Oleh Abdul Hadi W.M.
KARYA sastra besar tidak jatuh begitu saja dari langit. Sejarah dan tradisi sastra yang telah ada dan lingkungan sosialnya berpengaruh besar. Bahasa Sanskerta telah lama mengembangkan tradisi sastranya dan dengan pendidikan yang sistematis, baru kemudian lahir Walmiki, Kalidasa, ataupun Raja Harsah. Jerman bertahun-tahun lamanya untuk melahirkan seorang Goethe. Di negeri-negeri seperti Perancis perkembangan itu tidak terjadi secara kebetulan, tapi dikerjakan sungguh-sungguh. Disamping perkembangan bahasanya juga memberikan kemungkinan, pemikiran-pemikiran tentang manusia dan kehidupan yang terdapat dalam masyarakatnya dan pengalaman hidup yang kaya daripada masyarakatnya juga sangat besar artinya, bagi lahirnya karya-karya besar.
Bahasa adalah primer sekali di dalam kesusastraan. Perkembangan kesusastraan terikat sekali dengan perkembangan bahasanya dan kemungkinan yang luas yang diberikan bahasanya. Goethe, disamping kesungguhannya sendiri, dimungkinkan juga oleh Bahasa Jerman yang tersusun rumit dengan kekayaan kategori dan bahasa itu menyediakan diri bagi pemikiran-pemikiran yang kontemplatif. Bahasa Inggris yang bersangkut paut dengan bahasa yang menyelami pengalaman manusia, kata Hoggart, dengan segala kompleksitasnya memungkinkan lahirnya Blake, T.S. Elliot dan lain-lain, yang seperti tercermin dalam kesusastraan banyak menaruh minat terhadap soal-soal sosial dan moral dengan tekanan yang konkrit dan pragmatis.
Bahasa Indonesia adalah bahasa yang baru berkembang. Tradisi sastranya juga baru. Sampai sekarang ciri-ciri yang terpokok daripada bahasa itu belum diketemukan. Bahasa ini masih natural sekali dan masih harus lebih banyak mengalami experimentasi untuk menjadi bahasa kesusastraan yang tinggi. Namun begitu karena proses vulgarisasi dari kebanyaan pemakainya, mau tidak mau juga memberikan pengaruh pada kesusastraannya. Dan usaha para pengarangnya sudah cukup keras, seperti terlihat dalam puisi-puisi Chairil Anwar.
Kekuatan apakah yang dapat ditimba daripada bahasa itu untuk mendukung ide-ide sastra modern yang tinggi? Bagaimanapun juga di sini harus kita lihat hubungan bahasa di satu pihak, dan masyarakat yang memakainya di lain pihak. Pengarang-pengarang novel dan drama, selalu tidak terlepas dari kedua hal ini, dia selalu terikat baik kepada bahasa dan masyarakatnya.
Untuk bahan dan model karangannya mereka bercerimin kepada masyarakatnya dan mengetahui seluk beluk bahasanya. Bahasa adalah cermin pemikiran daripada masyarakat. Jenis pemikiran yang bagaimana tentang hidup dan apakah pemikiran itu memiliki perspektif yang luas untuk menyelami keadaan manusia umumnya, ditentukan oleh kekayaan pengalaman batinnya dan petualangan jiwanya untuk mencari esensi hidup.
Lingkungan pemakai bahasa Indonesia hampir-hampir tak memiliki pengalaman batin yang dalam. Hampir-hampir tak pernah merasakan konflik dan kehidupan yang tragik yang mengantarkan mereka kepada petualangan jiwa yang dalam. Ini dimungkinkan oleh sistem sosialnya, kebiasaan-kebiasaan mereka dan cara menyelesaikan persoalan-persoalan hidupnya sehari-hari. Kebiasaan menyepelekan hidup ini dan kebutuhannya kepada harmoni, mempengaruhi pemakaian bahasanya. Pertengkaran misalnya berlangsung atas dasar-dasar yang sederhana, bukan atas dasar yang cukup prinsipiel ataupun fundamentil, seperti halnya mengenai hak individuil. Perceraian juga sering tidak bersangkutan dengan persoalan yang besar. Kita lihat misalnya dramanya Putu Wijaya "ANU" merefleksikan ketegangan-ketegangan akibat intrik-intrik yang sederhana.
Ide-ide besar apakah yang dapat diangkat oleh seorang novelis dan dramawan ke dalam karya-karyanya dari lingkungan pemakai bahasa yang demikian miskin dengan tragedi dan pengalaman batin? Novel-novel memerlukan pelaku seperti halnya drama. Pelaku-pelaku itu adalah manusia-manusia di sekitarnya, hubungan antara mereka dan ketegangan-ketegangan yang ditimbulkan oleh ketegangan itu. Meskipun pada akhirnya novel-novel tergantung pada kemampuan pengarangnya, namun keterikatan dengan manusia-manusia sekitarnya tak bisa dilepaskan. Novel bukan mengenai dunia seseorang, tapi mengenai dunia banyak orang. Di Indonesia, dengan manusia-manusia yang simple dalam memecahkan kehidupan itulah, novelist-novelist harus berangkat memulai novelnya.
Lingkungan sosial yang miskin akan pengalaman kemanusiaan yang dalam, yang hampir-hampir tak pernah merasakan kegarangan hidup dan mengalaminya sambil berusaha memecahkan, yang tidak pernah mengalami alienasi sebagai individu, tidaklah akan melahirkan Dostojesvki, Leo Tolstoy, Albert Camus, Goethe, maupun Becket. Kesusastraan tidak bisa hidup tanpa problem. Besar kecilnya problem yang disediakan masyarakatnya menentukan kesusastraannya.
Sastra tidak begitu saja lahir dari kekosongan. Dari jiwa yang terasing dan tak mengalami kehidupan yang luas. Sastra adalah hasil daripada pengalaman hidup sosial dan individuil si pengarang. Dan pengalaman pengarang-pengarang Indonesia, selain dengan ide-idenya yang terasing dari ide masyarakatnya, juga pengalaman dengan dan mengenai masyarakatnya.
Memang. Ada novel-novel dan drama-drama yang berhasil disitu. Tapi bagaimanakah bisa berhasil? Karena melalui proses abstraksi, imaginasi dan intelektualisasi oleh pengarangnya terhadap modelnya. Disitu realitas yang nampak daripada masyarakatnya tidak tercermin secara nyata. Hubungan antara pelakunya dijalin begitu saja sesuai dengan gambaran yang terdapat dalam angan-angan si pengarang, dan sedikit sekali kemungkinannya untuk dicari dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terbukti juga dari dialognya.
Novel Iwan Simatupang berhasil sebab ini, semua novelnya adalah novel batin dan novel sosial. Keadaan serupa memungkinkan Arifien lari kepada semacam surrealisme. Ini bukan disebabkan oleh ketidakmampuan si pengarang. Tapi kekesalan terhadap lingkungan sosialnya yang tidak menyediakan bahan-bahan yang cukup bagi ide kesusastraan mereka.
Ini boleh dinamakan sebagai jalan pintas. Tapi realisme tidak akan pernah tumbuh dalam masyarakat yang menyembunyikan realisme batinnya. Kesusastraan kuno kita juga mengambil jalan pintas ini dan menciptakan dongeng-dongeng. Sebab hanya dengan cara begitu mereka dapat menghasilkan kesusastraan yang cukup tinggi nilainya.
Mengapa kita tidak bisa menulis novel tentang masyarakat petani atau nelayan? Bukan saja karena kita tidak pernah mengalami hidup seperti mereka, kebanyakan pengarang Indonesia toh datang dari masyarakat yang berkebudayaan petani. Soalnya di sana hampir-hampir tak ada tragedi. Settingnya tidak memungkinkan dan model bagi pelaku-pelakunya amat susah.
Seperti saya katakan di atas, saya tak meragukan kemampuan pengarang-pengarang Indonesia. Toh dalam kesulitan semacam itu mereka terus membuat novel, drama dan cerita-cerita pendek. Saya hanya meragukan kekayaan pengalaman dan konflik batin pengarangnya, apakah terikat dan mempunyai hubungan dengan kekayaan pengalaman batin dan konflik batin masyarakatnya.
Dunia puisinya berlainan. Meskipun tradisi puisi di Indonesia relatif lebih muda dari tradisi prosanya. Puisi beruntung karena pada dasarnya ia merupakan expressi diri. Dunianya memang personal. Ia tidak begitu terkat dengan beban masalah sosial seperti novel. Sekalipun keterikatan itu ada, dalam puisi, keterikata itu memiliki bentuk dan artinya yang lain.
Puisi tidak membutuhkan pelaku-pelaku. Kalau pun ada hubungannya dengan masalah sosial dan penyair sering mengambi subjek-matter dari dunia luar, maka puisi adalah obyektivikasi dunia penyair sendiri dan subyektivikasi dunia di luarnya,
*Dari kliping koran tahun 1974, pemberian Pakde Bagio
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.