Kamis, 16 April 2015

Sroedji itu Teman Main Badminton Bapak Saya

Kamis, 16 April 2015
Kemarin sore saya dan teman-teman sowan ke rumah Oma, perempuan sepuh kelahiran Kediri, 3 November 1934. Ia tinggal di sebuah rumah mungil di JL. Nusa Indah Jember, dengan ormanen rumah yang masih menyisakan jejak masa lalunya. Oma tidak segera menjumpai kami, melainkan masih sibuk menenangkan anjing-anjing peliharaannya. "Mereka adalah anak-anak saya yang berkaki empat," katanya.

Rumah Oma terbagi dua, sisi depan dan belakang. Dia tinggal di bagian belakang. Sementara rumah bagian depan dikontrak oleh keluarga penjual bakso yang mengusung brand, Bakso Ayam Pak Har. Di sanalah kami berbincang, di deretan bangku bakso ayam.


Oma Elok Satiti Susrama. Foto oleh Bencot, 15 April 2015

"Saya biasa dipanggil Oma. Nama saya sendiri adalah Elok Satiti. Lalu sejak menikah dengan I Gusti Made Susrama, nama Susrama saya jadikan nama belakang hingga sekarang," kata Oma.

Oma tiga bersaudara, dia anak bungsu. Kakak pertamanya perempuan, namanya Idi Retnani. Ia kuliah di kedokteran dan meninggal dunia di usia muda. Setelah Idi Retnani ada Karoeniyo, kakak laki-laki. Dulu di masa sebelum kemerdekaan, Karoeniyo bekerja di USIS, United States Information Service, sebuah perusahaan milik Amerika Serikat yang kerjanya putar-putar film layar tancap.

"Ibu saya adalah bidan pertama di Kota Jember, namanya Twiyani. Bapak saya namanya Munasim Sukowiryo. Keduanya jebolan Taman Siswa. Setelah Ibu saya menikah dengan Bapak, ia kerap dipanggil Bu Munasim. Sebelum tinggal di Jember, keluarga kami pernah tinggal di Tulungagung. Baru pada tahun 1941/1942, orang tua pindah ke Jember. Waktu itu usia saya sudah 8 tahun, tapi masih pakai celana monyet."

Pertama kali tinggal di Jember, keluarga Oma tidak langsung menempati rumah dekat SMPN 4 Jember yang kemarin saya kunjungi.

"Dulu rumah orang tua saya di sana," kata Oma sambil jari telunjuknya menunjuk ke Kreongan arah Stadion Notohadinegoro. Lalu Oma bercerita tentang Kreongan era 1940an.

"Gedung yang sekarang difungsikan sebagai gedung SMPN 10 Jember, dulunya adalah sekolah MULO. Di situ juga tempatnya nonik-nonik Belanda. Yang boleh sekolah di sana hanya priayi, tapi jarang. Kata orang, MULO dibubarkan di zaman Jepang lalu diganti dengan sekolah ala Jepang. Tahun segitu, lokasi SMPN 4 Jember masih berupa tanah kosong. Deretan rumah saya ini hingga di belakang SMP 4 namanya daerah Gedongan. Kalau di seberang sana, itu namanya Kampung Lebih. Memang di masa itu Kreongan terbagi atas kelas-kelas, sama seperti daerah pendudukan yang lain."

Saya tidak terkejut ketika Oma bilang jika dia lulusan sekolah jurnalistik, lalu aktif di kegiatan jurnalistik Gereja. Caranya bertutur memang berbeda, kentara sekali jika terpelajar.

"Dulu saya aktif menulis untuk Sinar Harapan. Itu media Kristen, sudah ada pangsa pasarnya sendiri. Setelah Sinar Harapan dibredel, saya aktif menulis untuk Majalah Mutiara."

Rupanya Oma juga memiliki seorang jurnalis fovarit, orang Batak. Sayang ia lupa namanya.

"Saya senang Anda-anda datang ke sini dan bertanya tentang masa-masa itu. Syukurlah pikun masih belum menghampiri otak saya yang sudah tua ini, haha."

Menurut Oma, wajah daerah Kreongan di masa itu sangat cantik. Bersih. Penataannya memang diperhitungkan. Akses orang-orang Kreongan menuju pusat kota juga dekat. Oma sempat menyinggung tentang keberadaan SMPN 2 Jember. Dia bilang, dulu itu sekolah HIS khusus berbahasa daerah Madura. Lalu dia bercerita tentang dokter Soebandi, seorang dokter tentara yang juga tercatat sebagai dokter di Rumah Sakit DKT Jember.

"Dulu rumah dr. Soebandi ada di seberang RS. Paru Jember, di rumah pojok."

Kata Mas Wahyu AR yang kemarin mengantarkan kami ke Oma, rumah pojok yang dimaksud adalah kediaman Pak Rolla Kreongan.

"Iya, di sana. Makanya dulu rumah sakit itu, sebelum menjadi rumah sakit paru-paru, dikenal dengan Rumah Sakit dr. Soebandi. Dulu JL. dr. Soebandi ya sampek di sini, sampek di ujung lampu merah Bhayangkara. Kini dikenal dengan JL. Nusa Indah, tidak lagi JL. dr. Soebandi."

Karena keluarga Munasim Sukowiryo tiba di Jember pada 1942, ia mengenal Moch. Sroedji ketika masih sama-sama bekerja sebagai Mantri di Rumah Sakit Umum Kreongan --kini Rumah Sakit Paru.

Di masa setelah Perjanjian Renville, ketika para pejuang mengungsi ke kantong Republik, orang tua Oma tidak ikut mengungsi. Mereka tetap bertahan di Rumah Sakit merawat orang-orang yang sakit.

"Dulu saya juga bertanya-tanya, kenapa tidak ikut mengungsi? Apakah saya berbeda? Lalu saya bertanya ke orang tua, mereka bilang, 'Lho lek kabeh ngungsi, sopo sing nulungi?' Bapak saya Mantri, sedangkan Ibu saya Bidan. Mereka tetap ada di sini, di Kreongan."

"Mbiyen pancen soro. Dulu nggak ada susu formula. Kalau ada pasien yang terkendala ASI, siapa yang ASI-nya deras ya dipompa. Lalu dikasihkan ke yang ASI-nya kurang. Waktu itu saya yang menjadi kurir antar ASI. Harus cepat, harus tepat waktu."

Saya senang ketika Oma mulai bercerita tentang masa-masa di bulan Februari 1949. Waktu itu dia sudah bertumbuh menjadi seorang gadis, 15 tahun. Sayup-sayup ia mendengar kabar adanya pertempuran di Karangkedawung, 8 Februari 1949.

"Jenasah Pak Sroedji dibiarkan di alun-alun. Dijarno gletak. Biar jadi pelajaran bagi penduduk supaya tidak melawan. Sayangnya waktu di alun-alun saya tidak lihat sendiri. Tapi ketika jenasah Pak Sroedji dibawa ke Kreongan, saya berhasil mblusuk-mblusuk diantara kumpulan orang-orang, hingga ada di dekat jenasah."

Menurut penuturan Oma, saat hendak menjemput jenasah, orang-orang Rumah Sakit Kreongan masih berkumpul dan berdiskusi mencari jalan keluar. Mereka mengenal Pak Sroedji sejak ia menjadi Mantri Malaria di Kreongan.

"Sroedji itu teman main badminton Bapak saya, tentu mereka saling mengenal dengan baik meskipun mungkin tidak dalam waktu yang sangat lama. Bapak saya juga kenal baik dengan Mbah Dahnan, dia kan, selain Kiai Musholla juga seorang Mantri Sunat di Rumah Sakit Kreongan."

Diceritakan oleh Oma saat ia menyaksikan jenasah Letkol Moch. Sroedji di Kreongan, "Orangnya besar. Ada bekas lubang peluru di dadanya hingga tembus ke punggung. Kondisi punggung belakangnya krowak. Ia kena peluru dem-dem, waktu meletus dan mengenai sasaran, peluru itu mekar. Di zaman perang mempertahankan kemerdekaan memang lagi musim peluru dem-dem. Saya mengerti sebab suami saya dulu juga seorang tentara. Ia Tentara Pelajar Luar Pulau. Senjata yang paling sering dirampas oleh suami saya adalah Karabin, popore kayu. Suami saya juga pernah disiksa Belanda, dipukuli pakai popor Karabin. Di masa tuanya, suami saya menderita Parkinson."

Oma juga menyaksikan dahi Pak Sroedji. Dia melihat ada darah kering dan bekas luka. Karena tidak tega melihat kondisi jenasah, ia segera keluar dari kerumunan. Kisah gugurnya Moch. Sroedji dan Soebandi juga menjadi lembar kesedihan bagi dunia kesehatan di Jember.


Dokumentasi oleh Bencot, 15 April 2015

Kepada Oma saya berkata jika di hari lain kami akan berkunjung kembali. Perempuan yang bisa berbahasa Belanda itu mengangguk ramah.

Sebenarnya Oma memiliki tiga orang buah hati, namun ia lebih suka tinggal di Kreongan dan menghabiskan waktu untuk kegiatan-kegiatan sosial di Gereja di sekitaran Kreongan. Ia sendiri tercatat sebagai anggota GKI Kaliwates.

"Anak saya yang pertama namanya I Gusti Ayu Widyastiti Kusumaningrum, kini lebih dikenal dengan sebutan Bu Thomas. Ia kelahiran tahun 1956, sekarang ada di Jakarta. Kalau yang nomor dua laki-laki, tinggal di Jogjakarta. Ia seorang dosen, oleh teman-temannya dipanggil Budi Ngurah. Katanya untuk membedakan dengan Budi-budi yang lain. Namanya sendiri adalah I Gusti Ngurah Wiryawan Budiana Kusumayuda, kelahiran tahun 1958. Dia senang musik klasik, makanya kini jadi dosen musik klasik di ISI Jogja. Kabarnya kini ia masih sibuk menyelesaikan Disertasi untuk S3, masih tak jauh-jauh dari dunia musik. Yang bungsu juga ada di Jogjakarta, sibuk menyelesaikan thesis untuk S2-nya. Dia kelahiran tahun 1971, akrab dipanggil Christine, nama lengkapnya I Gusti Ayu Wiryaningtyas Kusumawardani. Dia juga menggeluti pendidikan musik, sama seperti Kakaknya."

"Setiap Rabu pagi hingga siang, saya aktif berkumpul di Gedung Juang 45. Bermainlah ke sana, nanti akan saya kenalkan dengan teman-teman yang lain."

Oma, terima kasih. Juga buat Mas Wahyu AR beserta istri, Chris, terima kasih telah diantarkan ke rumah Oma Elok Satiti Susrama. Sebagai penutup catatan, akan saya tuliskan kembali kutipan tentang Jember dari Oma Elok.

"Saya sedih melihat Jember sekarang. Duh! Mbiyen koyok ngono saiki koyok ngene. Apa artinya merdeka?"

11 komentar:

  1. Salut kpd OMA yg putra-putrinya sukses
    Semoga slll sehat Oma
    Terima kasih kisah ttg Oma
    Jd ingat Emak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pakde Cholik, terima kasih atas apresiasinya. Doa saya untuk Pakde sekeluarga.

      Hapus
  2. Mz Hakim...boleh minta CP samean???

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tentu boleh. Dimana saya akan mengirimkannya? Adakah alamat email?

      Hapus
  3. Balasan
    1. Saya mudah dijumpai di Facebook. Dari sana, akan saya kirimkan nomor saya. Terima kasih :)

      Hapus
  4. Thanks pak atas kisah beliau yang sudah ditulis.... beliau sangat cinta anak-anak dan pelatih paduan suara yang hebat... beliau adalah guru bagi banyak orang... Senantiasa Sehat ya Bu Susrama.... Tuhan Berkati...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setelah saya ke rumah Ibu Elok, satu minggu kemudian kami --saya dan istri-- pindah rumah di kecamatan Kalisat. Tepatnya pada 21 April 2015. Jaraknya tidak terlalu jauh, hanya 17 kilometer saja. Namun baru tadi siang saya sempat sowan lagi ke beliau. Saya sampaikan komentar dan doa dari Anda.

      Terima kasih.

      Hapus
  5. ..ah..di sini rupanya.. ayo mas Hakim, lama nggak ngopi di pinggir jalan sampai ayam jantan bangun dari sarangnya

    BalasHapus

Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.

RZ Hakim © 2014