Suasana Gedung Soetardjo Universitas Jember tampak berbeda. Di sana sini ada terlihat rak buku berderet, ada pula yang bentuknya hanya meja dengan tumpukan buku di atasnya. Suasana memang disetting sedemikian rupa, agar nampak adanya bursa buku. Sangat beraroma literasi. Sementara di sisi yang lain, barisan kursi lipat tertata rapi. Tepat di depan kursi-kursi yang banyak itu, ada sebuah kursi empuk memanjang berwarna coklat. Di sanalah saya duduk, berdua dengan Sahad Bayu sebagai moderator sekaligus salah satu penggagas acara dari pihak Akademi Berbagi untuk wilayah Jember.
"Apakah ketika menulis di blog, Anda menerapkan sembilan elemen jurnalisme?"
Saya tidak segera menjawab pertanyaan dari moderator, melainkan hanya mengernyitkan alis sembari tersenyum. "Wah, Mas Sahad Bayu lebih siap dari pembicara nih, sampai mengerti tentang sembilan elemen jurnalisme." Kata-kata saya disambut dengan suara tawa dari peserta Talk Show Citizen Journalizm.
Ya saya mengerti, yang ditanyakan oleh moderator adalah tentang karya Bill Kovach bersama Tom Rosenstiel. Sembilan elemen jurnalisme. Saat itu, saya memberi jawaban yang berbeda.
"Dalam menulis, yang kita butuhkan mula-mula hanya satu yaitu jujur. Bagaimana bisa menulis dengan jujur? Syaratnya hanya satu; jujur adalah tidak berbohong. Kemudian Anda hanya tinggal menambahkannya dengan satu kata lagi, berani. Sangat penting bagi seorang Citizen Journalizm untuk meramu kata jujur dan berani agar tulisan benar-benar bisa menyampaikan pesan yang apa adanya."
Sebenarnya, berani adalah tema yang lain, berbeda dengan teknis menulis. Kita harus bisa memberi tafsir yang luas kepada kata berani. Berani mempertanggungjawabkan hasil tulisan juga bagian dari tafsir yang luas. Orang yang berani menulis seperti itu, sudah pasti dia mengerti mengenai seluk beluk yang dia tuliskan. Setidaknya ada riset kecil, bukan dari katanya ke katanya, bukan pula ahli kutip alias selalu mengekor pandangan dari penulis lain. Bolehlah terinfluence, tapi hanya pada tahap-tahap tertentu saja yang dianggap sangat penting untuk mendukung tulisan kita. Jika kita tidak berani, bagaimana bisa menyampaikan kebenaran?
Tentang malam Talk Show tersebut, pernah ditulis oleh Sahad Bayu di blog personalnya, berjudul; Sekali Lagi, Tentang Menulis.
Kini, ketika saya semakin akrab dengan sembilan elemen jurnalisme, saya tahu bahwa jawaban saya untuk pertanyaan Sahad Bayu tidaklah keliru, meski dengan pilihan kata yang teramat sangat simpel dan tidak kaya. Syukurlah jika benar begitu.
Anda yang ingin mengerti sepintas tentang sembilan elemen jurnalisme, bisa mengintip tulisan Andreas Harsono dengan judul yang sama, Sembilan Elemen Jurnalisme.
Yang saya sukai dari seorang Andreas Harsono ketika harus memberikan gambaran mengenai pentingnya sembilan elemen jurnalisme adalah manakala dia mengulang kembali gambaran yang diberikan oleh Kovach dan Rosenstiel, tentang pemain gitar dan perempuan telanjang.
Dalam penggambaran tersebut, suratkabar sensasional diibaratkan seseorang yang ingin menarik perhatian pembaca dengan pergi ke tempat umum lalu melepas pakaian, telanjang. Orang pasti suka dan melihatnya. Pertanyaannya adalah bagaimana orang telanjang itu menjaga kesetiaan pemirsanya?
Ini berbeda dengan pemain gitar. Dia datang ke tempat umum, memainkan gitar, dan ada sedikit orang yang memperhatikan. Tapi seiring dengan kualitas permainan gitarnya, makin hari makin banyak orang yang datang untuk mendengarkan. Pemain gitar ini adalah contoh suratkabar yang proporsional.
Apakah gaya tulisan saya berubah?
Sepulang dari mengikuti Kelas Jurnalisme Sastrawi yang diadakan oleh Yayasan Pantau, banyak orang di sekitar saya yang bertanya-tanya, apakah gaya tulisan saya akan berubah? Tentu ada sentuhan yang lain setelah mengikuti kelas narasi. Namun rasanya, gaya tulisan saya masih sama seperti sedia kala. Setidaknya, untuk gaya menulis di blog, itu memang saya pertahankan. Memang, saat ini saya lebih mengerti tentang bagaimana menulis narasi yang efektif namun tetap memikat, bahkan meskipun tulisan kita teramat panjang. Wacana tentang struktur tulisan juga bertambah, saya mendapatkan pengetahuan itu dari Janet Steele, seorang profesor jurnalisme asal George Washington University.
"Struktur itu penting!" kata Janet.
Seperti itulah, sampai hari ini, gaya tulisan saya tidak banyak berubah. Cara pandang saya terhadap dunia tulis menulislah yang bertambah. Ya, saya mendapatkan banyak pengetahuan seputar menulis narasi dari dua orang pengampu, Janet Steele dan Andreas Harsono. Tapi gaya menulis adalah tentang jam terbang, tentang waktu, dan tentang kebutuhan. Andreas dan Janet, mereka juga memiliki proses yang tidak sebentar. Lagi pula, kita tidak bisa memaksakan tulisan pendek menjadi sangat panjang sekali, hanya karena ingin menjadikan tulisan tersebut dianggap bergaya literary journalism.
Menulis efektif ibarat menggoyang pohon, menggugurkan daun-daun dan ranting kering, hingga hanya tersisa dedaunan dan ranting yang kuat saja. Andreas pernah mengatakan itu di penghujung pertemuan kelas menulis.
Saya masih butuh kembali belajar, butuh kembali menggoyang pohon. Terima kasih Pantau, sudah memberi satu kesempatan yang indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.