Dokumentasi Pribadi, 25 Juni 2014
Hari ini saya sowan ke kediaman Kakek Surani di sebuah desa di Jember, tepatnya di Lereng Selatan Gunung Argopuro. Beliau memiliki nama asli Astar. Surani adalah nama anak pertamanya yang kini telah meninggal dunia.
Saya tidak datang sendirian, melainkan bersama istri, Faisal, dan seorang kawan dari Jakarta. Ia bernama Enzo. Kami diantar oleh Dodon.
Ketika kami tiba di pelataran rumah Kakek Surani, hari sudah gelap. Adzan Isya' siap berkumandang.
Di kediaman Kakek Surani ramai sekali. Rupanya sedang ada acara ritual Dudusen, sebuah proses penutup bagi para santri pencak silat yang dinyatakan selesai. Setelah mengikuti ritual Dudusen atau dimandikan, mereka bertanggung jawab untuk mengembangkan sendiri apa yang telah mereka bisa. Tentu saja mereka juga punya tanggung jawab moral untuk menjadi manusia yang berguna.
Sudah puluhan tahun Kakek Surani melahirkan para pendekar, kini tanggung jawab itu ia serahkan pada salah satu putranya. Di mata saya, Kakek Surani adalah pendekar yang sebenar-benarnya.
Oleh salah satu pemuda, saya diantarkan ke ruang belakang, langsung menemui Kakek Surani. Ia tampak berwibawa dengan songkok hitam, baju koko, sarung, dan kerutan-kerutan keriput di wajahnya. Ketika kami bersalaman, telapak tangannya tampak kasar namun masih sigap. Ya, saya bisa merasakannya.
Suasana yang hangat. Tidak susah bagi saya untuk memperkenalkan diri pada Kakek Surani.
Kakek Surani banyak bercerita tentang wajah Indonesia di masa Ratu Belanda masih dipegang oleh Wilhelmina. Ia juga masih mengingat masa Ratu Juliana. Lalu cerita mengalir hingga memasuki pendudukan Dai Nippon. Saya sungguh takjub ketika Kakek Surani menyanyikan empat lagu-lagu propaganda di masa Jepang.
Ia tidak bisa baca tulis, namun kemampuannya dalam menyebutkan banyak istilah Belanda membuat saya salut.
Ketika Belanda datang lagi ke Indonesia --kita menyebutnya Agresi Militer, Kakek Surani kembali bersiap untuk berjuang. Ia adalah salah satu orang kepercayaan Pak Sjafiudin dalam hal perampasan senjata.
"Kita kekurangan perkakas perang. Dari atas kita diserbu oleh 'motor ngabber' sedangkan dari bawah kita dihabisi oleh motor tank. Saya sampai loncat ke Sungai Bedadung, tidak peduli apakah nanti terhanyut atau tidak."
Itu yang dikatakan Kakek Surani kepada saya, dalam Bahasa Madura yang fasih.
Pernah pada suatu hari kepalanya tertembak, beruntung ia mengenakan helm baja. Meski begitu, kata Kakek Surani, itu membuatnya merasa sangat pusing.
Kepada Kakek Surani saya bertanya, apakah ia pernah berjumpa dengan Komandan Sroedji? Ia menggeleng. Kakek Surani bilang, ia hanya dekat dengan Pak Sjafiudin. Sedangkan Pak Sroedji, ia hanya mendengar namanya saja.
Saya tanyakan juga kepadanya, apakah ketika di masa perang ia pernah melakukan sabotase aksesbilitas rel kereta api? Lagi, Kakek Surani menggeleng. Ia spesialis 'mencuri' perkakas perang terutama peluru. Ia mencurinya di gudang persenjataan Militer Belanda. Pernah juga oleh Pak Sjafiudin, ia diminta mengambil peluru pihak lawan di daerah Bondowoso.
"Mon masalah taktik perang apa ca'en Pak Sjafiudin."
Lalu saya bertanya, apa yang Kakek Surani ingat tentang sosok Pak Sjafiudin? Dia tersenyum, kemudian melayangkan jempol tangan kanannya ke udara.
"De'iyeh Cong."
Hanya ada satu gambaran untuk sosok Sjafiudin. Jempol.
Ada banyak hal yang bisa saya catat dari Kakek Surani. Ibaratnya, saya sedang menemukan harta karun yang tak ternilai banyaknya. Lebih membahagiakan lagi, ketika saya meminta izin untuk mendokumentasikan beliau, Kakek Surani tidak keberatan.
"Saya minta sambung doanya Kek. Begini, saya senang sekali mengumpulkan data-data sejarah tentang apa yang terjadi di masa lalu. Doakan semoga apa yang saya lakukan ini benar dan ada manfaatnya."
Kakek Surani tersenyum. Saya sungguh bahagia ketika ia mendoakan saya. Bukan hanya saya dan rekan-rekan yang didoakan, Keluarga Sroedji dan anak turun Sjafiudin juga tak luput dari doanya. Kata Kakek Surani, dia tidak pernah bosan untuk mengirim fatehah untuk Keluarga Sjafiudin, namun sepertinya ini doa perdana untuk anak turun Sroedji.
Terima kasih Kakek Surani. Kiranya draft tulisan saya akan bertambah berlembar-lembar.
Aku pamit membaca
BalasHapusSilahkan Kakak, terima kasih ya sudah mampir.
Hapusmembaca ini, saya juga seperti menemukan harta karun
BalasHapus