Kamis, 25 Oktober 2012

Abdoel Moeki Mengajak Saya Terbang

Kamis, 25 Oktober 2012
Harus saya akui, rasa penasaran pada sosok Abdoel Moeki (dan segala yang berkaitan dengan Normaalschool) memaksa saya untuk melahap buku lebih banyak, menyiagakan telinga lebar-lebar, dan mengkorupsi hak tubuh untuk beristirahat.

Saya tidak terlahir sehebat Bacharuddin Jusuf Habibie, Achmad Bachtiar, Mungki Krisdianto, Ananda Firman Jauhari atau Gus Dur. IQ saya biasa-biasa saja, terbukti dari raport sekolah saya yang rata-rata air . Ketika seorang Galih Nofiyan (Almarhum) dengan mudah memahami buku tipis karya Romo Mangun, itu tidak terjadi pada saya. Butuh waktu yang panjang bagi saya untuk memahami buku (yang saya lupa judulnya) tersebut.

Modal saya untuk mencari tahu siapa gerangan Abdoel Moeki hanya satu. Karena saya ingin mencari tahu, itu saja. Tak ada yang menyuruh, tidak ada yang memberi tekanan, pun tidak ada maksud lain yang sengaja saya sembunyikan dibalik 'kekonyolan' ini. Semua mengalir sederhana, seperti ketika saya masih bocah dan tiba-tiba saya berhasrat untuk mengejar layang-layang yang putus dari benangnya. Itu bukan karena Bapak saya tidak bisa membuatkan layang-layang. Sama sekali bukan. Semua hanya karena sebuah kata bernama 'ingin.'

Bermula dari perkenalan saya dengan selembar foto di situs KITLV, kemudian timbul hasrat alami untuk mencari sosok ABD. MOEKI yang namanya terhias indah di sebuah plakat kertas tebal.

Namanya ABD. MOEKI, dia seorang siswa di Normaalschool voor inlandse hulponderwijzers di Jember, tahun 1923.

Adalah tidak mungkin jika hanya itu modal awal yang saya jadikan senjata untuk mencari tahu siapakah Abdoel Moeki. Tapi saya tidak peduli. Ibaratnya saya adalah seorang pengelana di tanah gersang yang merindukan setetes air. Kemanapun saya memandang, fatamorgana selalu setia menemani jejak kaki-kaki kecil ini. Semua menawarkan ketidakpastian yang indah, selayaknya fatamorgana yang sebenarnya.

Abdoel Moeki membuat saya berpikir bahwa cerita rakyat, dongeng kakek, legenda yang tersisa, dan segala hal yang serupa, itu semua sangat penting. Kita hanya butuh tulus untuk mendengar sang penutur, senyum manis untuk berucap terima kasih, dan super filter manakala harus merangkainya.

Maka berpetualanglah saya dengan kisah-kisah (yang dianggap) usang itu. Meskipun saya tahu, bukan itu yang saya butuhkan saat pertama kali memulai pencarian. Saya butuh tahu dimanakah lokasi gedung Normaalschool Jember, dan butuh kepastian akan status ABD. MOEKI sendiri. Apakah dia seorang siswa, guru, ataukah nama seorang tokoh terkemuka di jamannya. Tapi, ketika buku tak lagi bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan kita, maka jawabannya adalah dengan membentangkan sayap silaturrahmi, baik dalam arti sebenarnya maupun kiasan bersayap.

Saya mencari ABD. MOEKI dari era yang terdekat, saat sejarah Jember banyak mengukir nama-nama orang yang layak dijadikan pahlawan. Letkol M. Sroedji, Dr. Soebandi, dan semua orang di bentangan sejarah Agresi Militer II, saya telusuri kembali. Berharap menemukan titik-titik pencerah, mengingat jarak antara Agresi Militer II dengan usia selembar foto tersebut hanya 22 tahun.

Perihal budaya nama-nama di bumi nusantara juga tidak luput dari ketertarikan saya. Misal, nama marga. Atau ketika jaman kerajaan Majapahit, banyak terlahir tokoh-tokoh yang namanya diambil dari nama-nama binatang. Ketika agama semakin memperkaya peradaban Indonesia, muncullah nama-nama yang tak jauh dari filosofi agama yang dipeluk si empunya nama. Dan lahirlah Moeki, yang menyingkat nama depannya menjadi ABD. Nama yang seharusnya terdiri dari dua suku kata (Abdoel), penyebutannya menjadi lebih panjang ketika disingkat ABD.

Petualangan saya pada budaya nama-nama itu mengantarkan saya pada Bupati Jember yang pertama (mengikuti aturan yang tercatat di PEMKAB Jember). Beliau adalah Bapak Notohadinegoro, yang namanya diabadikan sebagai nama Stadion. Nama beliau adalah Wiryodinoto. Kemudian beliau diberi gelar oleh Mangkunegaran Solo, karena mempersunting putri Keraton Solo. Sebelum menjabat Bupati di Jember, Bapak Notohadinegoro adalah seorang Wedono di Ngadiluwih - Kediri.

Tidak berhenti pada nama-nama, saya juga memerdekakan diri untuk terbang ke abad ke-15, atau bahkan yang lebih lama lagi. Ketika harus menceritakan tentang sejarah periklanan, saya malah melayang ke masa Yunani kuno, yaitu di periode Yunani Arkais di abad kedelapan sampai keenam Sebelum Masehi.

Watu macan, batu gong, dan masih berderet lagi peninggalan di Jember yang sempat saya intip. Tidak ada hubungannya dengan pencarian ABD. MOEKI memang, dan sebagiannya tergolong legenda (seperti kisah macan Jember yang senang meloncat dari Raung ke Argopuro). Tapi dari pencarian ABD. MOEKI-lah hasrat kesejarahan itu tumbuh.

Orang-orang yang mengenal saya tentu paham, saya bukan seseorang yang Jember Centris atau Mber Mejember. Bukan, sama sekali bukan. Saya tidak pernah memenjarakan diri ini dengan ikatan teritorial. Hanya saja, semakin saya bertumbuh besar, saya memilih untuk tinggal dan memejamkan mata di sini. Seperti kata seorang teman, seharusnyalah kita belajar untuk memilih manakala kesempatan untuk itu masih ada.

Saya rasa, inilah alasan kenapa saya banyak-banyak menulis tentang Jember di blog-blog usang (bahkan tiga diantara blog tersebut tak terawat, untuk kemudian saya tutup), menciptakan lagu Ai eLof Jember, dan sekarang bertambah satu lagi yaitu berburu dongeng.

*******

Angin membawa saya mengerti, bahwa Moeki adalah seorang siswa Normaalschool. Kunci jawaban tersebut saya temukan melalui plakat nama. Sepertinya mudah, tapi bagi saya tidak sangat mudah. Untuk menemukan kunci jawaban mengenai status Moeki, saya masih harus membandingkan foto tersebut dengan berbagai foto seputar suasana belajar mengajar di jaman Hindia Belanda. Mengingat mudahnya melihat foto di dunia maya (kari bondho klik), ada banyak sekali foto yang saya jadikan perbandingan.

Kebiasaan (baru) saya dalam menthelengi foto, memberi saya wawasan baru mengenai
pentingnya melakukan perbandingan foto-foto Normaalschool di dunia, dalam hal menelusuri ABD. MOEKI dan Normaalschool itu sendiri.

Saya pelajari juga sejarah plakat di Indonesia (dan dunia). Mulai dari sejarah diketemukannya kertas di dunia, sejarah mesin cetak, sejarah pers, hingga pers pertama yang ada di kota kecil Jember.

Ketika ada yang bertanya, apa alasan orang Belanda mendirikan sekolah bagi anak-anak Indonesia? Saya berpikir sangat dalam. Lalu saya mencari data-data manual, buku-buku penunjang (apapun buku tersebut), kontak kawan-kawan yang potensial memiliki buku yang saya inginkan, bertanya, hingga akhirnya online dan mencari sebuah buku yang ada format PDF-nya. Atau kalau tidak, saya akan membuka katalog sebuah toko buku online, dan inceng-inceng beberapa halaman yang disediakan.

Begitulah, perburuan saya pada sosok ABD. MOEKI. Melebar selebar-lebarnya sejalan dengan argumentasi kawan-kawan, pertanyaan-pertanyaan baru, selentingan bersahabat, buku-buku pinjaman baru, hingga humor-humor cerdas. Saya menerima semuanya, lalu saya menyaringnya. Sama seperti ketika Almarhumah Ibu saya sedang meremas parut kelapa di atas saringan. Ampasnya akan saya gunakan untuk mengelap lantai, sedang santannya akan saya manfaatkan sebagai senjata mencari ABD. MOEKI.

Ya, saya tidak tertib diksi. Anda bisa lihat sendiri di tulisan ini. Ketika saya harus menyebut nama sasaran tembak, saya menggunakan berbagai gaya. Kadang ABD. MOEKI (dengan huruf kapital), kadang Abdoel Moeki, kadang malah hanya Moeki saja. Tak apalah jika saya dibilang tidak tertib dalam menggunakan kata. Hidup itu luas, saya hanya sedang mencoba memanfaatkan keluasan yang indah ini.

Segala Hal Yang Saya Dapatkan Tentang ABD. MOEKI


1. ABD. MOEKI adalah nama lain dari Abdoel Moeki, dia menyingkat nama depannya menjadi ABD. Trend menyingkat nama Abdoel (atau Abdul) menjadi ABD ini kembali mencuat di tahun 1970-an.

2. Moeki adalah siswa Normaalschool voor inlandse hulponderwijzers di Jember.

Normaalschool adalah sekolah untuk guru, berbahasa pengantar bahasa daerah, dan sistem pendidikannya asrama. 

Tadinya saya heran dengan istilah (nama) Normaalschool atau Sekolah Normal. Kok namanya Sekolah Normal ya? Kesannya, yang sekolah di sini adalah siswa-siswi yang tidak normal, disekolahkan agar menjadi normal. Ternyata tidak, itu adalah istilah yang diadopsi dari sebuah sekolah model di Paris. Dimana di sekolah itu, pola pengajaran antara guru dan siswa bersifat pro aktif. Seperti jaman saya SD dulu, paket pelajarannya bernama CBSA, Cara Belajar Siswa Aktif.

Abdoel Moeki bukan nama salah seorang guru seperti perkiraan saya sebelumnya.  Dia adalah siswa sang pemegang plakat bertuliskan namanya sendiri.

3. Moeki bukan anak dari seorang Ningrat, melainkan pribumi biasa.

Normaalschool adalah sekolah pendidikan guru yang dirancang khusus untuk sekolah anak-anak pribumi, berkebalikan dengan Kweekschool.

Adapun baju bagus yang dikenakan oleh murid-murid Normaalschool, itu karena mereka sedang ada di tahun pengajaran baru. Baju yang mereka kenakan (seperti yang tampak pada foto), adalah baju terbaik yang ada di koleksi lemari keluarga mereka. 

Para orang tua yang berkedudukan tinggi, ningrat, saudagar, lebih memilih menyekolahkan anaknya di Kweekschool daripada Normaalschool. Meskipun sama-sama sekolah guru, tapi beda bahasa pengantar. Kweekschool menggunakan bahasa Belanda. Lebih bergengsi dan bersifat mengangkat status sosial, juga karena tamatan Kweekschool lebih berpeluang untuk menjadi seorang elit Hindia Belanda.

Meskipun sederajat, dalam kondisi tertentu siswa lulusan Normaalschool bisa meneruskan di Kweekschool. Misalnya, dia adalah siswa berprestasi di Normaalschool, maka bisa saja dia berpeluang untuk melanjutkan di Kweekschool.

4. Usia Abdoel Moeki adalah 15 tahun.

Jika menengok buku karya Elizabeth E. Graves (yang berjudul, Asal-usul elite Minangkabau modern: respons terhadap kolonial Belanda abad XIX/XX), disebutkan bahwa, untuk masuk Normaalschool, para siswa tidak perlu tamat sekolah nagari (atau sekolah desa, atau Volkschool), tapi mereka setidaknya harus berumur 14 tahun.

Argumentasi yang lain. Untuk masuk Normaalschool harus lulus dari Vervolg atau Sekolah Kelas II (lebih populer dengan istilah Sekolah Ongko Loro). Sekolah yang dirancang khusus untuk pribumi ini memiliki masa studi 5 tahun. Sebelumnya, harus menempuh Sekolah Desa dengan masa studi 3 tahun.

Masa Hinda Belanda tidak ada Kelompok Bermain (Speel Groep) dan sekolah TK (Voorbels). Siswa pribumi belum boleh memasuki sekolah desa jika belum berusia 7 tahun. Pengecualian untuk yang berumur 6 tahun tapi tangan kanannya sudah bisa menggapai telinga kiri, masih bisa dikompromi. Untuk sekolah-sekolah dasar yang berbahasa pengantar Belanda, diperbolehkan memulai studinya di usia 6 tahun.

Berhubung Moeki adalah pribumi biasa, dia akan menempuh sekolah di Sekolah Desa selama tiga tahun, dan masuk pada usia 7 tahun. Ketika berumur 10 tahun, Moeki melanjutkan sekolahnya di Sekolah Ongko Loro atau Vervolg, dengan masa studi 5 tahun. Jadi dia lulus dari Vervolg di usia 15 tahun, kemudian melanjutkan ke Normaalschool.

5. Abdoel Moeki dilahirkan di tahun 1908.

Berpatokan pada angka tahun dalam foto, saat itu Moeki berusia 15 tahun. Jadi tahun kelahirannya adalah 1923 - 15 = 1908.

6. Abdoel Moeki berusia 37 tahun ketika Indonesia merdeka.

Mohon maaf, poin enam ini hanya prediksi saya saja, sama sekali tidak ada maksud mempermainkan hal yang ghaib. Bermaksud untuk memudahkan saya dalam mengimajinasikan latar sejarah di masa hidup Abdoel Moeki.

7. Normaalschool Jember berlokasi di wilayah Sukorejo, sekarang gedungnya menjadi Markas Batalyon 509.

Tadinya saya mengira gedung Normaalschool berada di Het sociƫteitsgebouw te Djember, ternyata sumber yang lebih rinci mengantarkan saya ke sana. Akan tetapi poin ini belum final, akan saya sempurnakan di kesempatan yang lain.

Sedikit Tambahan

Vervolg atau Sekolah Kelas II (Ongko Loro) di Jember telah terdeteksi keberadaannya sejak 5 januari 1892, dari daftar gaji yang saya dapatkan di situs dbnl berikut ini.


Perburuan saya tentang ABD. MOEKI memang jauh dari kata selesai, karena sedari awal saya tidak memberi batasan tentang garis finish-nya. Sementara hanya ini yang bisa saya dapatkan. Namun dari yang sedikit ini, saya memungut banyak hal tentang kisah pendidikan di Indonesia.

Yang membuat saya terpana (dan sedikit marah) adalah kenyataan bahwa Normaalschool dipandang sebelah mata, teristimewa oleh si pembawa sistem itu sendiri.

Bahwa Normaalschool adalah sekolah kelas rakyat, berbahasa pengantar bahasa daerah, dan dianggap terbelakang dibanding sekolah-sekolah berbahasa Belanda, bisa anda simak dari kisah P. Swantoro saat mewawancarai W.J.S. Poerwadarminta (dalam bentuk spoiler).

Penggalan Kisah dari Pak Poerwa:

Penggalan kisah P. Swantoro saat mewawancarai W.J.S. Poerwadarminta:

Pada tahun 1963, saya sempat mewawancarai Poerwadarminta untuk keperluan majalah Intisari. Ia berkisah, di jamannya dulu, gaji seorang guru lulusan Normaalschool hanya 40 gulden, sedangkan lulusan Kweekschool, sekolah guru yang juga empat tahun, tetapi berbahasa-pengantar Belanda, 75 gulden. Karena itu, para siswi sekolah guru menjuluki guru-guru lulusan Normaalschool "sego abang" (nasi merah), sedangkan lulusan Kweekschool "sego putih" (nasi putih). Ejekan menyakitkan inilah yang memacu Pak Poerwo, dan barangkali juga sejumlah rekannya, untuk mempelajari bahasa-bahasa asing, khususnya bahasa Belanda.
Syukurlah, Indonesia memiliki bunga-bunga bangsa yang hebat dalam memberi sentuhan pada dunia pendidikan di negeri ini. Diantara yang banyak itu, salah satunya adalah Kyai Ahmad Dahlan. Beliau bisa memberi polesan indah pada sejarah pendidikan di negeri ini. Saya membaca kisahnya di aneka sumber. Salah satunya di karya hebat seorang dosen Universitas Paramadina bernama Yudi Latif. Buku itu berjudul: Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20.

Beruntung saya menemukan format PDF buku tersebut. Karena terus terang saja, buku bergizi setebal 822 halaman ini harganya juga lumayan bergizi untuk saya. Tapi saya tetap berharap, semoga di waktu yang lain buku tersebut bisa bersandar manis di pojok rumah.

Sayang sekali, buku setebal ini hanya menyebutkan Normaalschool sekali saja. Ya, hanya satu kali. Di halaman 230, dan terletak di catatan kaki berkode 40. Ah...

Salam Gaya Bulbul!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.

RZ Hakim © 2014