Ya, saya bebas menari tanpa harus berpusing-pusing ria memikirkan ruang dan waktu, karena saya memang tidak sedang mengerjakan tugas akademis. Saya hanya sedang mencari tahu ABD. MOEKI, seseorang yang saya kenal dari selembar foto saja. Dari sana, saya berempati pada apa yang ABD. MOEKI rasakan waktu itu.
Indah sekali. Saya bisa mengembara dari satu masa ke masa yang lain. Meski begitu, sesekali saya kembali pada masa-masa dimana selembar foto yang saya dapati itu menunjukkan angka tahunnya. Di abad ke dua puluh, tepatnya di era 1920-an.
Schoolklas in Nederlands-Indie - Circa 1920
Foto dari KITLV
Alat Tulis Sabak dan Grip
Tiba-tiba saya sudah berada di sebuah masa, dimana alat tulis yang digunakan oleh putra putri tanah air hanyalah sabak, dan alat tulis ini tidak bisa dipisahkan dari yang namanya grip. Sabak adalah bukunya, sedang grip berperan sebagai bolpoin-nya.
Berikut adalah cuplikan kalimat dari Bapak Slamet Wijadi, di hari pertama beliau masuk sekolah. Beliau adalah siswa baru di Sekolah Desa, di daerah Wunut.
"Pada hari pertama masuk kelas kami mendapat pembagian “sabak” (batu tulis) dan “grip” (anak batu tulis) untuk menulis di sabak dan itulah alat tulis menulis jaman itu. Sama sekali belum dikenal buku tulis dan pensil. Tulisan pada sabak tersebut dengan mudah dapat dihapus, sehingga alat tersebut bisa digunakan secara berulang-ulang, cukup hemat."
Mengenai kenangan akan sabak, juga saya temukan di sebuah tulisan manis milik Bapak Bambang, beliau adalah seorang kompasianer.
Cara menggunakan sabak
Sabak harus selalu berdampingan dengan grip. Sabak sebagai media untuk menulis sedangkan grip adalah alat tulisnya maka sampai sekarang tempat menyimpan pensil atau balpen disebut doosgrip, seharusnya kan doospen ya …
Jadi kalau mengerjakan tugas atau ulangan ya sabak itulah yang digunakan. Dengan menggoreskan grip yang runcing di permukaan sabak, akan menghasilkan bekas seperti menulis pada kertas menggunakan pensil, tetapi agak lebih jelas dari pensil. Menulis huruf, membuat angka pada pelajaran berhitung dan menggambarpun dengan menggunakan sabak dan grip. Bagaimana kalau mencatat? Itulah kelebihan anak sekolah jaman dahulu. Tidak mempunyai catatan, tetapi memahami pelajaran. Ingatan dan pendengaran sangat memegang peranan. Saat diterangkan guru mendengarkan dengan seksama dan menyimpan semua penjelasan guru dalam ingatan sebagai catatan.
Dua paragraf tulisan Bapak bambang di atas sungguh berhasil mengajak saya mengimajinasikannya. Seolah-olah saya sedang ada di dalam kelas dan menulis sesuatu di atas sabak.
Ah, saya juga punya kenangan akan sabak. Dulu sekali, Kakek saya pernah menceritakan ini, saat beliau masih sekolah di Sekolah Rakyat.
wah...ipad tempo dulu ini ya sam, hehehe...
BalasHapusIyo, hebat yo. Dengan minimnya fasilitas, mereka belajar dengan metode, mengasah dan mengandalkan daya serap tingkat tinggi.
HapusArtikel yang menarik sekali Om :)
BalasHapusyang saya penasaran, apakah pada tahun 1920, di sekolah seperti ELS yang mana murid-muridnya 95% terdiri dari anak Londo juga menggunakan sabak dan grip ?
Saya sedang mengumpulkan referensi mengenai pendidikan tahun 1920-1930 an di Malang.
Salam kenal :)
Tahun segitu sudah banyak yang menggunakan buku tulis. Di banyak foto (di situs Belanda seperti situs museum dan kitlv) juga banyak foto yang menyatakan bahwa sekolah-sekolah seperti ELS sudah menggunakan media buku dan alat tulis.
HapusSalam kenal kembali Mbak Erika, maaf baru balas :)
Terima kasih...