Sampai hari ini saya masih belum membaca buku Atlas Walisongo karya Agus Sunyoto. Yang saya lakukan dalam satu bulan terakhir hanyalah memperkaya diri dengan membaca dan memutar video-video yang menceritakan garis besar dari isi buku tersebut.Jadi sudah sejak dulu Islam masuk ke Jawa tetapi disebutkan tidak bisa berkembang.
Luar biasa, ia menuliskannya secara sejarah, mengusahakan untuk sedapat mungkin tidak bercampur dengan fiksi.
Dari beberapa video yang saya tonton, ada satu yang menarik. Agus Sunyoto runtut sekali saat menceritakannya. Sebagian besar saya catat menjadi tulisan berikut ini.
Agus Sunyoto memulainya dari tahun 674 Masehi. Di tahun tersebut, sejarah mencatat bahwa di luar sana terjadi peralihan khalifah Ali Bin Abi Thalib ke Umayah. Sementara itu di tahun yang sama --menurut catatan Dinasti Tang dari Cina-- Islam ditengarai telah masuk ke Nusantara. Ketika itu saudagar-saudagar dari timur tengah sudah datang ke kerajaan Kalingga di Jawa.
Catatan berikutnya baru menyebutkan Abad sepuluh, saat ada rombongan Suku Lord dari Persia datang ke Jawa untuk menyebarkan Islam. Mereka tinggal di suatu tempat yang disebut Loram, yakni satu tempat yang kini disebut Kudus. Kemudian mereka membikin tempat, Loram-Loram yang lain, sampai ke wilayah Gresik, dan seterusnya, tapi tidak ada ceritanya. Hanya ada satu catatan Jawa yang menyebutkan satu cerita, bahwa pada suatu saat Sultan Al Gabah dari negeri Rum --wilayah Persia ke Utara, ia mengirim 20.000 keluarga muslim ke Jawa. Digambarkan semuanya mati terbunuh, tinggal 200 keluarga. Itulah kemudian, dilaporkan, kemudian Sultan Al-Gabah marah.
Sultan Al Gabah kemudian berpikir, bagaimana caranya agar Islam bisa masuk ke Jawa. Supaya Jawa bisa dihuni agama Islam, lalu Sultan mengirimkan orang-orang aulia. Salah satu tokoh aulia itu bernama Syeh Subakir, masanya jauh sebelum Walisongo. Kenapa? Abad sepuluh ia sudah di Jawa. Setelah itu digambarkan Syeh Subakir kembali lagi ke Persia. Lalu kita tidak tahu apa yang terjadi, islam berkembang atau tidak.
Baru kemudian tahun 1292 kita bisa mempelajari Jawa dari catatan Marcopolo. Ia kembali dari Cina ke Italia tidak lewat jalur Sutra. Ternyata dia singgah di sebuah kota pelabuhan namanya Perlak, yaitu di selat Malaka. Sekarang daerah Aceh.
Marcopolo mencatat bahwa penduduk di Kota Perlak itu ada tiga jenis kelompok masyarakat. Yang pertama warga Cina, oleh Marcopolo disebut seluruh Cina di perlak beragama Islam. Yang kedua adalah orang-orang dari barat. Orang-orang Persia. Semuanya beragama islam. Dan yang ketiga penduduk pribumi. Menurut catatan Marcopolo, penduduk pribumi menyembah pohon-pohon, menyembah batu, menyembah roh, dan di pedalaman masih memakan manusia. Itu tahun 1292.
Jadi ketika warga Cina di Jawa sudah muslim, penduduk pribumi belum.
Seratus tahun setelah perjalanan Marcopolo, datanglah Laksamana Cheng Ho ke Jawa. Tahun 1405. Cheng Ho mencatat ketika singgah di Tuban, dia menemukan ada 1000 warga Cina muslim. Ketika singgah ke Gresik, dia juga mencatat dan menghitung ada 1000 keluarga Cina semuanya muslim. Begitu juga di Surabaya. Itu catatan Chen Ho.
Kunjungan Cheng Ho yang ketujuh atau yang terakhir, tahun 1433.
Cheng Ho datang kembali ke Jawa. Dia mengajak juru tulis bernama Mahuan. Ternyata pantai-pantai di sepanjang Jawa dihuni oleh penduduk warga Cina muslim, kemudian orang-orang Persia dan Arab, muslim. Kemudian baru penduduk pribumi. Menurut Mahuan, ia mencatat bahwa rata-rata penduduk pribumi kafir. Mereka menyembah batu, pohon-pohon dan roh.
Jadi ini catatan-catatan resmi yang diakui oleh sejarawan dunia. Mulai tahun 674 sampai tahun 1433.
Delapan ratus tahun pribumi belum bisa menerima islam secara massal. Itu faktanya memang seperti itu.
Nah, tujuh tahun setelah kedatangan Cheng Ho yang terakhir, baru datang seorang wali dari negeri Champa, sekarang Vietnam Selatan. Dia datang ke sini satu rombongan keluarga, yaitu Syeh Ibrahim Samarkondi dengan dua orang putranya, yang pertama Ali Murtadho yang kedua Ali Rahmat. Beliau singgah di Tuban di Kecamatan Palang. Dan kemudian belum sempat berkembang, beliau meninggal dunia dan dimakamkan di sana. Sampai sekarang makamnya masih ada.
Lalu putranya berjalan ke Majapahit. Kenapa? Karena bibinya dikawin oleh Raja Majapahit. Kemudian kedua putra Syeh Ibrahim Samarkondi ini menemui bibinya di Majapahit. Oleh Raja Majapahit, keduanya diangkat sebagai pejabat negara. Yang satu diangkat sebagai Raja Pendeta, yaitu Menteri Agama untuk orang-orang beragama Islam, dan yang satu sebagai Imam di Surabaya. Yang satu di Gresik yang satu di Surabaya.
Kelak, Raden Rahmat yang menjadi Imam di Surabaya, kita kenal dengan nama Sunan Ampel.
Itu pertama kali mereka datang ke sini. Jadi, mereka adalah orang asing yang datang ke Jawa. Asalnya dari Vietnam Selatan atau dulu dikenal Champa.
Dari Sunan Ampel ini kemudian lahir Sunan Bonang, Sunan Derajat dan putri-putrinya. Kemudian punya murid namanya Sunan Giri, Raden Patah, dan seterusnya. Itulah yang membentuk Walisongo. Dan Walisongo itu kira-kira dibentuk 30 tahun setelah kedatangan Sunan Ampel, 1440. Ketika Sunan Ampel datang ke sini --1440-- beliau masih belum menikah. Ia butuh waktu 30 tahun supaya putra-putranya, murid-muridnya dewasa kemudian dakwah.
Itulah era Walisongo, tahun 1470an, mulai berkembang dan berdakwah.
Kira-kira 40 tahun setelah dahwah Walisongo, seorang Portugis bernama Tomé Pires datang ke Jawa, tahun 1513. Dan dia mencatat sepanjang pantai utara Jawa penguasa-penguasanya adalah para Adipati muslim. Ini sudah kelihatan. Sebelumnya, sepanjang pantai utara itu penduduk pribuminya menurut Mahuan kafir. Tetapi, 1513, Tomé Pires mencatat seperti itu. Artinya, Islam berkembang begitu rupa itu paska Walisongo. Sebelum Walisongo, tidak ada.
Tahun 1522, ada seorang pengelana dari Itali bernama Antonio Pigafetta, tapi dia menggunakan kapalnya Portugis, datang juga ke Jawa. Dan di situ dia menyaksikan bagaimana penduduk pribumi di sepanjang pantai utara, semuanya beragama Islam. Di pedalaman masih ada kerajaan kecil Majapahit. Rajanya bernama Wijaya, tapi sudah tidak berkembang. Itu kesaksiannya. Artinya, Islam baru berkembang zaman Walisongo.
Inilah yang sampai sekarang dipertanyakan oleh banyak sejarawan. Kenapa begitu cepat dahwah Islam di zaman Walisongo, dalam tempo 40 tahun sampai 50 tahun penyebaran Islam meluas, padahal 800 tahun ditolak. Apa yang menjadi penyebab itu?
Bagaimana Islam bisa diterima begitu luas oleh masyarakat pribumi?
Metode-metode dahwah yang dijalankan oleh Walisongo menjadi penyebab kenapa Islam begitu cepat bisa diterima. Dan kita juga akan menemukan bahwa paska kemunduran Majapahit, Walisongo datang. Dengan berbekal peradaban Majapahit, itu dikembangkan sendiri oleh Walisongo dengan sebuah peradaban baru yang akarnya dari Majapahit, tapi baru. Cirinya ciri Islam.
Kita ambil contoh misalkan begini. Sampai era Demak, itu masyarakat masih dibagi menjadi dua kelompok besar, mengikuti era Majapahit. Yang pertama adalah kelompok yang disebut golongan Gusti, yaitu orang yang tinggal di dalam keraton. Yang kedua adalah golongan Kawulo, itu semua orang di luar keraton. Gusti itu artinya Tuan, Kawulo itu artinya budak, yaitu orang yang tidak punya hak apa-apa. Semua adalah milik golongan Gusti. Karena itu masyarakat di luar keraton tidak punya apa-apa, semua milik kerajaan. Ia hanya punya hak pakai saja. Kalau Raja ingin memberi sesuatu kepada seorang Kawulo yang dianggap berjasa, maka dia diberi tanah simah atau tanah perdikan.
Yang dirintis Walisongo, terutama gerakan yang dirintis Syeh Siti Jenar, dan kemudian dengan Sunan Kalijogo juga, adalah dengan mengubah struktur masyarakat.
Jadi masyarakat Gusti dan Kawulo itu dianggap tidak relevan dan tidak manusiawi. Karena itu digunakanlah struktur masyarakat baru, komunitas baru, yang disebut masyarakat. Diambil dari Bahasa Arab, musyarokah. Orang yang sederajat dan bekerja sama. Mereka buka Kawulo, mereka bukan budak, tapi orang yang merdeka. Itulah gerakan pertama Walisongo. Itu sebabnya ada perubahan struktural yang esensial, yang membedakan antara Kawulo dengan masyarakat.
Golongan Gusti, itu kalau menyebut kata ganti diri dengan kata-kata Ulun atau Ingsun. Golongan masyarakat kalau menyebut kata ganti diri dengan kulo atau kawulo. Orang di Sunda kalau menyebut kata ganti diri dengan Abdi. Orang di Sumatera menyebut kata ganti diri dengan Saya atau Sahaya. Semua itu artinya adalah budak. Orang-orang di Sumatera Barat, di Minang, menyebut Hamba atau Hambo, budak juga artinya. Itulah, zaman Walisongo dirubah, menggunakan kata Ingsun, aku, Ulun, awak, atau apa saja yang penting tidak mewakili identitas budak.
Jadi ada perubahan yang sangat penting di masa itu yaitu lahirnya komunitas di luar keraton yang disebut masyarakat. Itu istilah baru, sebelum itu tidak dikenal istilah 'masyarakat.' Silahkan dibuka kamus Bahasa Kawi, tidak ada kata masyarakat. Ro'yat, rakyat, itu juga baru, dari Bahasa Arab, dikenalkan di masa Walisongo. Jadi kalau kita hidup di zaman Majapahit dulu, ya kita nggak punya hak milik. Rumah yang kita tempati itu semuanya rumah milik kerajaan. Kalau kerajaan punya hajad, mau membangun jembatan, membangun candi, dia butuh wadal, anak dikorbankan, ya anaknya Kawulo diambili. Tapi ketika diubah menjadi masyarakat, mereka melawan ketika anaknya akan diambil. Itu proses awal di zaman Walisongo.
Orang Jawa dulu, sampai di zaman Majapahit, itu terkenal arogan sekali. Jadi dia prinsipnya itu Adigang Adigung Adiguno. Jadi dia merasa bangga kalau sudah menundukkan orang, merendahkan orang. Tidak ada orang yang sombong selain orang Jawa. Ini menurut catatan Antonio Pigafetta, orang Italia yang datang tahun 1522. "Tidak ada orang yang sombong selain orang Jawa."
Ketika orang Jawa berjalan, ada bangsa lain yang jalan di tempat yang lebih tinggi, disuruh turun. Kalau orang asing tersebut tidak mau turun, dibunuh. Itulah watak-watak orang Jawa. Karena kalau kita mencari kata asli dari Bahasa Kawi Bahasa Jawa, kita tidak akan ketemu dengan istilah 'kalah.' Nggak ada itu.
Jadi kalau berselisih, menang atau mati. Nggak ada kata kalah. Baru pada zaman Walisongo ada istilah ngalah. Ngalah itu pun bukan dari akar kata kalah. Bukan. Kalah itu bentukan kata Bahasa Jawa. Kalau ngalas menuju ke hutan, ngawang menuju ke awang-awang, ngalah menuju ke Gusti Allah. Itu tawakkal. Bukan dari kata kalah, kalau kalah nggak mau mereka. Jadi dibentuk itu.
Dikenalkan istilah baru, sabar.
Dari Bahasa Arab itu, Bahasa Jawa tidak mengenal istilah tersebut. Anda bisa lihat itu, bagaimana karakter orang-orang Jawa dulu. Duta dari Cina saja datang menghadap Kertanegara, menyampaikan pesan dari Rajanya, sudah langsung dilukai. Merasa tersinggung. Jadi itu karakter orang Jawa dulu.
Karena itu kata-kata Carok yang sekarang digunakan di Pulau Madura, itu aslinya tradisi orang Jawa kuno. Kenapa? Karena kata-kata Carok itu dari Bahasa Kawi. Artinya berkelahi. Karena itu tokoh yang namanya Ken Arok ini, kalau diterjemahkan dalam Bahasa Jawa modern artinya, pemimpinnya tukang berkelahi. Karena itu tukang berkelahi namanya Warok. Baru dikenalkan kata sabar zaman Walisongo. Kata-kata adil, tawaddu' itu baru, belakangan. Sebelum itu tidak dikenal.
Ini proses bagaimana orang dakwah zaman dulu.
Walisongo inilah yang kemudian melihat bahwa sebetulnya agama Hindu dan Budha itu hanya dipeluk oleh kalangan Gusti di keraton-keraton. Masyarakat di luar keraton secara umum agamanya ternyata bukan Hindu dan bukan Budha, tapi agama Jawa kuno, namanya agama Kapitayan.
Kapitayan, memuja Sang Hyang Taya. Taya itu artinya suwung, kosong. Jadi Tuhannya itu abstrak, tidak bisa digambarkan. Karena itu, orang-orang itu memberi definisi Sang Hyang Taya itu dengan definisi sederhana, "Tan keno kinoyo ngopo." Tidak bisa diapa-apakan. Sang Hyang Taya itu ya, dilihat ndak bisa, diraba ndak bisa, dipikir ndak bisa, diangan-angan tidak bisa. Itu masih banyak dianut oleh masyarakat. Nah, kekuatan Sang Hyang Taya inilah yang kemudian ada di berbagai tempat. Ada di batu, tugu, dan sebagainya. Itulah kemudian mereka melakukan sesaji di tempat-tempat seperti itu.
Kapitayan adalah agama kuno, yang dalam Arkeologi merupakan sisa-sisa peninggalan Kapitayan itu kita kenal dengan istilah barat. Dolmen, menhir, sarkopagus, macam-macam itu sebetulnya istilah arkeologi untuk menunjukkan bahwa ada agama kuno di situ.
Agama kuno bernama Kapitayan itu oleh orang Belanda dinamakan Animisme Dinamisme. Kenapa? Karena memuja pohon-pohon, dan lain-lain. Itulah yang diungkapkan oleh Mahuan sebagai kafir. Sebetulnya ndak. Sebetulnya ada kekuasaan tertinggi di situ. Karena itu kemudian lewat Kapitayan inilah kemudian diambil alih oleh Walisongo. Jadi Walisongo menyebarkan Islam lewat Kapitayan. Kenapa? Karena konsep Tauhid Kapitayan itu sama dengan Islam.
Kalau orang-orang menyebut, membatasi definisi Kapitayan itu dengan Tan Keno Pinoyo Ngopo, maka Allah dalam Islam itu juga disebut Laisa kamislihi Syaiun.
Di situlah kemudian mulai dikembangkan penyebaran Islam lewat Kapitayan. Karena itu istilah-istilah yang digunakan adalah istilah Kapitayan. Misalnya untuk beribadah menyembah Tuhan, tidak digunakan istilah shalat tapi Sembah Yang. Jadi ada proses begitu, pendekatan-pendekatan yang tanpa sadar menjadikan orang kemudian masuk ke dalam agama Islam.
Nah karena itu, Islam yang dikembangkan di sini melakukan pendekatan Kapitayan, istilah yang digunakan juga menggunakan istilah-istilah Kapitayan. Salah satu tempat ibadah Kapitayan itu disebut Sanggar, yaitu bangunan empat persegi dan pada dindingnya ada lubangnya. Lubang kosong itu adalah simbol dari Sang Hyang Taya. Jadi mereka tidak mengenal arca atau patung-patung. Yang ada hanyalah lubang kosong. Sanggar itulah yang oleh Walisongo digunakan Sembah Yang juga, tetapi untuk membedakan, Sanggar itu disebut dengan nama Langgar. Jadi, bentuk Langgar sampai sekarang tetap kayak Kapitayan. Ada lubang mihrabnya itu, di dalam. Itu adalah warisan Kapitayan.
Termasuk bedug, itu warisan Kapitayan. Nggak ada dalam Islam bedug itu aslinya.
Istilah-istilah digali dari Kapitayan. Karena itu ada ibadah tidak makan mulai pagi sampai malam. Walisongo, "Sudah, jangan pakai istilah shoum, orang nggak ngerti. Pakai istilah Kapitayan saja, upawasa. Upawasa jadi puasa." Di Kapitayan itu ada ajaran begitu. Jadi, ada upacara puasa yang disebut dino pitu, artinya puasa hari tujuh. Yang dimaksud hari tujuh ini adalah puasa pada hari kedua dan hari kelima. Orang yang melaksanakan puasa di hari kedua dan kelima itu nilainya sama dengan puasa tujuh hari. Sudah, langsung ditangkap saja sama Walisongo. Ya sudah dijalankan saja puasa itu. Kenapa? Hari kedua itu Senin hari kelima itu Kamis, ya sudah jalankan saja. Sama kok. Ya dicarikan kesamaan-kesamaan itu. Karena itu istilah-istilah itu istilah lokal sekali. Itu yang menurut Gus Dus, mempribumikan Islam. Sebenarnya itu menggunakan agama lama. Kapitayan.
Karena itu ada tumpeng dan macam-macam, itu perangkat orang-orang Kapitayan melakukan sesaji. Tidak dihilangkan oleh Walisongo. Biar saja, masyarakat awam masih menjalankan. Itu pengaruh-pengaruh.
Sementara, Walisongo sendiri kan asalnya dari Champa. Itu juga membawa pengaruh tradisi keagamaan. Salah satu contoh tradisi keagamaan asal Champa, itu yang membedakan dengan tradisi sebelum Islam di sini. Jadi pada masa zaman Majapahit, itu kalau ada seseorang meninggal dunia, dia diperingati 12 tahun setelah kematiannya. Namanya upacara Srada. Ada Raja Majapahit namanya Bhre Pamotan Sang Sinagara, itu ketika dua belas tahun setelah kematian ada upacara Srada, ada seorang Pujangga namanya Mpu Tan Agung membikin kidung, namanya Banawa Sekar, perahu bunga. Untuk menunjukkan bagaimana Upacara Srada itu dilakukan dengan kemewahan dan kemegahan.
Begitu zaman Walisongo datang, tradisi Islam Champa disebarkan ke masyarakat Islam. Kalau ada orang meninggal diperingati tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, seribu hari.
Ada orang meng-klaim, itu tradisi Jawa asli. Tidak. Itu justru datang dari Champa. Bahkan ada seorang Salafi namanya Abdullah Aziz mengatakan, itu tradisi Hindu. Nggak ngerti dia, bahwa itu tradisi umat Islam Champa. Ia juga merupakan tradisi di Asia Tengah, daerah Uzbekistan, Kazakhstan, itu masih begitu tradisinya. Orang mati diperingati tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, seribu hari.
Itu dibawa ke sini. Jadi itu tradisi Islam bukan Hindu. Ngawur kalau ada orang mengatakan itu warisan tradisi keagamaan Hindu. Tidak. Itu tradisi keagamaan orang Islam. Silahkan dibaca buku-buku tentang tradisi di Champa, itu semua akan muncul di situ.
Bahkan pengaruh dari Champa ini juga kelihatan di banyak aspek. Misalnya tahayul. Tahayul zaman Majapahit itu tidak banyak. Kenapa? Orang Majapahit itu orangnya rasional. Mereka pelaut dan berkenalan dengan bangsa Cina, India, Persia, dan sebagainya. Rasional. Berarti jumlah tahayul di zaman Majapahit itu sedikit. Begitu zaman Islam, tahayul dari Champa itu masuk dan menjadi bagian kekayaan tahayul masyarakat Nusantara.
Jadi itu sebabnya tidak ada penyebaran Islam di sini dengan kekerasan senjata, tidak ada itu. Baru zaman Belanda, terutama paska Perang Diponegoro, itu Belanda sudah betul-betul kehabisan dana. Dia hutang itu berapa juta gulden akibat perang Jawa. Dan setelah Diponegoro ditangkap, ternyata pasukan-pasukan pengikutnya tidak pernah tunduk, terus melakukan perlawanan.
Lalu Belanda melakukan upaya pen-dekonstruksi-an cerita-cerita tentang Walisongo. Masa itu. Di situ ditulis Babad Kediri dan seterusnya. Itu perintah Belanda. Jadi ada, dokumennya ada. Bagaimana Belanda memerintahkan untuk membikin Babad Kediri. Dari Babad Kediri itulah kemudian disusun Kitab Dharmo Gandul. Disusun lagi Suluk Gatoloco. Itu ngambil dari Babad Kediri. Kemudian dikembangkan. Nah, yang bikin itu orang asal dari Pati daerah utara, namanya Ngabdullah. Karena dia sangat miskin kemudian murtad, masuk agama Nasrani, namanya diganti jadi Ki Tunggul Wulung. Ia ditempatkan di Kediri. Dibina oleh seorang missionaris namanya Kollen, di Mojoagung, Jombang. Itulah yang membikin Serat Gatoloco Dharmo Gandul. Lalu membikin cerita yang bertolak belakang dengan kenyataan. Misalnya, Demak menyerang Majapahit tahun 1478. Di situ kemudian muncul tokoh yang namanya Sabdo Palon Noyo Genggong. Kemudian mengutuk, nanti lima ratus tahun ke depan, Majapahit akan bangkit lagi. Itu bikinan Belanda itu.
Kenapa? Kalau kita membaca naskah Pararaton yang ditulis dalam Bahasa Jawa kuno, ditegaskan bahwa pada tahun 1478, atau tahun Jawanya tahun 1400, yang diberi Condro Sengkolo Sirno Ilang Kertaning Bumi, itu Majapahit diserang Girindra Wardhana, Raja Hindu dari Kediri. Bukan dari Demak.
Dari mana ini ceritanya kok Demak nyerang Majapahit? Ya bikinan zaman Belanda itu. Dimunculkan tokoh mitos Sabdo Palon Noyo Genggong ya di zaman itu. Saking kuatnya dongeng bikinan Belanda itu sampai Presiden Soeharto percoyo, bahwa tahun 1478 itu Demak betul-betul menyerang Majapahit. Ndak ada naskah kuno yang menyebutkan tahun itu Demak menyerang Majapahit. Itu serangan dari Girindra Wardhana. Naskah apapun semua sama.
Itulah, lima ratus tahun setelah itu janjinya Sabdo Palon dipenuhi. Karena lima ratus tahun setelah 1478 itu adalah tahun 1978. Itulah untuk pertama kali disahkannya aliran kepercayaan, sebagai simbol bangkitnya Sabdo palon Noyo Genggong. Yo keliru. Kajian sejarahnya keliru sekali. Lha wong itu bikinan Belanda kok.
Ada lagi Belanda membikin naskah dari Klenteng Sam Poo Kong. Katanya Presiden Portman merampas tiga cikar kronik Cina dari Klenteng Sam Poo Kong di Semarang. Kemudian ternyata setelah tiga cikar tadi dibaca, itu menyebutkan Walisongo itu semuanya adalah orang-orang Cina. Sunan Ampel itu namanya Bong Swi Hoo. Macem-macem. Sunan Kalijogo juga orang Cina. Nah ini kan bertentangan dengan naskah-naskah yang lebih kuno. Dan ternyata kalau kita kaji lebih teliti, bener nggak naskah itu? Kapan Presiden Portman itu merampas naskah itu? Ternyata kalau kita lihat dari Almanak van Nederland Indie, dimana Almanak van Nederland Indie ini menyebutkan seluruh jajaran pejabat Pemerintah Kolonial sejak tahun 1810 sampai tahun 1942, itu dokumennya masih ada. Sejak tahun 1810 hingga 1942, kita cari nama Presiden Portman, ndak ada itu. Itu artinya kan palsu. Nggak ada orangnya kok disebut itu lho. Dan kalau kita tanya, jadi sempat ketika saya ke Belanda itu, tanya kepada De Rat, waktu itu tahun 1990an masih hidup, tentang naskah kronik Cina di Klenteng Sam Poo Kong. Apa jawaban beliau? Udah nggak usah dipakai itu. Nggak ada itu.
Jadi memang tidak ada naskah itu. Bikinan Belanda. Jadi diam-diam Belanda itu membikin sejarah sendiri untuk mengacaukan perjuangan umat Islam terutama mematahkan perjuangan pengikut Diponegoro. Di situlah didiskreditkan macem-macem dongeng-dongeng cerita baru. Jadi nanti kalau Anda membaca cerita, oh ada tokoh bernama Sabdo palon Noyo Genggong, itu bikinan Belanda. Kenapa? Di naskah yang lebih kuno tidak ada.
Bahkan Babad Tanah Jawi itu ada versi Belanda sendiri namanya Babad Tanah Jawi versi Koltef (mungkin yang dimaksud W.L. Olthof), bukunya sekian --sekitar tiga centimeter. Padahal Babad Tanah Jawi yang asli, yang pernah diterbitkan Balai Pustaka, 24 Jilid, satu Jilid segini --di atas lima centimeter. Anda bisa bayangkan. Diringkas jadi satu buku tipis. Dan ini yang banyak digunakan orang. Kan keliru sudah. Jadi Belanda itu diam-diam membikin naskah.
Salah satu naskah yang ia bikin dan itu membikin pertentangan antara orang Sunda dengan Jawa, itu Kidung Sunda. Dimana digambarkan peristiwa Bubat, Gajah Mada membunuh Raja Sunda beserta keluarganya. Pembantaian massal. Itu membikin orang Sunda percaya dan marah. Padahal kalau kita lacak, kapan naskah ini muncul? Tahun 1860. Ternyata yang bikin orang dari Bali atas suruhan Belanda. Sunda itu kerajaan besar. Kalau memang peristiwa itu pernah ada, pasti ditulis oleh Kerajaan Sunda. Naskah-naskah Sunda itu ternyata nggak ada yang menyinggung masalah itu. Bagaimana peristiwa sebesar itu nggak disinggung di Kerajaan Sunda? Sedangkan tradisi saja ditulis dalam naskah Siksakandang Karesian. Semua itu, naskah masalah perbintangan, kalender, apa saja ada di situ. Kenapa peristiwa pembunuhan itu nggak ditulis di sana? Di Mojopahit juga nggak pernah nyinggung ada peristiwa itu. Kenapa? Bikinan Belanda. Memang tujuannya untuk merusak sejarah Indonesia.
Karena itu Walisongo ini merupakan suatu kekuatan umat Islam yang tidak pernah bisa ditundukkan Belanda. Ya mereka punya kepentingan untuk menghancurkan itu. Karena itu kalau kita buka dokumen kolonial arsip kita akan temukan, di tengah kebingungan Belanda, bagaimana ngatasi orang Islam. Kenapa? Tidak pernah mau tunduk. Orang-orang Islam selalu merasa lebih tinggi dari Belanda, terutama orang-orang dari pesantren. Kenapa? Orang Belanda dianggap orang rendah. Kafir. Itu perlawanan terus. Karena itu kalau kita membuka kolonial arsip, kita akan nemukan bahwa sejak tahun 1800 sampai tahun 1900, dalam tempo 100 tahun terjadi 112 kali pemberontakan yang dipimpin guru tarekat dan orang-orang dari pesantren.
Itu sebabnya Belanda kemudian..., kita harus membikin satu cara yang sistematis untuk menundukkan orang Islam di Hindia Belanda. Menyebut wilayah ini dulu Hindia Belanda. Itulah tahun 1848, paska perang Diponegoro, Belanda membikin Peraturan Perundang-undangan yang dinamakan burgerlijk wetboek voor Indonesie --disingkat BW, dimana dia menempatkan orang kulit putih itu pada tempat paling atas, warga negara kelas satu. Warga negara kelas dua adalah orang Timur Asing, yaitu Cina, India, Arab. Warga negara kelas tiga itu inlander. Pribumi. Paling rendah. Itu sudah dibikinkan. Hukum mereka, kalau warga negara kelas satu dan dua ini melakukan pelanggaran, maka hukumnya adalah burgerlijk wetboek. Jadi buku KUHP yang berdasarkan keadilan. Mereka diadili di tempat namanya RVJ, Raad van Justice. Pengadilan untuk keadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.