Ke sanalah saya kemarin sore, menemui Djoko Angkoso, mendengarnya bercerita, lalu mencatat segenggam kisah tentang Kalisat pada waktu itu.
"Nama saya Djoko Angkoso, kelahiran Kalisat, 16 Juni 1961. Sejak kecil saya biasa dipanggil Kokok. Dulu saya Katolik hingga lulus SD Nasional, sebuah sekolah dasar di Kalisat. Waktu SMP saya masuk Islam. Kemudian di tahun 2002 saya naik haji. Sepulang dari naik haji, teman-teman sekitar mulai terbiasa memanggil saya Haji Kokok."
Adelina
"Itu Mami saya, Namanya Adelina, ia lahir di Belanda. Opa memang asli Belanda, sedangkan Oma adalah perempuan Jawa berdarah Padang. Mereka berdua dikaruniai lima orang anak, Mami nomor dua. Kakaknya laki-laki bernama Herman. Tiga adik Mami semuanya perempuan; Tante Ida, Tante Soni, dan Tante Selfie. Suatu hari Opa dan Oma memutuskan untuk bercerai. Yang menetap di Belanda dan tinggal bersama Opa adalah Tante Ida, sedangkan yang lain ikut Oma pulang ke Jawa."
Tante Ida --berkacamata hitam-- ketika di Kalisat
"Di Belanda, Opa menikah lagi dan dikaruniai keturunan tapi saya tidak tahu bagaimana kabarnya. Dulu Tante Ida memang pernah ke Kalisat, tapi itu dulu sekali. Lalu ia kembali ke Belanda. Mereka tinggal di Amersfoort. Kini semua sudah meninggal dunia, kecuali Tante Selfie yang menjalani masa tuanya di Surabaya."
Lalu Haji Kokok bercerita tentang sosok Ayahnya.
Adelina dan Saswandi, orang tua Haji Kokok
"Nama Ayah saya Saswandi, biasa dipanggil Pak Sas. Di tahun 1940an Ayah tidak tinggal di sini melainkan di Malang. Isman Kosgoro, itu leting Ayah saya. Mereka bersahabat. Pak Isman orangnya supel, loyal kepada sahabat. Ia pernah ke Kalisat di tahun 1980an ketika Ayah saya sudah meninggal dunia. Jadi yang menjamu Pak Isman adalah Bapak mertua saya. Putranya Pak Isman namanya Hayono Isman, pernah menjabat sebagai Menpora di tahun 1993-1998. Dia juga mengelola Hotel Elmi di Surabaya. Dulu, setiap kali ada acara Kosgoro di Surabaya, selalu ditempatkan di Hotel Elmi."
Jika melihat dari foto-foto era 1960an, Mami Adelina senang sekali membuatkan kue tart berhias lilin-lilin kecil, ketika Haji Kokok merayakan hari lahirnya. Seperti foto di bawah ini.
Haji Kokok di masa kecil, di hari lahirnya
"Saya tidak bisa memastikan, foto tahun berapakah itu. Pastinya antara tahun 1964-1967, ketika rumah kami masih di sana, di dekat toko biru di Kalisat. Saya ada tepat di depan kue tart buatan Mami, yang paling kecil sendiri, diapit oleh Muspika Kalisat. Itu yang tengah Camat Kalisat, sebelah kanannya lagi Danramil Kalisat, sedangkan yang ada di samping kiri saya --tampak foto-- adalah Kapolsek Kalisat. Mereka kolega orang tua saya."
Saat memasuki usia sekolah dasar, oleh orang tuanya, Haji Kokok disekolahkan di SD Nasional. Lokasinya ada di belakang BCA, seberang Masjid Jamiek Kalisat.
"Dulu di sana, di dekat SD Nasional ada toko kapur. Kini sepertinya sudah tidak ada lagi. Teman-teman saya kebanyakan anak-anak Kalisat keturunan Cina Perantauan. Ada pula anak-anak Jawa dan Madura seperti saya. Haji Slamet mantan Kades Glagahwero itu juga alumni SD Nasional. Hans, penerus usaha toko panggung yang orang tuanya dikenal dengan sebutan Yuk Panggung, itu teman saya. Kacung, adiknya Hans, juga berteman dengan saya. Ada lagi teman bernama Beng, rumahnya di Glagahwero, sekarang menjadi Ibu angkatnya Pur mantan Kades Ajung. Siapa lagi ya? Oh, itu, Heri Purwanto dan Bambang Ja'un. Lalu Fat yang rumahnya di belakang terminal. Suaminya bernama Coni."
Haji Kokok juga memiliki seorang teman bernama Titik, tinggal di PIN Toko Sepeda. Dia stress, namun bagaimanapun, Titik adalah teman yang baik.
SD Nasional Kalisat, 1970-1971
Foto di atas dijepret antara tahun 1970-1971 saat Haji Kokok masih kelas lima SD. Saya salut, ia masih mengingat nama-nama temannya semasa sekolah dasar.
Ketika saya bertanya bagaimana suasana pertokoan pengusaha keturunan Cina di Kalisat di era 1970an, Haji Kokok segera menceritakannya. Senang mendengarnya berkisah.
"Dulu kalau dari Kantor Polisi Kalisat, sebelahnya ada Pabrik Es, nama anaknya Juntek. Baratnya lagi Liem Sing Hei. Kemudian Yen Tik yang punya Kopen. Lalu Bu Karlan. Lalu Toko Ijo Soponyono, sebuah toko roti. Baratnya lagi kosong. Kemudian ada toko yang berjualan barang pecah belah. Lalu toko Pak Halim, keturunan Arab Turki."
Masih menurut Haji Kokok, dulu yang terkenal adalah Toko Meong, Lung Toko Kain, Lim Sing Mandala, dan Kaling. Ada juga Yuk Gembring yang membuka usaha toko pracangan. Ada Nya Ason seorang dokter. Anaknya Nya Ason namanya Lilik, teman Haji Kokok.
"Dulu semua anak-anak kecil di wilayah ini mengenal Ason. Jika mereka nakal, sulit makan, maka biasanya orang tua akan menakut-nakuti anaknya dengan berkata seperti ini, 'Ooo.. mentak e suntik ka Ason riah,' dan mantra itu ampuh. Si anak akan segera berlaku baik."
Yang diingatnya lagi adalah Abing, kemudian toko kain Kok Fa, lalu Asak yang membuka toko pracangan. Ada lagi Kok Ren pengusaha Depot 32. Di timurnya ada toko Cemara, satu saudara dengan Chung Yang pelaku bisnis hiburan Gedung Bioskop Binaria di Kalisat.
"Di Kalisat juga ada tiga pengusaha yang masih saling memiliki hubungan saudara. Mereka adalah Yuk Tessi, Yuk Kepak, dan Tek Jong."
Yuk Kepak terbilang populer di mata anak-anak kecil, sama populernya dengan dokter Ason. Namun para bocah Kalisat memiliki lagu sendiri untuk Yuk Kepak. Begini lirik lagunya; Tuk wak kiri kanan, Yuk Kepak kurang mangan.
"Lha ngosok jieh lah. Setelah bernyanyi, kami segera berlari menghindari amukan Yuk Kepak atau rekannya yang membela Yuk Kepak. Tidak ada yang memberitahu saya jika lagu itu berbau rasis. Ketika itu saya dan teman-teman hanya sedang bersenang-senang."
Ada juga yang namanya mirip Yuk Kepak, yaitu Yuk Kapuk. Lokasi rumahnya ada di jalan menuju stasiun. Kini tempat Yuk Kapuk dijadikan salon kecantikan oleh Ibunya Frans. Lalu Bun Liang, pengepul padi di desa Ajung kecamatan Kalisat. Setelah itu ada Yuk Wat, Bapaknya Cemerlang. Saudaranya ada di Kanada, namanya Toni. Satu lagi yang diingat Haji Kokok yaitu Alm. Kok Jay, dulu ia pengusaha Amsle.
Mami Adelina sedang menjamu tamu
"Lihat, Mami sedang sibuk menjamu tamu di rumah kami. Ia bahkan tidak marah ketika saya ikut nimbrung di sana. Saat itu Mami tampil cantik, ia berdandan ala perempuan India."
Menurut Ibu Sulasmini, orang Kalisat yang mengenal Adelina biasa memanggilnya Bu Sas, mengikuti nama suaminya. Ia perempuan yang ramah, riang, serta mau bergaul dengan siapa saja dan dari etnis apapun. Relasinya juga banyak dari kalangan keturunan Cina Perantauan yang tinggal di Kalisat. Mereka para pengusaha Cina Perantauan pernah mengalami nasib tak nyaman di masa fasisme Jepang. Generasi berikutnya, beberapa dari mereka juga mengalami nasib buruk di era komunisme 1965.
"Dalam keseharian, Bu Sas menggunakan bahasa Jawa, tapi dalam hal surat menyurat Bu Sas lebih sering menggunakan bahasa Belanda. Ia senang tampil ala gadis Jawa. Memakai kemeja motif bunga dan bersanggul. Hobinya yang lain adalah membuat kue. Jika ada kursus pembuatan kue untuk Ibu-ibu di sekitar sini, Bu Sas selalu mengajak saya," kata Ibu Sulasmini, perempuan berusia 82 tahun.
"Bu Sas juga yang mempopulerkan resep kue-kue populer ala Belanda. Yang paling sering diajarkan ke Ibu-ibu Kalisat adalah kue Hutspot. Saya biasa menyebutnya kue spot. Kue yang terdiri dari daging, bawang bombay, buncis, wortel dan kentang ini disukai oleh Ibu-ibu."
Jika melihat komposisi penduduk di Afdeling Jember pada tahun 1930, ketika itu terdapat 957 warga Cina, 81 warga Arab, serta 211 warga Eropa. Sebuah wilayah kecil yang cukup ramai. Menjadi semakin ramai pada 40 hingga 50 tahun kemudian, di era 1970an.
*Wawancara dengan Haji Kokok di Kalisat, 3 April 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.