Saya mengenal Bapak Edi Burhan Arifin di kampus Fakultas Sastra Universitas Jember. Beliau menyelesaikan S2-nya di Fakultas Ilmu Budaya UGM, di akhir tahun 80-an. Wilayah penelitiannya adalah Jember. Beliau menyeleseaikan penelitiannya (dengan dibimbing oleh Dr. Djoko Suryo) yang berjudul, Emas Hijau di Jember : Asal-usul, pertumbuhan dan pengaruhnya dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat 1860-1930-an.
Tak berhenti sampai di sana, Pak Edi (begitu biasanya saya memanggil beliau) terus menerus melakukan eksplorasi tentang Jember abad XIX - XX. Dengan tidak berniat menenggelamkan peran sejarawan sebelumnya, bisa dikatakan, Pak Edi lah yang mempopulerkan keberadaan dan kehidupan di Jember di era 1860 hingga 1930-an.
Ketika saya menjadi mahasiswa dan dihadapkan pada tugas yang menuntut saya menggali sejarah Jember, saya menghabiskan banyak waktu di perpustakaan jurusan sejarah untuk membaca hasil penelitian beliau tentang Emas Hijau di Jember.
Pak Edi memulai kajiannya dengan memaparkan setting Jember sebelum era George Birnie. Dikatakan bahwa Jember adalah wilayah yang sepi dan terisolasi. Statusnya sebagai salah satu distrik dari regentschap Bondowoso.
Kemudian beliau bicara tentang situasi di Hindia Belanda, yang sedang mengadakan penetrasi sistem kapitalisme yang berwujud perkebunan partikelir. Ini berhubungan erat dengan pergantian sistem kultivasi (lebih kita kenal dengan Cultuurstelsel atau sistem tanam paksa sejak 1830). Sistem tanam paksa diterapkan karena Belanda hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar (perang Diponegoro 1825 - 1830). Jika dilihat dari pihak Belanda, sistem tanam paksa berhasil luar biasa. Tapi sistem ini hanya membawa tragedi kemelaratan bagi rakyat Indonesia (Van Niel:1988).
Sistem tanam paksa kemudian dihentikan setelah muncul berbagai kritik (dari kelompok liberal) dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870 dan UU Gula 1870, yang mengawali era liberalisasi ekonomi dalam sejarah penjajahan Indonesia.
Diantara waktu sistem tanam paksa dan mendekati dikeluarkannya UU Agraria tersebut, Pak Edi mulai menuliskan tentang seorang George Birnie. Dimulai saat George Birnie dan rekan-rekannya (Mr. C. Sandenberg Matthiesen dan van Gennep) mengajukan ijin pada Pemerintah Hindia Belanda untuk membuka usaha di Jember.
Usaha tersebut terwujud pada 21 oktober 1859, ditandai dengan didirikannya Landbouw Maatsccappij Oud Djember, bergerak di bidang tembakau (jenis Na Oogst).
Pada 1909, NV LMOD semakin melebarkan sayapnya dengan tidak hanya pada tembakau, melainkan juga perkebunan aneka tanaman seperti kopi, cacao, karet dsb.
Jember yang tadinya terisolir, berubah menjadi daerah potensial yang terus bertumbuh dan berkembang. Terlebih, pada tahun 1883 Jember mengalami perubahan status. Dari yang semula distrik menjadi regentschap sendiri terpisah dari Bondowoso. Ini berpengaruh pada pembangunan infrastuktur seperti jalan, jembatan, dll.
Dengan dibukanya jalur kereta api dari Surabaya menuju Probolinggo dan terus ke Jember, serta dari Jember menuju Panarukan, semakin membuat Jember terlihat wow. Jalur kereta api tersebut direncanakan untuk mengangkut produk komoditi eksport menuju pelabuhan Panarukan pada era 1890-an.
Perkembangan ini berpengaruh pada banyak sisi. Mulai dari ledakan jumlah penduduk Jember dikarenakan adanya gelombang migrasi besar-besaran yang didominasi oleh dua suku besar, Jawa dan Madura, hingga perubahan sosial budaya dan ekonomi. Seiring bersoleknya Jember, denyut perubahan menyertai langkah-langkahnya.
Itulah gambaran umum sejarah Jember di pertengahan abad XIX hingga desenia ketiga abad XX. Wacana kesejarahan Jember dimulai dari penetrasi modal besar-besaran untuk perkebunan. Terkesan sangat kapital. Mengenai sejarah Jember sebelum tahun tersebut, ibarat puncak rengganis yang tertutup kabut tebal.
Selanjutnya, saya akan mencoba menuliskan perkembangan Jember secara lebih rinci. Masih bersandar pada data-data yang ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.