Jumat, 13 Februari 2015

Kisah dari Ibu Djoeleho

Jumat, 13 Februari 2015
Mulanya saya tidak mengenal Ibu Djoeleho, perempuan sepuh yang lahir pada 1 Juli 1935. Adalah Pak Hadi Nur Prayogi, lelaki baik hati kelahiran Mojokerto, 1 November 1958, ia yang memperkenalkan saya pada sosok Ibu Djoeleho.

"Mas Hakim, di Pasar Tanjung lantai dua ada seorang Ibu sepuh yang profesinya berjualan telur. Dialah yang dulu turut memandikan jasad Moch. Sroedji. Mari, saya antarkan Mas Hakim ke beliau."

Esoknya, 4 Februari 2015, Pak Yogi mengantarkan saya, Hana, Faisal, serta Dedi Supmerah menuju rumah Ibu Djoeleho, di JL. Dr. Wahidin II Nomor 6 Jember. Senang bisa mendengar cerita yang dituturkan oleh beliau. Berikut, akan saya ceritakan kembali hasil dari dua kali perjumpaan dengan Ibu Djoeleho.

Riwayat Singkat

Djoeleho adalah putri dari pasangan Moch. Rawi dan Aminah. Kakeknya, dari pihak Bapak- bernama Ismail, yang memiliki istri bernama Singokerti. Pasangan Ismail-Singokerti adalah besan dari keluarga M. Tajib Nitisasmita, yang tidak lain adalah orang tua Rukmini, istri Sroedji.

Pak Sroedji memanggil Bapak kandung Djoeleho -Moch. Rawi- dengan sebutan Guteh. Itu istilah Madura untuk menyebut seorang Paman. Moch. Rawi memiliki adik kandung laki-laki, ia bernama Murda'i. Keduanya -Moch. Rawi dan Murda'i- adalah pejuang era pra-kemerdekaan hingga era revolusi.

Murda'i dan Ibu Kandungnya --Singokerti, mereka turut aktif saat proses memandikan jenasah Moch. Sroedji, setelah jenasahnya berhasil diminta (dari pihak Belanda) oleh seorang tukang sunat serta guru ngaji asal Kreongan bernama Dahnan.

Kelak, Djoeleho menikah dengan seorang laki-laki bernama Abd. Manan. Pasangan ini dikaruniai lima buah hati, kesemuanya laki-laki. Pandawa lima.

1. M. Irfan
2. M. Arif Effendi
3. M. Hasyim Meire
4. Suhartono
5. Abdul Latif.

Putra keempat mereka, Suhartono, meninggal dunia saat masih kecil, di usia empat tahun. Berita duka ini ditandai oleh peristiwa meletusnya Gunung Agung tahun 1963.

Abd. Manan, suami Djoeleho, ia meninggal dunia sebelas tahun yang lalu.

Saya beruntung bisa berjumpa dengan kedua putra Djoeleho, M. Hasyim Maire dan M. Arif Effendi, di rumah mereka di wetan pasar tanjung Jember. Kini mereka telah menua. Justru Ibu kandungnya yang tampak awet muda. Barangkali karena ia masih beraktivitas di usia senja, berjualan telur di lantai dua pasar tanjung, itulah kenapa ia awet muda.

Dulu Ia Satu-satunya Perias Pasaran di Jember

Perempuan yang dilahirkan di masa Bupati Jember masih dijabat oleh Wiryo Dinoto yang bergelar Noto Hadinegoro ini, ia juga menceritakan perjalanan hidupnya di masa muda.

"Di usia 25 tahun, saya sudah berani menjadi perias. Usaha ini saya rintis bersama Rumiati, adik sepupu saya sendiri." Mbah Leho memulai kisahnya.

Djoeleho, ia membangunkan imajinasi saya tentang suasana Jember tempo dulu, di tahun 1960. Karena Djoeleho baru berhenti menjalani hidup sebagai perias pada era 1990an, maka kisah yang dituturkannya tak hanya berlatar belakang Jember era 1960an saja.

"Saya ini perias pasaran, tapi sesekali juga melayani priayi. Di wilayah kota, perias pasaran hanya saya saja, tak ada lagi yang lain. Ada satu perias di era 1960an, namanya Bu Priyo, namun ia khusus melayani priayi."

Ia mengawali merias dengan make up merek Viva. "Jaman semono, nggawe viva iku wes marai kroso ayu."

Saya bertanya padanya, mengapa banyak orang yang ingin dirias olehnya? Apakah karena hanya dia satu-satunya perias pasaran? Djoeleho tersenyum. Lalu ia membuka rahasianya sebagai perias pasaran.

Setiap kali hendak merias, ia akan menjalani puasa terlebih dahulu, diperkuat dengan shalat tahajud. Jika hendak berangkat merias, Djoeleho akan memulainya dengan shalat dhuha. Ia melakukan proses merias sambil tak henti bershalawat. Kiranya ini yang menjadi kunci mengapa hasil riasannya selalu diminati banyak warga Jember.

"Urip iku kudu dilakoni tenanan. Ngrias yo ngono. Kudu dilakoni tenanan ben hasile tenanan. Umpomo dilakoni dulinan, hasile bakal dulinan."

Suatu Hari di Bulan Februari 1949

Djoeleho menatap wajah saya, lalu berpindah menatap langit-langit ruang tamu di rumahnya sendiri, kemudian ia melanjutkan kisahnya.

"Jenasahnya dilempar begitu saja dari atas truk. Terdengar suara 'bug' ketika jenasah itu mendarat. Saya ada di sana, di perempatan dekat penjara Jember. Saat itu usia saya sudah 14 tahun. Orang-orang bergerombol, namun saya justru menjauh. Takut. Saya menyeberang jalan hingga berada di dekat pos pantau penjara. Kira-kira berjarak 30 meteran dari lokasi jenasah. Orang-orang yang lewat di sana, disuruh berhenti. Tentara Belanda juga memaksa para pelajar yang bersekolah di dekat perempatan --kini SMPN 2 Jember-- untuk keluar. Dipaksanya mereka untuk melihat jenasah Sroedji. 'Kamu tahu ini siapa, heh??!' Orang-orang membisu. Takut. Tidak tega. Jika mereka pergi bakalan dibentak-bentak."

Kiranya, setelah ditempatkan di pelataran Hotel Djember, jenasah Sroedji dibawa ke perempatan itu. Djoeleho yang tadinya sempat menjauh, ia mengumpulkan kekuatan lalu memberanikan diri untuk mendekat. Menerobos kerumunan.

"Kemudian datanglah Pak Dahnan. Ia dikenal oleh masyarakat Jember sebagai calak. Tukang sunat. Rumahnya di Kreongan. Orang-orang di sekitar rumahnya memanggilnya Pak Yai, sebab Pak Dahnan punya musholla kecil. Saya berada tepat di samping Pak Dahnan ketika ia berbicara dengan para tentara Belanda. Pak Dahnan meminta agar diizinkan untuk membawa jenasah Moch. Sroedji."

Di Perjumpaan Berikutnya


Foto oleh Dedi Supmerah, 13 Februari 2015

Djoeleho tampak senang ketika kami kembali silaturahmi pada hari ini, 13 Februari 2015. Ia berkisah tentang orang terkaya di Jember wilayah kota, yang menggunakan harta bendanya untuk mewujudkan Indonesia Merdeka.

"Namanya Syamsul Arifin. Dulu, di era 1930an hingga awal 1940an, hampir semua orang mengenalnya. Ia orang yang dermawan. Ia meninggal dunia sebelum era revolusi. Tetapi ada orang lain di masa itu --era mempertahankan kemerdekaan-- yang juga kaya. Namanya Haji Syeh, putra dari Haji Alwi. Haji Syeh inilah yang turut memberikan sumbangsih harta benda untuk perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Haji Syeh, ia juga memberi sumbangsih yang tidak sedikit kepada pasukan Brigade III Damarwulan pimpinan Moch. Sroedji."

Kisah dari Ibu Djoeleho mengingatkan saya pada Almarhumah Eyang Roekanti, perempuan kelahiran Ngawi, 26 Januari 1918. Di masa hidupnya, ia menceritakan banyak hal kepada saya tentang wajah Jember tempo dulu. Percakapan itu terjadi pada 12 November 2012. Menurut Eyang Roekanti, orang terkaya di Jember sejak era 1930an adalah Salim Arifin.

"Salim Arifin, ia orang terkaya di Jember, dan bukan dari golongan pendatang manapun."

Entah mana ejaan yang benar, SYAMSUL atau SALIM, atau dua ejaan nama itu adalah dua orang yang berbeda. Saya mencatat keduanya.

Ibu Djoeleho, terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.

RZ Hakim © 2014