Mbak Esti datang dari Jakarta. Ia mewakili keluarga Moch. Sroedji di acara verifikasi Tim Peneliti Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) terkait pengusulan Letkol Moch. Sroedji sebagai pahlawan nasional. Di kegiatan tersebut, posisi saya seharusnya hanya menemani Mbak Esti, tidak ada hubungannya dengan TP2GP, Dinsos Jember, Dinsos Propinsi, dan Kemensos RI.
Karena sudah mengenal Mbak Esti, saya bilang padanya kalau jalur Karang Kedawung menuju Sumberjambe maupun Sukowono akan melewati desa Jatian, Pakusari. Alangkah baiknya bila Mbak Esti menyediakan waktu untuk menengok Pak Moelijan alias Pak Sus, mantan pejuang yang kini sedang sakit. Mbak Esti setuju. Ia antusias. "Coba aku komunikasikan juga dengan rombongan yang lain ya." Begitu kata Mbak Esti. Syukurlah, rupanya rombongan lain yang juga terdiri atas perwakilan DHC 45 Jember, mereka bersedia singgah di kediaman Pak Moelijan. Hanya sekedar menengok --bukan bagian dari verifikasi lapang.
Di hari tersebut, saya dan Hana tidak ikut di acara pertama, berkunjung ke petilasan Karang Kedawung. Acara dimulai lebih molor, dari jadwal yang direncanakan. Ia juga berakhir molor, karena rupanya di sana juga ada perangkat desa dan kecamatan, pemuda desa setempat --teman-temannya Windu-- dan rombongan Pemuda Panca Marga Jember. Saya dan Hana yang lama menunggu di Kalisat, akhirnya berinisiatif untuk berangkat terlebih dahulu ke rumah Pak Moelijan di Jatian. Untuk kunjungan ke Pak Samsoedin, kami meminta bantuan Edi dan Cak Har. Edi adalah putra bungsu Pak Samsoedin dari istrinya yang terakhir --istri nomor tujuh. Sedangkan untuk kunjungan ke rumah Pak Mawi, sudah diurus oleh Pak Erfan dan Mas Rendra. Kami selalu berkomunikasi dan tinggal menanti kesiapan rombongan.
Saat kami telah ada di desa Jatian, Edi dan Cak Har menyusul. Mereka datang dari arah rumahnya, desa Sumberjeruk kecamatan Kalisat. Lumayan lama kami menanti rombongan tiba di desa Jatian.
Di siang hari yang panas tersebut, tiba-tiba ada yang menelepon Hana. Mula-mula Mbak Esti yang menelepon melalui ponselnya. Lalu Mbak Esti menyerahkan (ponselnya) pada Ibu Evri dari DHC 45 Jember. Entah karena kelelahan atau karena cuaca yang terik, Ibu Evri menggunakan pilihan kata yang terbilang kasar, seolah-olah kami ini anak buahnya di DHC 45 Jember.
"Habis ini kita langsung ke Pak Marwi saja, yang rumahnya dekat gladak Ajung. Tapi saya tidak tahu rumahnya."
Hana tidak tahu siapa yang dimaksud, karena nama yang disebut oleh Bu Evri bukan merupakan tujuan kami. Salah satu tujuan kami seharusnya bernama Mawi, bukan Marwi. Ketika Hana mencoba menjelaskan duduk perkara soal nama yang berbeda itu, belum selesai sudah dipotong oleh Ibu Evri.
"Tidak usah ke Jatian! Langsung ke Pak Marwi saja. Minta tolong dipersiapkan semua dan dikondisikan. Soalnya yang datang ini dari Provinsi. Beneran lho, harus dikondisikan dan disiapkan, biar nggak malu-maluin."
Sampai pada kalimat 'biar nggak malu-maluin,' Hana sudah tak tahan mendengarnya. Ia tak jelas lagi dengan apa yang dikatakan oleh Ibu Evri selanjutnya. Lalu Hana menutup telepon yang tak menyenangkan hati itu. Beberapa detik kemudian, Hana menghubungi Windu --dari Yayasan/Universitas Moch. Sroedji-- melalui whatshapp.
Zuhana AZ: Mas, Bu Evri ojok karepe dewe nek nggawe janji. Mesakne mbah moelijan iki sing ngenteni. Wonge wes sepuh lagi gerah. Mesakne. Njenguk sediluk ae.
Zuhana AZ: Tak pikir wingi golongane dinsos karo Bu Evri gak melu.
Windu hanya menjawab singkat, "Otewe."
Benar juga. Rupanya rombongan meluncur dari Karang Kedawung menuju desa Jatian. Mereka jadi menjenguk Bapak Moelijan alias Pak Sus yang sudah hampir satu tahun ini ada di kondisi kesehatan yang buruk. Kini mantan pejuang tersebut sudah tak lagi bisa berjalan normal --berdiri-- melainkan ngesot.
Moelijan. Dulu ia seorang pejuang. Mulanya lelaki kelahiran 1920an ini hanya seorang petani biasa. Tapi semua menjadi berbeda ketika dirinya ikut pendidikan TKR 1946 di Prajekan, Bondowoso, di bawah pimpinan Letnan Beno. Tugas pertamanya adalah ketika ia dikirim di front Surabaya, tepatnya di desa Prasung Tani. Ia di sini selama tiga bulan. Setelah itu ada perintah GAIS atau pulang ke tempat masing-masing. Singkat cerita, pada pertengahan 1947, ketika pasukan Belanda telah memasuki wilayah Jember, ia bergabung pada COG 3 Resimen 39. Front meliputi desa Jatian, Pring Tali, Mumbulsari, dan Garahan. Ketika terjadi Hijrah TNI pada pemula 1948, Moelijan tak turut serta.
Rombongan yang tiba tersebut berjumlah delapan orang. Dari Dinsos Jatim ada Ibu Aries Soraya dan dua rekannya. Dari Dinsos Jember ada Bapak Didik. Ada Mbak Esti dan tentu saja Windu. Lalu Ibu Evri dari DHC 45 Jember, serta Bapak Bambang dari Pemuda Panca Marga Jember. Yang saya sebut terakhir ini, saya tidak mengenalnya. Dengan Ibu Evri pun, baru di rangkaian acara ini saya jumpa dengannya.
Sejak Pak Moelijan sakit, kamarnya dipindah di belakang sendiri, di antara dapur dan sumur. Kamar sekecil dan sepengap itu tentu tak cukup untuk memuat delapan orang ditambah saya, Hana, Edi, dan Cak Har. Maka saya memilih untuk berada di luar bersama Windu dan Cak Har. Adapun suasana di dalam kamar Pak Moelijan bukan lagi tentang menjenguk orang sakit, tapi lebih ke semacam interogasi. Hanya ada dua orang yang antusias melakukannya, Ibu Evri dan Pak Bambang. Mereka menanyakan masa hijrah, dijawab oleh pak Moelijan. Padahal saya tahu ia tak turut hijrah ke Karesidenan Kediri. Ia hanya sedang menceritakan pengalaman teman-temannya, dan suka karena ada yang bertanya.
Edi ada di dalam ruangan karena dimintai tolong untuk mendokumentasikan itu --dengan ponsel milik Edi sendiri. Hana juga ada di dalam ruangan, agak ke tepi di dekat sumur. Ia berdua dengan Ibu Sus, satu-satunya putri dari Pak Moelijan. Hana ada di sana karena khawatir sewaktu-waktu Mbak Esti butuh sesuatu.
Kisah 'menjenguk Pak Moelijan' adalah kisah yang panjang. Itulah kenapa esok malamnya kami berdua merasa perlu untuk sowan kembali ke rumahnya di Jatian. Minta maaf.
Ada lima poin alasan saya minta maaf:
1. Cara Ibu Evri dan Pemuda Panca Marga (Bambang S.) bertanya
2. Ketika melihat (sisa) dokumen milik Pak Moelijan, Bu Evri dan Pak Bambang berebut. Mungkin karena terlalu semangat. Menurut putri Pak Moelijan, sebagian dari kertas-kertas itu mereka bawa pulang
3. Bu Evri menjanjikan akan menguruskan semacam 'uang veteran' kepada Pak Moelijan
4. Bila hanya menjenguk, itu adalah durasi yang sangat lama. Di sisi lain, Pak Moelijan sedang sakit
5. Pernyataan dari Bu Evri yang membuat anak cucu keberatan, "Kalau Bapak mati, segera hubungi saya. Catat nomor saya."
Itu semua terjadi di luar sepengetahuan saya, karena posisi saya waktu itu ada di luar ruangan.
Kesan lain didapat oleh Hana dari Pak Bambang --Pemuda Panca Marga Jember-- saat kami hendak meninggalkan rumah Pak Moelijan.
Ketika rombongan mau pulang dari rumah Pak Moelijan, Pak Bambang dari Pancamarga bertanya pada saya setelah menyalami semua orang. Dengan gaya bicara yang sedikit meremehkan, atau memang gaya bicaranya seperti itu, dia bilang, "Anda ini siapa dan dari mana, ikut siapa kok dari tadi ada di sini?," Saya jawab, bukan siapa-siapa.
Meski demikian, pada hari itu, saya dan Hana menjamu keduanya sebaik yang kami bisa. Mungkin mereka berdua hanya sedang lelah. Karena bagaimanapun, tugas kami adalah menemani Mbak Esti dan menjaga martabat perwakilan keluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.