Pada sebuah Majalah Java Bode terbitan 20 November 1928, ada sebuah kutipan (berbahasa Belanda) tentang sosok Engku Nawawi Soetan Makmoer. Sebenarnya artikel tersebut mengabarkan tentang meninggal dunianya putra tanah air yang begitu cerdas ini. Namun ada sesuatu yang menarik minat saya untuk menempelkannya di sini.
"Menjadi moerid jang pertama dari sekolah kelas doea, mendjadi moerid jang pertama dari Normaalschool, jang pertama dari Kweekschool kemoedian mendjadi goeroe poela dari beberapa loesin hal-hal lainnja."
Di sana nampak ada tahapan (dan perbedaan) antara Normaalschool dan Kweekschool.
Yang saya tahu, perbedaan menonjol antara Normaalschool dan Kweekschool terletak pada bahasa pengantar dalam belajar mengajar. Normaalschool menggunakan bahasa daerah, sedangkan Kweekschool menggunakan bahasa Belanda. Diluar itu, Normaalschool dan Kweekschool sama-sama sekolah yang dirancang untuk menghasilkan guru, dan metode sekolahnya sama-sama berbasis asrama.
Kutipan di atas memberi pemahaman baru bagi saya, bahwa setelah tamat dari Normaalschool kita masih bisa melanjutkannya kembali ke Kweekschool. Setidaknya untuk mendalami kurikulum bahasa Belanda.
Sumber kutipan bisa anda lihat di blog Ulama Minang.
Sebuah buku karya P. Swantoro juga memperkaya pemahaman saya akan beda antara Normaalschool dan Kweekschool. Buku karya P. Swantoro tersebut berjudul, DARI BUKU KE BUKU, sambung menyambung menjadi satu.
Di halaman 23, P. Swantoro berkisah tentang seorang pakar sastra Jawa Kuno dan penulis Old Javanese-English Dictionary, dua jilid, masing-masing 1220 dan 2368 halaman, dan masih serenteng lagi prestasinya. Beliau bernama W.J.S. Poerwadarminta. Diceritakan bahwa W.J.S. Poerwadarminta sangat tekun berbahasa asing, terutama bahasa Belanda dan Inggris. Selain itu dia tidak berhenti mempelajari bahasa Jawa Kuno, dan kemudian bahasa Jepang. Kenapa? Tidak lain karena W.J.S. Poerwadarminta hanyalah seorang lulusan Normaalschool. Berikut kisah yang dipaparkan dengan apik oleh P. Swantoro.
Kisah P. Swantoro Tentang W.J.S. Poerwadarminta
Pada tahun 1963, saya sempat mewawancarai Poerwadarminta untuk keperluan majalah Intisari. Ia berkisah, di jamannya dulu, gaji seorang guru lulusan Normaalschool hanya 40 gulden, sedangkan lulusan Kweekschool, sekolah guru yang juga empat tahun, tetapi berbahasa-pengantar Belanda, 75 gulden. Karena itu, para siswi sekolah guru menjuluki guru-guru lulusan Normaalschool "sego abang" (nasi merah), sedangkan lulusan Kweekschool "sego putih" (nasi putih). Ejekan menyakitkan inilah yang memacu Pak Poerwo, dan barangkali juga sejumlah rekannya, untuk mempelajari bahasa-bahasa asing, khususnya bahasa Belanda.
Pernah, katanya, ia sengaja berbicara bahasa Inggris di depan seorang guru lulusan Kweekschool. Pak Guru ini lantas bercerita kepada teman-temannya. "Bukan main!" kata Pak Guru itu. "Baru saja saya kedatangan Belanda-Inggris, casciscus di depan saya!"
Beda Antara Normaalschool dan Kweekschool
Saya sangat berterima kasih sekali atas karya P. Swantoro. "Terima kasih Pak, anda adalah seorang Kakek yang hebat."
Sekarang saya mengerti, perbedaan antara Normaalschool dan Kweekschool bukan hanya terletak pada bahasa pengantarnya saja (Kweekschool berbahasa-pengantar Belanda, sedangkan Normaalschool tidak). Lebih dari itu, dalamnya jurang pemisah juga turut menyertai kisah diantara keduanya. Bukan hanya tentang perbedaan gaji, tapi juga status sosial (dan dampak-dampaknya dalam realita sosial kemasyarakatan). Semua itu dipaparkan dalam diksi yang sungguh apa adanya. Sego abang dan sego putih.
Semakin tahulah saya sekarang, bahwa sosok yang saya telusuri, yang meninggalkan jejak nama ABD. MOEKI tahun 1923, dia adalah sego abang.
Salam Gaya Bulbul!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.