Foto oleh Zuhana AZ, 28 Agustus 2015
Sudah lama sekali saya tak berjumpa dengan Mbah Uti Kapina. Padahal dulu saat masih bocah, hampir setiap hari saya ke sana, sebab salah satu cucunya seumuran dengan saya. Bahtiar Adi Candra. Kami bersahabat. Kakak kandung Adi bernama Eka Candra Wijaya. Dulu ketika masih kecil, Ibunya Adi sering bilang pada kami, "Ayo belajar, ojok dulin thok, biar pintar seperti Mas Candra." Jika sudah begitu, Adi hanya cengengesan saja.
Cucu Kapina hanya dua itu, dari anak semata wayangnya, Andamarie --Ibunya Adi. Suaminya, Sukayat, telah meninggal dunia ketika Andamarie masih sekolah di SPPMA/SPbMA Jember.
"Saya lupa tahun berapa itu. Mungkin pertengahan tahun 1960an. Lha wong SPPMA itu baru dirintis sekitar tahun 1957 dan diresmikan di pemula 1960an."
Rumah Kapina ada di Patrang, kini tepat di seberang Taman Makam Pahlawan. Katanya, dulu di sana bernama JL. Bondowoso, sebab itu memang jalan antar kota dari Jember menuju Bondowoso dan Situbondo. Kemudian sejak ada Taman Makam Pahlawan di era DPRD Sementara Jember (1950-1956), nama jalan berubah menjadi JL. Pahlawan. Yang masih bertahan di sekitaran Patrang hanya JL. dr. Soebandi dan JL. Moch. Sroedji. Kemudian pada 1980an, antara 1983-1985, nama jalan itu berubah lagi menjadi JL. Slamet Riyadi hingga sekarang.
Sejak itu JL. dr. Soebandi tak sepanjang dulu lagi. Nasib serupa juga dialami oleh JL. Moch. Sroedji yang diperpendek, dibagi dua. Sisanya --yang mendekati alun-alun Jember-- berubah menjadi JL. PB. Sudirman.
Tentu Kapina ingat tentang proses pembangunan SPPMA, sebuah sekolah pertanian setingkat SMA di bawah naungan YAPENI dengan masa pendidikan 4 tahun, yang sayangnya kini sudah tidak berproses lagi. Jarak antara sekolah itu dengan rumah Kapina hanya sekitar 500 meter saja, itulah mengapa ia masih mengingatnya.
"Iku kan tanah eigendom. Wong mbiyen kuwi nggak peduli tanah le. Sak ombo-ombone tanah paling yo cuma ditandhuri gedang."
Tepat di selatan SPPMA, bersebelahan, dulu juga pernah digunakan untuk kampus Fakultas Pertanian Universitas Jember. Sebelumnya, di sana berdiri gudang tembakau. Setelah pernah dijadikan ruang belajar Fakultas Pertanian, pernah pula menjadi kampus untuk STKG, hingga Fakultas Teknik Universitas Jember sejak 1999.
Selain dekat dengan sekolah pertanian, dunia Kapina memang di bidang pertanian. Bapaknya, Pak Modak, meskipun tidak mengenyam pendidikan formal bidang pertanian namun ia adalah seorang mandor pertanian. Kemudian ketika Pak Modak menikah dengan seorang perempuan bernama Kemina, mereka dikaruniai empat buah hati. Yang pertama perempuan, bernama Liama. Kelak saat memiliki anak bernama Udin, Liama lebih dikenal dengan sebutan Bu' Din. Setelah Liama ada Muni, laki-laki. Nomor tiga bernama Hanaqi, namun lebih dikenal dengan nama anaknya. Jadinya ia dipanggil Pak Bambang Supeno --mantri pertanian di Bondowoso. Kapina adalah anak bungsu.
"Bapak saya dari Sumenep, sedangkan Ibu adalah perempuan Using," ujar Kapina dengan menggunakan bahasa Jawa. Dari merekalah Kapina belajar mencintai dunia pertanian.
Kapina dan orang-orang yang biasa membantunya bercocok tanam, diantaranya adalah Man Ja (paling kiri). Lokasi ada di kebun belakang rumahnya --di Patrang, orang-orang menyebutnya 'Landbouw' hingga sekarang. Repro oleh Zuhana AZ, 28 Agustus 2015
Orang-orang di sekitar Kapina tentu mengerti jika ia senang mengumpulkan biji-bijian, sedari muda hingga di usia senja. Biji-bijian yang ia kumpulkan aneka rupa, mulai dari biji durian, mangga, hingga rambutan. Biji tersebut kemudian ia tanam di sebuah anyaman bambu yang fungsinya sama seperti pot atau polibag, untuk kemudian dijual. Istimewa untuk orang-orang terdekat, mereka tak perlu membeli bibit jika ingin menanam sesuatu. Kapina akan dengan senang hati memberikan bibit-bibit itu. Seperti pohon rambutan yang sekarang tumbuh besar di depan rumah orang tua saya, itu adalah pemberiannya, ketika saya masih kecil. *Untuk paragraf ini, wawancara pada 26 Februari 2013
Di beberapa arsip yang masih ia simpan, tertulis jelas tanggal lahirnya, 1 Juli 1928. Kapina terlahir di Patrang. Namun sesungguhnya ia tidak tahu tanggal berapakah hari lahirnya. Kapina hanya bisa mengingat penggalan-penggalan kisah masa kecilnya.
"Dulu mobil hanya segelintir. Sepi. Truk itu sehari lewat depan rumah ini paling cuma sekali. Jadi kita anak-anak kecil biasa main di tengah jalan. Aman. Kalau mobil, paling dalam sehari dua kali saja. Biasanya miliknya Londo, orang perkebunan. Mulai banyaknya mobil di sini itu di akhir tahun 1950an, ketika saya sudah besar dan berkeluarga. Jalan tidak sebagus sekarang. Sudah beraspal tapi masih grunjal-grunjal, bergelombang. Meskipun dipadatkan, aspal tempo dulu tipis. Seperti gula merah yang melumuri jajanan lopes. Tapi tentu saja meskipun tipis dan grunjal-grunjal, jalan tidak lekas rusak sebab beban muatannya tidak seriuh sekarang."
Ia bilang, kalau menyebut Patrang ya desa. Belum ada kecamatan Patrang. Pendidikan tidak semerata sekarang.
"Sebagai anak pinggiran, kami juga haus hiburan. Makanya anak-anak sini kalau main ya ke alun-alun. Di sana rasanya nyaman, ada tiga beringin besar. Jalan kaki. Pulangnya naik dokar, seringkali ora usah mbayar sebab kami masih kecil. Dulu orang sekitar sini yang punya dokar cuma dua, Kaji Riman dan Kaji Karmoyo. Kaji Riman rumahnya dekat masjid Patrang, kalau Kaji Karmoyo orang Baratan --kini sekitaran Gang Tembok."
"Waktu saya masih kecil, tentu belum ada Taman Makam Pahlawan, belum ada perumahan BTN. Dari sini --Taman Makam pahlawan-- hingga ke Gang Tembok Baratan isinya hanya pohon jati besar-besar. Saya dan Kakak saya pernah bergandengan tangan dan mencoba merangkul salah satu pohon jati. Tidak berhasil. Harus dilakukan oleh tiga atau empat bocah, baru bisa mengitari diameter jati. Lama-lama pohon-pohon itu dipotong --oleh Belanda, lalu berganti semak belukar. Kemudian kalau saya tidak salah ingat, Jepang datang."
Menurut pemahaman Kapina dan rekan-rekan seusianya di masa itu, kehadiran orang-orang Belanda di tanah moyang mereka adalah sesuatu yang biasa saja. Kapina tidak mengerti apa itu paham kemerdekaan dan apa pula penjajahan. Yang ia tahu hanya satu, ketika Belanda berganti Jepang, semua terasa berbeda. Menurut Kapina, Jepang jahat. Mulanya saja mereka berbaik-baik remaja dan anak kecil, setelahnya mereka suka membentak dan tidak senang jika tidak diperhatikan.
"Tapi itu kan pemikiran saya saja. Mungkin kaget ya. Lho, Jepang kok begini?"
Kata Kapina, sejak zaman Jepang ada RT atau Rukun Tetangga. Ia lupa istilah Jepang untuk RT.
"Kalau Jaman Jepang, soro! Serba antri. Beras antri, tempe antri, gula antri, garam antri, susu antri. Banyak yang harus antri. Biasanya ketika antrian akan dimulai, Pak RT akan memberi tanda dengan membunyikan kentongan. Saya masih ingat RT waktu itu, namanya Pak Su. Zaman Belanda juga ada antri, tapi nggak soro-soro nemen."
Saat bercerita, kadang kedua mata Kapina menerawang. Mungkin ia teringat akan teman-temannya di masa kecil, atau tentang suasana Patrang tempo dulu. Lalu Kapina melanjutkan kisahnya hingga era Presiden Soekarno. Menurutnya, zaman Soekarno hidup rakyat tak menentu. Meski demikian, semangat rakyat berkobar.
"Pak Karno itu mengajak kita untuk berdiri di atas kaki sendiri. Tidak tergantung dengan negara lain. Beda dengan zaman Pak Harto yang mau kerjasama dengan negara lain. Zaman Soeharto ekonomi kita mengalami perkembangan yang baik, sekolah-sekolah bertambah."
Saya dengar dari penuturan Kapina, di masa Soekarno tidak ada pupuk sebanyak sekarang. Biasanya para petani mengolah pupuk sendiri dari tahi sapi. Benih padi pun tidak sebanyak sekarang. Di masa itu usia padi setahun sekali. Padi yang paling dikenal oleh masyarakat Patrang dan sekitarnya adalah padi jenis jer betoh.
"Padi jer betoh itu tingginya bisa mencapai satu meter. Panen setahun sekali. Punel. Harum. Aromanya menyebar bahkan ketika sedang proses menanak. Jadi jika ada sebuah keluarga sedang menanak nasi jer betoh, para tetangganya pasti akan mengerti. Di zaman Soeharto, benih padi banyak sekali, sama dengan banyaknya pupuk. Proses tanam padi hingga panen bisa dilakukan lebih cepat."
Keceriaan berubah sunyi ketika saya bertanya tentang bagaimana rasanya hidup di masa 1965. Kapina bilang, "Wes ojok cerito PKI, serem." Namun akhirnya ia berkisah juga.
"Ketika itu Kakak saya --Hanaqi-- pernah dicari oleh orang-orang ARMED, padahal dia bukan anggota PKI. Saat orang-orang ARMED datang ke rumah, Nenek saya dari pihak Ibu --Mbah Sinem-- sedang makan. Enak-enak makan piringnya ditampel --dibuang-- oleh salah satu prajurit. Kasihan Nenek, padahal ia hanya seorang perempuan Using yang buta. Kata Nenek saya, 'Ye.. sopo nimpal segone isun wong isun enak-enak mangan.' Saya menangis. Sejak itu saya takut bila bicara tentang PKI."
Melihatnya bersedih, saya tak tega untuk bertanya apa-apa lagi. Selanjutnya, kami membicarakan hal-hal lain yang renyah, mulai dari masa kecil saya dan Adi hingga kabar seorang Eka Candra Wijaya. Ia bilang, kini pendengarannya menurun drastis, mata kirinya tak berfungsi dengan baik. Namun begitu, ia masih tekun menanam sesuatu. Hari-harinya ia lewati dengan pergi ke sawah, bercanda dengan dua cicitnya --Tyo dan Kemo, buah hati Adi-- serta merindukan Candra.
Tak lama kemudian saya pamit undur diri menuju Kalisat. Sebelum pulang, ia mendoakan hal-hal baik kepada saya. Bahagia sekali didoakan oleh perempuan sepuh penebar biji-bijian.
Mbah Uti Kapina, terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.