tidak berganti nama.
Tapi kembali lagi pada esensi perburuan ini. Semua itu bukan masalah besar. Apapun hasil akhirnya nanti, selama saya masih berhasrat untuk menelusuri Abdoel Moeki, saya akan terus mencari.
Sedikit Tambahan
Penggunaan nama ABD pada Abdoel Moeki seperti hendak menegaskan mengenai agama yang dipeluknya. Abdoel Moeki bisa keturunan Arab bisa juga penduduk pribumi Jember, dan atau pendatang dari luar Jember (suku Jawa, Madura, atau lainnya).
Saya mengerti apa arti Abdul. Yang saya tidak paham, kenapa orang tuanya memberi dia nama MOEKI (atau Muki). Sungguh, saya sudah berusaha mencari arti kata MOEKI di google translate, bertanya, dari buku-buku, makalah, tapi tak ada satupun yang mengantarkan saya untuk mengerti apa arti MOEKI.
Onok sing ngerti artine MOEKI reeek?
Salam Gaya Bulbul!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.