Di blog acacicu, saya menulis nostalgia tentang uang logam 100 rupiah tahun 1978, untuk kemudian saya sambungkan dengan pesan yang disampaikan oleh kalimat yang tertera di koin tersebut. Hutan untuk kesejahteraan. Ternyata banyak kawan yang lebih suka melihat koin tersebut dari sisi kenangan yang menyertainya. Itulah kenapa, saya rasa, butuh menuliskannya kembali di blog sunyi ini.
Koinnya memang berangka tahun 1978, tapi segala hal yang saya ceritakan berkisar antara akhir tahun 1980an hingga 1990an, sebab tahun 1978 saya masih belum dilahirkan.
Cerita saya mulai dari warung Pak Misdi, tempat dimana dulu saya dan teman-teman biasa membeli bakso di jam istirahat. Semangkuknya seharga 50 rupiah. Di jaman itu, anak SD Patrang 1 yang paling doyan sambal adalah Nanang Risdiansah. Kadang kalau beruntung, saya bisa makan bakso sambil mendengar lagu Isabella dari radio milik keluarga Misdi. Ketika itu, rasanya tak ada dari kami yang tak suka menyanyikan Isabella.
"Dia Isabella lambang cinta yang lara.."
Dengan uang satos repes saya sudah bisa naik Lin, PP dari Patrang ke Pasar Johar. Waktu itu, Lin kuning di Jember pintu keluar masuk penumpangnya masih di belakang, bukan di samping. Kalau tidak mood naik Lin, pilihan berikutnya adalah Bus DAMRI. Tentu, kursi pojok belakang dekat pintu adalah favorit saya.
Ketika saya lulus SD, Pasar Johar berubah menjadi plasa. Diundangkan Ita Purnamasari untuk launching Johar Plasa Jember. Saya nonton sambil membeli sate usus dengan koin kesayangan.
Koin satos repes identik dengan permainan game bernama dingdong, mainnya di Studio A, JL. Gatot Subroto Jember. Tapi hati-hati, banyak sepeda onthel ilang di Studio A. Kini Studio A hanyalah tinggal cerita, nasibnya sama seperti Lin kuning yang pintu penumpangnya ada di belakang.
Memang, waktu itu belum ada teknologi sms dan media sosial di ruang maya, namun kotak telepon umum bertebaran. Cukup dengan koin seratus rupiah, Anda bisa berkirim salam dan request lagu di radio.
Nanang Risdiansah, ia melanjutkan rekor 'makan bakso plus sambal super' hingga kami sekolah di SMP 7 Jember. Saat itu, dibanding bakso Pak To, saya lebih suka makan pecel di Lek Pardi. Seusai makan di jam istirahat, kami berkumpul di kolam ikan belakang warung. Di sini kami pernah rame-rame belajar menghisap rokok merk surya 12, sebatang untuk banyak orang. Saya batuk-batuk, Syarif tertawa, padahal ia juga batuk. Harga eceran rokok waktu itu tak kurang dari 100 rupiah.
Meskipun sudah SMP, banyak dari kami yang masih suka permen karet yosan, aneka chiki seperti taro, mamie dan krip-krip, bermain mobil remote control, dan tamiya. Saya lebih suka jalan-jalan, melihat toko-toko di jalan raya, sesekali mampir di toko kaset hanya untuk melihat cover album para rocker.
Di Jember sudah musim sepatu yang ada lampunya. Ketika melayang, lampu akan hidup. Sahabat saya namanya Bahtiar Adi Candra, ia membuat sendiri model itu, tapi dari sandal merk hawaianas, kelak menjadi saingannya neckerman dalam bisnis alas kaki. Sandal ciptaan Adi juga ada lampunya, model on-off. Jika di posisi melayang lampunya mati, ketika mendapat beban, lampunya hidup. Hebat, Adi masih bocah sekali waktu itu, tapi sudah kreatif dan berani menolak selera pasar.
Saya tidak pernah punya tamiya, mobil remote, nitendo, dan sepatu berlampu. Selain tidak tertarik, butuh berkeping-keping koin seratus rupiah untuk membelinya.
Lalu kami menamatkan sekolah. Banyak lulusan SMP 7 Jember yang hijrah ke SMA Arjasa, saya juga. Selamat tinggal pecel Lek Pardi, selamat tinggal kosakata; Bopong, Ghost Banong, Padang, Sosmodor, Uncat, dan sederet lagi. Kata-kata itu pernah sangat akrab sekali di telinga saya, mengingatkan pada warung barokah di Gebang Poreng.
Tentu, kami masih melestarikan kata-kata njemberan seperti; sih koh, jek iku mara, siah maktakker, ya-megaya, dim-mekodim, dan masih banyak lagi.
Menjelang akhir 1997, ada krismon. Mereka memplesetkan krismon dengan 'Krisdayanti Montok.' Harga-harga melambung tinggi. Banyak perusahaan gulung tikar. Surya 12 menaikkan harga ecerannya perbatang 100 rupiah. Harga krupuk juga naik, satos oleh papat. Setahun berikutnya, proses kelulusan kami di SMA diwarnai dengan kisah sejarah negeri ini, Pak Harto lengser.
Sore kemarin, 15 Februari 2014, ketika Chodod mampir ke rumah dan mengantarkan undangan dari Hendrik Sahari, saya jadi teringat kawan-kawan segenerasi. Kami pernah sangat akrab sekali dengan koin seratus rupiah yang di belakangnya ada gambar gunungan wayang, juga kalimat sakti, "Hutan Untuk Kesejahteraan." Kalimat yang pernah merakyat. Ia benar-benar ada di tangan rakyat, berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain.
Teringat pula ucapan Profesor Rato.
"Nenek moyang kita tinggalnya di hutan. Gagasan kerajaan --kota raja-- itu baru ada pada abad empat. Belanda tidak memiliki hutan. Tanahnya ada di bawah permukaan laut. Belanda tidak mampu membuat Undang-undang Kehutanan. Mereka mengadopsi UU Kehutanan dari Jerman, sementara karakter hutan di Jerman dan di Indonesia tidak sama.Hutan di Indonesia bisa ditinggali, sementara hutan di Jerman tidak bisa. Banyak faktor yang mempengaruhi, mulai dari musim hingga predator. Begitu Undang-undang tersebut diterapkan di Hindia Belanda, maka kacau. UU tersebut menyebabkan banyak kaum adat terusir dari tempat tinggalnya."
Kembali saya menatap koin kenangan. Ia ibarat penggalan lirik lagu Isabella, lambang cinta yang lara.
Koin ini juga mengingatkan saya pada nostalgia sepak bola 140 cm di Jember wilayah kota. Kalau mau masuk ke dalam lapangan yang semua sisinya dikelilingi oleh pagar bambu atau pager sesek itu, HTM-nya seratus rupiah saja. Saya pernah menuliskan kisah itu di kompasiana, silahkan baca di sini jika tertarik.
Duh, mak lanjeng. Bopong iki!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.