Selasa, 22 Januari 2013

Keberadaan Sekolah Chung Hwa di Jember Tahun 1911 - 1965

Selasa, 22 Januari 2013
Moeki Memperkenalkan Saya Dengan Maria Goreti

Atas nama rasa penasaran pada selembar foto yang saya dapat di situs KITLV (berangka tahun 1923), saya melacak keberadaan Normaalschool di Jember. Kebetulan, saya suka dengan segala hal yang bersifat sejarah masa lalu. Rasa penasaran itu menghasilkan sederet jawaban seperti berikut ini:
Normaalschool adalah sekolah guru berbasis asrama dengan masa pendidikan 4 tahun, yang diperuntukkan bagi rakyat biasa / pribumi. Normaalschool Jember berdiri sekitar tahun 1917. Gedung sekolah ini terletak di daerah Kebonsari. Sekarang gedungnya digunakan untuk markas Yon ARMED Jember.
Keisengan saya dalam melacak eksistensi Normaalschool di Jember mengantarkan saya berkenalan dengan banyak orang (karena saya meramu antara studi pustaka dan data lisan, itulah yang menuntut saya untuk bertemu dengan banyak orang).

Dari sana saya mendapat seorang kawan baru bernama Maria Goreti. Dia adalah mahasiswi jurusan Ilmu Sejarah di UJ yang sedang bercumbu dengan skripsi. Dan tema yang dia kemukakan adalah tentang keberadaan sekolah Tionghoa di Jember yang berdiri sejak 1911. Sekolah itu bernama Chung Hwa. Sangat menarik.


Foto di atas hanyalah contoh, karena saya kesulitan mencari foto lama Chung Hwa Jember. Menggambarkan tentang suasana kelulusan sekolah Chung Hua - Surabaya untuk angkatan ke 16 tahun 1965.

Kata Kunci Untuk Menemukan Sekolah Chung Hwa Jember

Sayang sekali sekolah tersebut tidak meninggalkan data yang banyak. Setidaknya itu yang saya rasakan sejak akhir Desember 2012, ketika mencoba mencari tahu akan keberadaan Chung Hwa Jember. Berikut adalah data-data yang terbatas tersebut.

1. Gedung sekolah Chung Hwa bertempat di pusat kota, sebelah selatan Johar plaza. Sekarang beralamatkan JL. Pangeran Diponegoro - Jember. Saat ini bekas gedung sekolah Chung Hwa digunakan sebagai kompleks pertokoan Mutiara Plaza Jember.

2. Sekolah Chung Hwa Jember berdiri sejak 1911 (data lain menyebutnya sejak 1910) dan tutup antara tahun 1965 - 1966, saat kondisi perpolitikan di Indonesia diwarnai oleh penumpasan PKI.

3. Setelah sekolah Chung Hwa tutup, pada bulan September 1966 gedung eks Chung Hwa Jember dikuasai oleh Yayasan Bersama KAMI dan KAPPI. Selanjutnya, gedung ini dimanfaatkan oleh Fakultas Tarbiyah IAIN “Sunan Ampel” Jember, sebelum akhirnya berganti lagi menjadi Kompleks Pertokoan Mutiara Plaza.

Data di atas bersumber dari situs resmi STAIN Jember dengan sub judul; Sejarah STAIN Jember. Di sana tidak tertulis nama Chung Hwa, melainkan THHK alias Tiong Hoa Hwee Koan.


Mengenal THHK, CHH, dan PTI

Bermula dari situs resmi STAIN Jember yang tidak menuliskan Chung Hwa (pada nama gedung) melainkan THHK, akhirnya saya berpikiran sederhana. Untuk mengenal lebih dekat sekolah Chung Hwa di Jember, saya harus menjlentrehkan satu-persatu. Dari THHK, CHH, dan sekaligus Partai Tionghoa Indonesia. Alasan kenapa saya mengikutsertakan PTI dalam pembahasan, tidak lain karena kedua organisasi sebelumnya (THHK dan CHH) memiliki kaitan dengan berdirinya PTI.

Garis besarnya seperti ini. Kaum Tionghoa (di nusantara) secara politik terbagi menjadi 3 kelompok utama, yang pro nasionalis Cina Daratan yang diwakili oleh kelompok THHK (dengan surat kabar berbahasa peranakan Tionghoa bernama SIN PO), pro Hindia Belanda yang diwakili oleh CHH (Chung Hwa Hui) dan pro nasionalis Indonesia yang diwakili oleh Partai Tionghoa Indonesia (PTI).

Tulisan di bawah ini bersumber dari Ririn Darini yang berjudul, Nasionalisme Etnis Tionghoa di Indonesia, 1900-1945. Beliau adalah staf pengajar pada jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi, Universitas Negeri Yogyakarta. Baiklah, mari kita tengok satu persatu.

Mengenal THHK di Indonesia

THHK atau Tiong Hoa Hwee Koan berdiri di jakarta sejak tahun 1900. Tokoh THHK rata-rata adalah orang-orang Tionghoa dengan pendidikan barat. Adapun alasan dari berdirinya THHK adalah untuk meningkatkan posisi orang Tionghoa dalam kemajuan dan perlindungan negara. Dalam bahasa yang lain, mereka menuntut adanya persamaan hak antara Tionghoa dan Eropa.

Kunci untuk meningkatkan posisi orang Tionghoa adalah kemajuan dan perlindungan negara. Gerakan nasionalisme Tionghoa ini menuntut persamaan hak antara orang-orang Tionghoa dengan Belanda. Menurut Onghokham, sifat gerakan ini eksklusif, artinya gerakan demi golongan sendiri dan tidak ada hubungannya dengan anti kolonialisme, meskipun gerakan tersebut anti pemerintah kolonial.

THHK banyak mendirikan sekolah-sekolah untuk warga etnis Tionghoa dan mendidik mereka untuk menjadi nasionalis Tiongkok. Buku-buku pelajaran yang digunakan di THHK umumnya diimpor dari Tiongkok atau Singapura yang isinya tidak sesuai dengan keadaan di Indonesia. Akibatnya murid-murid THHK merasa asing dari masyarakatnya dan tanah airnya, walaupun mereka telah turun-temurun di Indonesia.

THHK terus mencari saran, bantuan, dan perlindungan dari negeri Tiongkok. Dinasti Ch’ing yang melihat kesempatan memperoleh kemakmuran orang Tionghoa di Indonesia memberikan tanggapan positif. Sejak tahun 1906 pejabat tinggi dari Dinasti Ch’ing berkunjung ke Indonesia setiap tahun. Selanjutnya didirikan Siang Hwee (kamar dagang Tionghoa) di pusat-pusat perdagangan. Siang Hwee memboikot perusahaan Eropa untuk melindungi kepentingan dagang Tionghoa.

Seiring dengan berkembangnya sekolah-sekolah THHK, kaum revolusioner yang mendukung Sun Yat Sen datang ke Hindia dan menjadi guru di sekolah-sekolah THHK. Sejak tahun 1909 mereka mendirikan Soe Po Sia, perkumpulan membaca yang menyebarkan informasi dan propaganda politik bagi orang Tionghoa. Di perkumpulan ini diberikan pelajaran, buku, dan terbitan berkala untuk publik Tionghoa.

Surat kabar berbahasa peranakan Tionghoa, Sin Po, mendukung nasionalisme politik Tionghoa. Mereka mendesak masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda meninggalkan kekawulaan Belanda, dan menarik diri dari institusi-institusi politik lokal tetapi terlibat secara aktif dalam politik di Tiongkok. Kalangan nasionalis Sin Po tidak berhasrat bekerja sama dengan Belanda. Mereka menginginkan kesetaraan dengan Belanda di depan hukum. Mereka juga menuntut pendidikan Tionghoa bagi kaum Tionghoa di Hindia Belanda.

Dengan runtuhnya Kekaisaran Manchu di Tiongkok, orang-orang Tionghoa mulai berani mengatakan kepada kaum bumiputera bahwa republik yang baru akan segera mengusir Belanda, dan orang Tionghoa akan menjadi penguasa dan tuan bagi mereka. Mereka menuntut kaum bumiputera untuk menyebut mereka “toean” dan memberi hormat, sama seperti yang dilakukan kaum bumiputera terhadap priyayi dan orang Belanda.

Chung Hwa Hui

Nasionalisme etnis Tionghoa yang berorientasi pada Hindia Belanda diwakili oleh organisasi politik Chung Hwa Hui (CHH) yang didirikan pada tahun 1928. Gerakan ini mendapatkan dukungan dari kalangan intelektual peranakan. Kelompok ini menganjurkan menerima kekawulaan Belanda dan aktif berpartisipasi dalam lembaga-lembaga politik lokal termasuk dalam Volksraad (Dewan Rakyat). Para tokoh CHH lebih mendukung pendidikan Belanda daripada pendidikan Tionghoa karena mereka melihatnya sebagai sebuah cara yang baik untuk bisa berhasil dalam masyarakat kolonial.

Orang-orang CHH tidak merasa puas dengan status hukum yang rendah (inferior) dari masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda. Mereka menuntut sebuah status hukum yang akan menempatkan golongan Tionghoa setara dengan Eropa (Belanda) dan golongan Jepang yang dipandang sebagai golongan Eropa di depan hukum. Namun upaya tersebut tidak berhasil karena pihak otoritas Belanda khawatir bahwa gerakan seperti itu akan menimbulkan kemarahan masyarakat pribumi dan akan menyebabkan kekacauan dalam masyarakat kolonial.

Partai Tionghoa Indonesia

Pada tahun 1932 didirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang secara langsung menentang Chung Hwa Hui. PTI meminta masyarakat Tionghoa Hindia Belanda untukk mengidentifikasikan diri mereka sebagai masyarakat Indonesia dan menyetujui upaya kalangan nasionalis Indonesia dalam membentuk sebuah pemerintahan sendiri dan akhirnya Indonesia yang merdeka melalui cara-cara konstitusional.

PTI bersikap anti Belanda dan menolak nasionalisme Tiongkok. PTI bekerja sama dengan pergerakan nasionalis Indonesia.

Partai Tionghoa Indonesia yang didirikan pada tahun 1932 merupakan contoh komunitas etnis Tionghoa peranakan yang memiliki keberpihakan politik dan ekonomi terhadap Indonesia. PTI telah mengidentifikasikan diri sebagai warga negara Indonesia dan memiliki kepedulian yang tinggi untuk berjuang bersama partai politik yang pada saat itu telah ada untuk memperjuangkan nasionalisme dan kemerdekaan Indonesia.

Kembali Pada Sekolah Chung Hwa di Jember

Sekolah Chung Hwa di Jember lahir sebelas tahun setelah THHK terbentuk. Baru setelah itu, pada 1928 berdiri organisasi baru bernama CHH alias Chung Hwa Hui di Jawa. Saat itu para pelajar nusantara yang belajar di Leiden juga sudah membuat organisasi yang sama. Untuk membedakan dengan yang ada di Jawa, CHH di Leiden menambahkan embel-embel Nederland di belakang nama organisasi mereka.

Yang saya bingungkan, kenapa sekolah di Jember memilih nama Chung Hwa? Kenapa tidak bernama THHK seperti yang tertulis di website STAIN Jember? Apakah sebelum 1928 sekolah ini memiliki nama lain? Ternyata bukan begitu. Wacana tentang istilah CHUNG HWA sudah ada jauh sebelum berdirinya CHH.

Wacana Tentang Istilah Chung Hwa

Wacana Chung Hwa setidaknya sudah dimulai sekitar tahun 1880, yaitu sejak adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasty dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat.

Wacana ini sampai dan terdengar oleh orang-orang asal Tiongkok yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan Orang Cina. Diduga panggilan ini berasal dari kosa kata “Ching” yaitu nama dari Dinasty. Orang asal Tiongkok ini yang melahirkan banyak keturunan di Hindia Belanda merasa perlu mempelajari kebudayaannya, termasuk bahasanya. Maka oleh sekelompok orang Cina di Hindia Belanda (1900) didirikanlah suatu sarana sekolah dibawah naungan suatu badan yang dinamakan  Tjung Hwa Hwei Kwan, yang kalau di lafal Indonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK).

THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Tiongkok tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Cina di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah Cina menjadi Tionghoa (di Hindia Belanda). Sumber; Dari artikel Dr. Irawan.

Mana Yang Benar, Hwa Atau Hua

Tadinya saya curiga, istilah yang benar adalah HWA. Sedangkan lidah warga Jember tidak terbiasa dengan huruf W, apalagi lidah masyarakat Jember keturunan Madura. Ternyata tidak juga. Istilah Hua memiliki arti, indah. Kata Hua seringkali bersanding dengan Ren, yang artinya 'orang.'

Hua Ren bisa juga diartikan, semua orang keturunan Cina di seluruh dunia termasuk yang tinggal di RRC maupun di negara-negara lain.

Dalam tulisan ini saya selalu menggunakan kata HWA, merujuk pada nama Organisasi Chung Hwa Hui.

Sepenggal Kisah Dari Alumni Chung Hwa Jember

Di sebuah milis di yahoo group, ada saya temukan sekelumit kisah tentang para alumnus Chung Hwa Jember yang berkumpul untuk melaksanakan sebuah gagasan mulia. Yaitu membantu korban bencana banjir bandang Panti - Jember. Banjir bandang tersebut terjadi pada 1 Januari 2006. Dan mereka semua sempat berkumpul pada empat bulan kemudian, yaitu 11 April 2006 (mengikuti tanggal yang tertera di milis).

Masih bersumber dari milis tersebut. Saya salut dengan apa yang dilakukan oleh para alumni Chung Hwa tersebut. Bukan hanya karena bantuan 130 unit rumah kepada korban bencana banjir bandang, bukan pula hanya karena mereka berbaur bersama para korban bencana banjir bandang di lokasi pengungsian di Dusun Gaplek - Desa Suci, Kecamatan Panti, Jember. Lebih dari itu, banyak dari mereka yang datang dari jauh.

"Mereka tersebar di berbagai negara, dari Amerika Serikat, Australia, Jerman, hingga Tiongkok. Rasa sebangsa, senasib, dan kepedulian tinggi mengantar mereka kembali mengunjungi tanah kelahiran mereka, sebuah kota kecil di ujung timur Pulau Jawa, Jember."

Menurut Hadi Widjaja (ketua pelaksana kegiatan), acara ini sudah dipersiapkan enam bulan sebelumnya. Berarti dua bulan sebelum terjadinya banjir bandang, mereka sudah berencana untuk melaksanakan reuni akbar. Ini kabar baik untuk Maria Goreti. Sepertinya bisa melakukan data lisan melalui forum alumni Chung Hwa.

Adapun nama-nama alumnus yang tercatat dalam milis tersebut adalah:

- Henry J. Gunawan, seorang bos Surya Inti Group
- Mulyadi Kusuma, CEO International Daily News (Grup Jawa Pos)
- Mukmin Ali Gunawan, bos Panin Group
- Dan Hadi Widjaja, ketua pelaksana kegiatan tersebut. Sepertinya Bapak Hadi Widjaja bermukim di Jember. Tapi ini hanya tebakan saya saja, hehe.

Dari milis itu baru saya bisa memastikan bahwa sekolah Chung Hwa di Jember berstatra SR dan SMP. Itu karena di judulnya ada tertulis, alumni SR - SMP Chung Hwa Jember. Kemungkinan besarnya, mereka adalah lulusan di awal tahun 1960-an, beberapa saat sebelum sekolah Chung Hwa tutup.

Sedikit Tambahan

Sulitnya mencari data (dan juga foto) tentang eksistensi Chung Hwa di Jember tahun 1911 hingga 1965, membuat saya tidak malu untuk bertanya pada para pembaca. Adakah diantara anda yang tahu dan memiliki data tentang sekolah Chung Hwa di Jember? Jika ada dan jika anda sudi membaginya, saya akan sangat bahagia sekali. Terima kasih sebelumnya.

Salam dari saya di kota kecil Jember

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.

RZ Hakim © 2014