Dari newsletter Kopi Darat, 31 Agustus 2007
Darah Joang Sroedji
"Kalau melihat perhatian terhadap Moch. Sroedji, bahkan dengan sepak terjang perjuangannya yang sangat heroik dan dramatik, diabaikan oleh 'Jember.' Jangan-jangan orang Jember lebih memilih berprestasi di luar kota karena Jember tak memberikan penghargaan yang layak atas pencapaian sebuah prestasi... Mestinya Jember melakukan kebijakan kebudayaan..."
(Didik, dosen Fak. Sastra, UNEJ)
Seperti yang sudah diduga sebelumnya, Siaran Apresiasi Budaya yang mengambil tema Tugu Sroedji: Kenangan yang Merana, Jum'at, 31 Agustus 2007, berlangsung dengan hangat dan inspiratif. Pernyataan para narasumber dan respon peserta percakapan yang hadir di studio menggambarkan alangkah Moch. Sroedji 'masih' merupakan sosok pahlawan besar di kota Jember; suatu hal yang tak sebanding dengan perhatian yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Jember. Bahwa, menurut Bapak Supardi (dosen FISIP-Universitas Moch. Sroedji) yang menjadi narasumber malam itu, bentuk perhatian nyata pemerintah Jember yang diberikan atas perjuangan Sroedji adalah janji yang dicetuskan pemda untuk memelihara Tugu Perjuangan Sroedji dan Masjid yang dibangun keluarga Sroedji untuk mengenang semangat heroik Sroedji. Namun janji Pemkab Jember yang dicetuskan saat peresmian Tugu Sroedji itu akhirnya cepat dilupakan seperti ruas jalan beraspal menuju Tugu Sroedji yang cepat menjadi jalan tanah kembali saat ini. Tentang cedera janji yang dilakukan oleh Pemkab Jember ini Bapak Supardi, yang juga sebagai pengemban amanat yang dipercayai oleh keluarga Moch. Sroedji untuk merawat Tugu dan Masjid, mengatakan, "...Pemkab Jember meninggalkan tanggung jawab untuk merawat Tugu dan Masjid yang dibangun oleh keluarga Sroedji."
Sejalan dengan kutipan pembuka tulisan ini dan ilustrasi sifat abai Pemkab Jember yang dinyatakan Bapak Supardi, Mbah Fadli Rasyid (perupa dan sastrawan), dengan nada bicara yang dibalut tebal empati, membandingkan nikmat kehidupan yang dapat dirasakan di alam kemerdekaan dengan kehidupan yang dijalani Sroedji dan laskarnya di masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Jika dibandingkan saat ini ketika kita dapat makan dan minum apa yang kita mau, alangkah laskar Sroedji harus "mencuri daun singkong untuk makan dan harus minum air selokan" untuk sekedar mempertahankan hidup dan dapat terus melakukan perjuangan. Selanjutnya Mbah Fadli juga membandingkan kemegahan pembangunan gedung-gedung pemerintahan dan komersial dengan kondisi Tugu Sroedji yang mungkin akan membuat arwah Sroedji mengelus dada. Namun, menurut Mbah Fadli, "Sekarang Sroedji tak bisa menangis lagi karena sepasang mata, tangan dan kakinya telah dicongkel oleh Belanda." Untuk itu, Mbah Fadli mengusulkan pembangunan monumen Sroedji yang lebih layak dan lebih informatif dibandingkan dengan Tugu yang ada saat ini. Untuk pembiayaan yang diperhitungkan akan memakan dana cukup besar, Mbah Fadli mengharapkan tergugahnya masyarakat Jember untuk menyisihkan sebagian uang jajan mereka untuk dikumpulkan guna membiayai pembangunan monumen;
"Jika dalam sebulan kita menghabiskan tiga puluh bungkus rokok, kita bisa menyisihkan dua bungkus sebulan untuk pembiayaan monumen Sroedji."
Berdasarkan pengalamannya ketika mengusulkan pembangunan monumen Sroedji kepada Pemkab Jember yang sama sekali tak ada tanggapan, Mbah Fadli berpendapat bahwa Pemkab Jember tak bisa diharapkan perannya dalam upaya pembangunan monumen tersebut. Untuk itu, menurut Mbah Fadli harus ada prakarsa dari masyarakat, yang pertama-tama dapat berbentuk wadah kepedulian terhadap perjuangan Sroedji terlebih dahulu.
Melengkapi kisah historis Sroedji dan kematian tragis yang harus dijemput Sroedji di tangan serdadu Belanda, Gus Afton (pengasuh Pondok Pesantren Al Fath sekaligus pemerhati sejarah lokal Jember) menyatakan bahwa, tanpa mengecilkan arti perjuangan yang dilakukan pahlawan lain, perjuangan yang dilakukan Sroedji, komandan resimen yang membawahi tiga batalyon, benar-benar heroik dan dramatik. Long Mars (hijrah) yang dilakukan laskar Sroedji dari Jember ke Malang hingga Kediri (Blitar menurut Mbah Fadli) lalu kembali lagi ke Jember akibat dari disepakati dan 'dibatalkannya' perjanjian Renville yang mempersempit wilayah Republik Indonesia benar-benar menjadi media kaderisasi para pejuang dan berfungsi untuk menjaga kedaulatan negara. Bahkan Gus Afton membandingkan long mars laskar Sroedji dengan long mars di China ketika China melakukan gerakan Revolusi Kebudayaan di bawah pimpinan "Paman" Mao atau Mao Tse Tung. Menurut Gus Afton, yang sudah mengkaji dan menulis sejarah sejumlah pejuang "lokal" Jember, salah satu media paling efektif untuk menularkan dan menumbuhkan semangat juang Sroedji di dada generasi muda saat ini adalah buku. Sejalan dengan gagasan yang dikemukakan penelpon dari Kaliwining, Bapak Saiful, Gus Afton juga mengharapkan sejarah perjuangan para pahlawan lokal, termasuk Sroedji, dapat dimasukkan dalam kurikulum mulok (muatan lokal) di sekolah-sekolah SD dan SMP di Jember. Gus Afton berpendapat dengan penulisan dan pembukuan serta pengajaran mengenai peran para pejuang lokal maka hal ini akan memberikan pengenalan yang lebih lengkap mengenai sejarah Jember kepada generasi muda saat ini. Hal ini juga akan dapat menepis ilustrasi pahit yang dikemukakan oleh Isnadi dalam pengantar diskusi mengenai percakapan ayah dan anak tentang siapa sosok yang dipatungkan di depan gedung Pemkab Jember.
Menanggapi usulan memasukkan kisah historis perjuangan Sroedji ke dalam kurikulum mulok di SD dan SMP di Jember, Mbah Fadli, dalam pernyataan yang kemudian, mengingatkan bahwa kisah sejarah itu harus ditulis dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh murid-murid pada tingkat pendidikan tersebut. Selanjutnya Mbah Fadli juga memaparkan nilai strategis (historis) dan ekonomi dalam pelaksanaan Napak Tilas perjuangan Sroedji dibandingkan dengan gerak jalan Tanggul - Jember yang dinilainya sekedar hiburan.
Bagaimanapun persoalan Tugu Sroedji adalah persoalan pewarisan ingatan akan nilai kebangsaan. Kondisi tugu dan patung dan pengabdian nama jalan tokoh ini belum cukup mewarisi apa-apa. Hal inilah yang kembali ditegaskan Pranoto. Monumen tidak hanya penting sebagai fokus spirit perjuangan tapi juga mesti memuat informasi yang menggambarkan gerak dan peristiwa yang terjadi ketika peristiwa heroik Sroedji berlangsung. Tidak hanya pencantuman nama-nama pahlawan, namun bisu. Disamping itu, monumen itu juga bisa memiliki nilai tambah secara ekonomis bagi masyarakatnya. Seperti yang terjadi di makam Bung Karno di Blitar yang memberikan nilai ekonomis bagi masyarakat sekitar. Ingatan terwariskan dan ada dampak ekonomis dan mental bagi masyarakatnya.
Lebih luas dari apa yang dinyatakan oleh Gus Afton yang melihat nilai lokalitas Jember dalam perjuangan Sroedji, Isnadi justru menilai perjuangan yang dilakukan oleh Sroedji dan laskarnya mempunyai dimensi nasional. Hal ini didasarkan oleh tanggung jawab kewilayahan yang diemban oleh Moch. Sroedji sebagai komandan resimen yang membawahi tiga batalyon, Banyuwangi, Bondowoso, dan Jember. Rute hijrah Sroedji dari Jember ke Malang hingga Kediri, juga membuat dimensi kejuangan Sroedji dapat dilihat lebih dari sekedar bernilai lokalitas Jember. Apalagi jika ditinjau dari tempat kelahiran Sroedji, yaitu Bangkalan (menurut Mbah Fadli). Dari seluruh argumen yang disusun, bisa jadi Isnadi hendak melepaskan atau menepiskan sentimen kedaerahan berlebihan yang tergali dari sosok dan perjuangan Sroedji. Bahkan untuk menguatkan argumennya Isnadi juga melemparkan pertanyaan retoris: "Siapa sih yang dapat disebut orang asli Jember?"
Hampir senada dengan Isnadi, Achmad Taufiq menitik-beratkan perjuangan Sroedji pada semangat cinta tanah air yang dikandungnya. Taufiq menggeret nilai perjuangan Sroedji ke dalam realitas aktual masa kini sebagai penebal rasa cinta tanah air yang pada saat ini dirasakan telah tergerogoti. Bertolak dari hal ini Taufiq memandang pentingnya pendidikan kebangsaan untuk mengembalikan rasa cinta tanah air, terutama pada generasi muda.
Berbeda namun juga melengkapi usulan Mbah Fadli dan Gus Afton mengenai bentuk apa yang dapat dijadikan untuk mengenang semangat juang Sroedji dan menularkannya pada generasi muda, Ilham (dosen fak. Sastra Unej) berpendapat bahwa bentuk film akan dapat lebih menjangkau khalayak. Ilham juga berpendapat bahwa biaya pembuatan film sejarah perjuangan Sroedji jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya membukukannya atau membangunkannya monumen. "Mengingat hampir seluruh rumah di Jember sudah ada televisi, bentuk film ini sungguh sangat efektif untuk dapat menyebarkan kisah historis perjuangan Sroedji," papar Ilham. Tentang efek penyebaran dalam bentuk film ini Ilham mengingat alangkah berhasilnya film G 30 S/PKI, pernah diputar tiap tahun untuk memperingati Hari Kesaktian Pancasila, membentuk ingatan akan sosok anggota PKI.
Hal yang menarik dalam pembicaraan mengenai tema Tugu Sroedji: Kenangan yang Merana ini adalah munculnya tiga usulan yang berbeda, namun juga melengkapi, mengenai bentuk apa yang dianggap dapat mengawetkan kenangan akan perjuangan Moch. Sroedji sekaligus diharapkan dapat menumbuhkan nilai-nilai cinta tanah air bagi generasi muda. Ternyata perjuangan Sroedji, bukan saja dapat menjadi teladan watak heroik dan rasa cinta tanah air, namun perjuangan Sroedji juga, disadari atau tidak, menginspirasikan gagasan kreatif pada orang-orang yang mengagumi perjuangan Sroedji. Alangkah, jika saja tiga bentuk pengawet kenangan perjuangan Sroedji itu dapat diwujudkan sekaligus! Namun untuk saat ini kita harus menerima kenyataan, bahkan, seperti dikatakan Bapak Supardi, jalan menuju Tugu Sroedji akan berubah menjadi seperti jalan setapak berlumpur jika musim hujan. Bukan tidak mungkin nama Sroedji suatu saat akan jadi sekedar nama yang selalu ditanyakan anak cucu kita dan kita pun tak punya jawaban apa-apa. Lalu dari mana lahirnya Indonesia ketika kita semua lupa. ed. 13/Agustus.2007
Menyimak dan turut prihatin
BalasHapus