Rabu, 11 Februari 2015

Palagan Jumerto

Rabu, 11 Februari 2015

Dari kiri ke kanan: Saya, Tante Nanik --putri Eyang Uti, Windi, dan Eyang Sutomo

Dua tahun yang lalu, tepatnya pada 25 Februari 2013, saya --bersama istri dan seorang teman bernama Windi-- datang berkunjung ke rumah Eyang Uti Sutomo. Ia adalah janda dari anggota Mobrig (Mobil Brigade, kini bernama Brimob) yang selamat dari pertempuran di Jumerto - 11 Februari 1949. Ketika itu suaminya berhasil menuju Maesan sebagai tujuan akhir perjalanan panjang Mobrig, Ponorogo - Maesan.

Pertempuran di Jumerto, 11 Februari 1949:

Tidak terbayang sebelumnya oleh warga Jumerto jika pada 11 Februari 1949 dini hari, mereka akan kedatangan tamu besar, yaitu sejumlah tiga pleton pasukan Mobil Brigade atau Mobrig. Tiga Pleton itu bukan jumlah yang sedikit. Kau hitunglah sendiri, berapa jumlah mereka jika per satu pleton-nya terdiri dari 30 prajurit Kepolisian.

Ketiga pleton prajurit Kepolisian tersebut tengah melakukan perjalanan gerilya dari daerah Malang, Lumajang, dan Jember. Karena lelah, mereka memilih untuk beristirahat di Jumerto.

Ketika itu proklamasi kemerdekaan baru berusia tiga setengah tahun. Masyarakat Jember dan sekitarnya masih mengalami nasib yang terkatung-katung. Itu semua karena isi perjanjian Renville yang secara politis menyatakan bahwa Jember --dan masih banyak lagi daerah lainnya-- bukanlah bagian dari RI, melainkan dianggap wilayah negara pesemakmuran milik Belanda.

Terjadilah hijrah besar-besaran. Situasinya sama seperti Wingate yang dilakukan oleh rombongan Letkol Moch. Sroedji. Mereka melakukan perjalanan panjang dari daerah Blitar ke daerah Besuki. Saya kira, Pasukan Mobrig dan rombongan yang dipimpin oleh Letkol Moch. Sroedji memiliki garis komando yang sama.

Sementara di sudut yang lain di desa Jumerto. Sekumpulan pasukan Koninklijk Nederlands-Indische Leger juga ada di sana. Mereka sedang melakukan propaganda untuk tujuan merebut hati rakyat Jember. Mereka tersebar di beberapa titik, sebagian membagi-bagikan gula pada masyarakat.

Sumber lain menyebutkan bahwa pasukan dari pihak Belanda bukan hanya KNIL, ada juga Gurkha, pasukan bayaran dengan slogan perang, kaphar hunnu bhanda mornu ramro chha. Lebih baik mati dari pada hidup sebagai seorang pengecut.

Tentu saja pihak Belanda mengetahui perihal kedatangan prajurit Kepolisian Indonesia, Mobrig. Sedangkan pasukan Mobrig, mereka kelelahan dan tidak menyadari jika ada bahaya yang mengintai.

Pagi harinya.

Langit Jumerto terlihat indah, burung berkicau riang, udara yang terhirup di kaki pegunungan Hyang ini terasa segar seperti hari-hari sebelumnya. Tapi pagi ini ada yang berbeda, sangat berbeda. Beberapa saat lagi, sejarah tentang Palagan Jumerto akan segera ditorehkan.

Matahari baru saja melaksanakan tugasnya saat pihak Belanda mengepung lokasi peristirahatan para pasukan Mobrig. Mereka melakukan serangan kilat. Tiba-tiba terdengar suara tembakan. Serangan tiba-tiba tanpa aba-aba ini sungguh mengejutkan pihak Mobrig. Dalam serba keterbatasan, mereka melakukan perlawanan sengit.

Kemudian sejarah mencatat, 20 warga Jumerto gugur di atas tanah kelahirannya. Sedangkan di pihak prajurit Brimob, ada 13 bunga bangsa yang gugur menghadap Sang Ilahi. Termasuk di dalamnya adalah Letkol Polisi H. Soemardiono, Kapolres Jember kala itu.

Suaminya --Sutomo-- meninggal dunia pada tahun 1991, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Patrang.

Pada tahun 1953 hingga 1955, ketika suaminya masih ditempatkan di Jawa Barat, Eyang Uti Sutomo bersahabat baik dengan Ibu Fatmawati. Kedekatannya dimulai karena beliau adalah seorang pemain wayang orang.

"Saya dulu pernah bekerja sebagai sipil guru TK, tapi digaji oleh Angkatan Udara, karena memang TK tersebut ada di kompleks Aangkatan Udara. Saya juga pernah mengikuti pendidikan kemiliteran, karena waktu itu sedang gencar propaganda Ganyang Malaysia. Jadi meskipun perempuan, saya juga dilatih untuk menggunakan senapan. Saya ranking pertama dalam pendidikan tersebut, barangkali hanya karena yang melatih kebanyakan adalah anak buah dari suami saya sendiri."

Perempuan sepuh kelahiran tahun 1933 ini, ia masih lancar membaca buku tanpa kaca mata.

Dari Eyang Uti Sutomo pula saya mendapat gambaran jelas mengenai jalur yang pernah ditempuh oleh Mobrig di tahun 1948-1949. Ia meminjami saya buku kecil yang tipis bersampul merah, yang merupakan dokumentasi dari pihak Kepolisian Jember. Berikut akan saya tuliskan kembali, semoga bermanfaat.


WINGATE MOBRIG DARI PONOROGO MENUJU BONDOWOSO

19 Desember 1948, CLASH KE-II

Dimulai dari pelanggaran Belanda atas poin-poin Renville. Lapangan Maguwo --Adisucipto-- diserbu, terus ke pusat pemerintahan yang berkedudukan di Jogjakarta. Demikianlah kota demi kota diserbu dari udara dan darat serta diduduki. Dalam hal ini tidak terkecuali kota Madiun.

Komandan MBB mengundurkan diri ke Willis Kompleks dengan pengawalan Batalyon I dan II. Sedang MBK Madiun ke sebelah Barat, Batalyon III yang berasal dari Besuki yang hijrah karena persetujuan Renville, dipimpin PIP II M. Soekari tetap berada di daerah Ponorogo dan sekitarnya, hingga kota ini jatuh ke tangan Belanda setelah dipertahankan dengan gigih selama dua jam. Tepatnya tanggal 2 Januari 1949, jam 15.30.

Kompol I M. Jassin di samping jabatan tetapnya dan memimpin langsung serangan gerilya, diangkat sebagai Kepala Staf Gubernur Militer Jawa Timur, merangkap Komandan Keamanan yang markasnya berpindah pindahdi Sektor Madiun Timur. Batalyon I Pimpinan PIP II Wirato ditugaskan ke daerah operasi Madiun - Nganjuk. Madiun -- Pagotan dan Madiun -- Panggung serta Kempo. Sedang Batalyon II Pimpinan PIP II Lasiyono mempunyai daerah operasi gerilya batas Madiun -- Trenggalek. MBK Madiun di batas Madiun ke barat sampai Magetan.

Mengingat pertimbangan keadaan supaya POLRI berjuang merata di daerah Jawa Timur, 1 (satu) kompi dari Yon I pimpinan APP.I Paimo (Sekarang Letkolpol. Purn. Ex Danres 1052 Madiun), menyusup ke daerah Malang, bahkan sampai ke kota Malang dan memperkuat MBK Malang pimpinan IP. II. S. Samsoeri Mertojoso (Sekarang Majenpol. Purn. Jabatan terakhir Kadapol X Jatim). Sementara Yon III pimpinan PIP. II Soekari diperintahkan menyusup ke daerah Besuki daerah asalnya.


WINGATE PONOROGO - BONDOWOSO

Setelah Ponorogo diduduki Belanda, Batalyon III masih dipimpin PIP. II Soekari mengundurkan diri arah selatan. Dan di Kawedanan Jetis Kompi I Yon III dipimpin Komandan Polisi Sudarlan, sekitar jam 17.00 mengadakan serangan mendadak atas pos Belanda di Pasar. Dan mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda. Namun ketika hendak mengambil bren dari seorang serdadu Belanda yang mati terkena tembakan, Komandan Polisi Sudarlan ditembak dan pejuang asal Temanggung Magelang ini gugur. Bersamaan dengan itu gugur pula (23). AP. III KACUNG (asal Kecamatan Besuki - Bondowoso) (24) AP. III. Sutono. B (asal Kecamatan Balung - Jember).

Sesampai di desa Jarak (8 km sebelah timur Ponorogo) mengadakan konsolidasi. Dan dengan adanya perintah penyusupan ke daerah Bondowoso, maka tanggal 10 Januari 1949 dimulailah wingate Ponorogo - Bondowoso. Jumlah kekuatan 1 batalyon (terdiri dari 450 anggota berikut anggota Bhayangkarinya yang berpakaian seragam dan bersenjata. Di samping itu terdapat dua orang anggota Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang, masing-masing Muhamad dan Sudaryono yang telah menggabungkan diri dalam pasukan Yon III MBK Besuki dan terus mengikuti wingate serta bersama-sama bergerilya di daerah Maesan - Bondowoso.

Dengan bantuan penduduk sebagai petunjuk jalan, pasukan bergerak dari desa Jarak menuju perbatasan Kabupaten Trenggalek melalui desa Rokem, Bandrang, Ngrundeng, Sawo (Kota Kecamatan) memotong medan berat menuju desa Tumpakpelem, Temon dan Tugu (Kota Kecamatan Kabupaten Trenggalek). Karena pada waktu itu daerah Trenggalek belum diduduki Belanda, maka gerakan mulai dari desa Temon/Tugu melalui jalan besar melintas kota Trenggalek, menuju desa Durenan, ke Kota Kecamatan Campurdarat. Di desa Pelem bertemu dengan rombongan Panglima Besar Soedirman minta agar sepucuk senapan Mesin cal 77 milik pengawal Panglima Besar ditukar dengan senjata ringan sejumlah 12 pucuk, dan dengan rela permintaan Panglima Besar tersebut kita cukupi karena senjata kita cukup banyak sebagai hasil rampasan dari PKI di Ponorogo.

Dari Campurdarat, wingate mengarah ke timur menuju Blitar melalui desa Kalidawir - Ngubalan - Ketanen - dan Maron. Dari Maron menuju Ludoyo Selatan melalui Pakishaji - Surowadang - Gunung Gede - Ngeni - Kaligambang - Panggungrejo - Binangun - sampai desa Wates perbatasan Kabupaten Malang.

Perjalanan melintasi Blitar Selatan, tercatat yang paling berat. Karena selain medan yang tidak rata, pegunungan yang tandus, menerobos hutan dan perkebunan, selama dua hari tidak menjumpai sesuap nasi maupun jagung, kecuali tebu dan buah kelapa. Bahkan air yang bersih sulit dicari. Barulah memasuki daerah Malang menuju desa Purworejo melintasi Kecamatan Donomulyo. Dilanjutkan ke Tempursari, Sumbermanjing Kulon - Bantur - Sumbermanjing Wetan, dan desa Klepu. Di desa inilah disambut Komandan PDM Mayor Abd. Kahar dan diberi tempat untuk istirahat, serta bekal makanan untuk beberapa hari. Dan secara kebetulan Mayor Abd. Kahar (sekarang Letkol. Purn. TNI/AD) sewaktu clash ke I bergerilya bersama di daerah Jember. Dari Klepu melanjutkan perjalanan ke Semeru Selatan melewati perkebunan Kalibokor dan Sumber Urip.


PERTEMUAN DENGAN TENTARA PELAJAR

Di Perkebunan Sumber Urip, bertemu kembali dengan pejuang-pejuang Tentara Pelajar (TRIP) Besuki, yang ketika clash ke I bahu membahu dalam satu front di daerah Panduman - Jember Utara. Mereka antara lain, Aris Moenandar dan Moedjoko. Kini sudah menjadi alumni PTIK dengan pangkat Kolonel Polisi.

Sejumlah 22 orang rekan-rekan TRIP menggabungkan diri dan dipersenjatai kembali, lalu bersama-sama melanjutkan penyusupan ke daerah Besuki, di daerah basis gerilya semula sebelum hijrah.

Daerah Malang Selatan dan Semeru Selatan walau pada umumnya diduduki Belanda, tetapi de Facto masih di tangan kita. Oleh karenanya maka di daerah ini kita bisa mendapatkan istirahat serta makan yang cukup atas bantuan rakyat setempat. Demikian juga koordinasi dengan angkatan darat sangat erat tanpa membedakan daerah maupun kesatuan asal.

Wingate dilanjutkan melalui Purwojiwo yang telah berhasil direbut pasukan-pasukan bersenjata kita. Kemudian menuju desa Penanggal - Kertosari - Tumpeng - Jokarto, memotong jalan besar Lumajang, Pasirian. Di desa Tempeh Lor menuju desa Kaliwungu - Wonokerto - Genteng - Wotgalih - dan desa Tujungrejo Kecamatan Yosowilangun.


JASA SEORANG KEPALA DESA

Kesulitan besar menghadang ketika sampai desa Wotgalih. Sungai Bondoyudo yang merupakan perbatasan dengan Karesidenan Besuki sedang banjir besar. Sedang desa Meleman satu-satunya jalan penyeberangan para gerilya dijaga Cakra dan Polisi Federal. Hampir saja keputusan menghancurkan jembatan dilakukan, tetapi kepala desa Tunjung Rejo memberi uluran tangan dengan menampung pasukan dan melindungi hingga tiba saatnya untuk melakukan penyeberangan. Dan atas usaha kepala desa tersebut para penjaga terutama Cakra yang bertugas menjaga satu-satunya jembatan Yosowilangun bisa dibujuk sehingga semua pasukan dapat dengan selamat melewati jembatan masuk wilayah Besuki.

Rute gerilya daerah Besuki diarahkan ke utara melalui desa Gadumasan - Sariyono - Rowotengah - memotong jalan besar Sukokulon - Manggisan - Darungan - Selodakon - Badean - Suci - Banjarsengon dan Jumerto, dengan maksud untuk langsung memasuki daerah basis gerilya yaitu daerah Maesan. Rupanya, penyeberangan kita di jembatan Yosowilangun telah diketahui Belanda, sehingga rute perjalanan pasukan terus diikuti, dan di desa Jumerto pasukan kita dicegat.


SUATU PAGI DI DESA JUMERTO

25 Januari 1949 (seharusnya 11 Februari 1949). Pagi-pagi buta sekitar jam 05.00 pasukan Belanda mengadakan operasi di desa Jumerto. Batalyon III MMB Jawa Timur beserta TRIP dalam keadaan lelah namun senantiasa siaga untuk menghadapi setiap kemungkinan, dengan maksud untuk beristirahat di desa Jumerto. Tiba-tiba Belanda melakukan serangan dan pertempuran di jantung desa menjadi semakin seru. Bahkan pertempuran jarak dekat tak bisa dihindarkan lagi. Hal ini menyebabkan korban di kedua belah pihak sangat besar, bahkan termasuk penduduk setempat.

Belanda merasa terdesak dan mundur. Namun beberapa saat kemudian dengan dukungan pasukan dari Jember maupun Pos di Kecamatan Panti dan Perkebunan Rayap. Pertempuran yang berlangsung sampai jam 11.00 menghantar gugurnya 9 orang pahlawan lagi, masing-masing (1) AP. I Soradji, (2) AP. I Surono, (3) AP. III Sasono, (4) AP. III Achmad, (5) AP. III Soebari, (6) AP. III Soewito, (7) AP. III Soeroso (8) AP. Moedjasmidi, (9) AP. III Maslich dan seorang rekan dari TRIP Sarwono.

Di desa Klungkung diadakan konsolidasi karena beberapa anggota belum nampak hadir, maka inspektur Polisi Tk. II Koesnadi (asal gabungan) dan AP. II Kasim yang mengenal daerah Jember Utara berusaha mencari teman-teman yang belum berkumpul. Di desa Karang Pring, keduanya kepergok patroli Belanda yang langsung menembak di tempat itu juga, dan gugurlah kedua pahlawan tersebut.

Pasukan segera melanjutkan gerakan menuju desa Socah Cangkring perbatasan Kabupaten Jember - Bondowoso sebagai markas gerilya semasa clash I dengan melewati Slawu - Bintoro - Langsat, Penduman (markas TRIP) - Cangkring, Socah sebagai tujuan akhir. Setelah istirahat sejenak PIP. II Soekari melaporkan diri kepada Mayor E.J. Magenda (kini telah almarhum dengan pangkat Mayjen TNI/AD) yang semasa clash ke I bergerilya bersama-sama di daerah Kabupaten Bondowoso.

Langkah berikutnya menempatkan team-team gerilya di desa-desa yang pernah ditempati sebelumnya. Sebaliknya Belanda dengan kaki tangannya juga gencar melaksanakan operasi ke sarang-sarang gerilya. Beberapa anggota masyarakat tak jarang menjadi sasaran tembakan ataupun penangkapan dan penganiayaan karena dianggap melindungi para gerilyawan. Pasukan musik tradisional Patrol (ronda malam di daerah tersebut, terkenal indah lagu-lagunya) merupakan sarana yang paling penting untuk mengetahui setiap gerakan musuh pada malam hari.

27 DESEMBER 1949, PENGAKUAN KEDAULATAN

Dengan tercapainya pengakuan kedaulatan Kemerdekaan, Batalyon III MBB mengadakan konsolidasi di Kecamatan Arjasa dan Kalisat Kabupaten Jember untuk persiapan pasukan memasuki Bondowoso.

Komandan Yon III menuju Madiun untuk menyampaikan laporan kepada Komandan MBB Jawa Timur. Kemudian diakui dan ditetapkan kembali pada status semula sebelum perang kemerdekaan I dan II menjadi Mobile Brigade Karesidenan Besuki.

Setelah memasuki Bondowoso, atas perintah Kepala Polisi Karesidenan Besuki Kompol I Suhud (Almarhum Brigjenpol. Purn. jabatan terakhir Kadapol VII Metro Jaya), membentuk detasemen di masing-masing ibu kota dalam jajaran Karesidenan Besuki dalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada aparat keamanan, yang pada waktu itu anggota-anggota kepolisiannya adalah bekas-bekas anggota Polisi Belanda.

PENUTUP

Kepada segenap rekan seperjuangan panitia minta maaf, apabila dalam penyusunan riwayat perjoangan terdapat kekurangan/kesalahan. Koreksi-koreksi sangat kami harapkan untuk penyempurnaan tulisan/catatan sejarah ini, agar adik-adik penerus mendapat gambaran sejarah perjoangan yang sebenarnya.

2 komentar:

  1. salut dengan penelusuran dan share infonya, ada beberapa yg perlu saya konfirmasi ulang "Sumber lain menyebutkan bahwa pasukan dari pihak Belanda bukan hanya KNIL, ada juga Gurkha, pasukan bayaran dengan slogan perang, kaphar hunnu bhanda mornu ramro chha. Lebih baik mati dari pada hidup sebagai seorang pengecut."
    pasukan gurkha adalah bagian dari pasukan tentara Inggris, keberadaan tentara Inggris terakhir adalah sekitar tahun 1946 setelah menyerahkan "Hindia Belanda" kepada Belanda dan mereka pun "angkat kaki" dari Indonesia. peristiwa jimerto ini terjadi tgl 11 Februari 1949 yg manan pada tahun itu praktis hanya belanda yg berada di sini berperang dg RI krn sejak 18 Desember 1948 mereka menyatakan diri tak lagi terikat dg Perjanjian Renville dan menyerang Yogyakarta jadi keterangan sumber yg menyebutkan adanya gurkha tersebut saya pikir lemah klo bukan keliru. lagi pula yg disebut gurkha sebenarnya adalah orang2 bangsa nepal dari suku gurkha sedangkan yg dikirim Inggris ke Indonesia adalah orang2 India baik hindu, muslim maupun sikh (yg pake ubel2 sorban).
    NB: besok tanggal 1 maret 2015 akan ada reka ulang serangan umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta dalam rangka "Peringatan Serangan Oemoem 1 Maret 1949".

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah sayang sekali. Saya baru berangkat ke Jogjakarta pada tanggal 2 Maret 2015. Terlambat satu hari. Saya mengerti acara itu dari Mbak Irma Devita Purnamasari dan dari group Roodebrug Soerabaia. Sukses untuk Peringatan Serangan Oemoem 1 Maret 1949, sukses juga buat kawan-kawan.

      Terimakasih atas apresiasi, koreksi, dan informasinya.

      Hapus

Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.

RZ Hakim © 2014