Dokumentasi oleh Faisal Korep - 13 Desember 2013
Melihat gurat keriput di wajahnya, wajar jika orang-orang memanggilnya Mbah atau Eyang. Kampung kelahirannya ada di Jember wilayah Selatan, namun ia menghabiskan masa tuanya di Jember wilayah Utara. Dialah Wakidi, lelaki kelahiran 17 Agustus 1930.
Dulu ketika masih bocah, saya sering melihatnya istirahat di bawah jembatan Semanggi, sembari memetik senar siternya. Saya sempat salah mengira, saya kira alat musik yang ia mainkan adalah kecapi, ternyata siter. Saat besar, saya sering menjumpai lelaki sepuh ini di kampung-kampung di wilayah Kota Jember, tetap dengan menenteng siter kesayangannya.
Pada 13 Desember tahun lalu, siter milik Wakidi rusak. Ia tampak sedih. Ketika saya singgah di rumahnya, Wakidi sedang membetulkan siternya.
"Triplek bagian depan sudah peyok Nak," ujarnya.
Keren, ia membetulkan sendiri alat musik siter miliknya. Mula-mula membuat garis di triplek tebal yang ia beli. Garisnya tidak presisi, mungkin karena tangannya gemetar saat membuatnya.
Di waktu yang lain, ketika saya kembali singgah, Sumina --istri Wakidi-- membelikan senar gitar untuk suaminya. Senar itu nantinya akan digunakan untuk senar siter.
Seperti biasa, saat ada waktu santai, ia senang berbagi kisah hidupnya kepada saya. Kadang ia mengulang-ulang kisah yang pernah dituturkan, namun saya tak pernah merasa bosan untuk mendengarkannya.
"Istri pertama saya sudah meninggal dunia. Ia kelahiran Kalisat, juga dimakamkan di Kalisat. Kami pasangan tanpa anak. Istri saya yang sekarang, namanya Sumina. Sejak menikah lagi dengan Sumina, saya tinggal di sini, di Desa Sumber Jeruk, Kalisat. Ini desa yang berbatasan langsung dengan Glagahwero."
Rumah kecil Wakidi dan Sumina
Wakidi dan Sumina, mereka sudah tujuh tahun membina bahtera rumah tangga dan tak memiliki buah hati. Namun Sumina perempuan yang baik. Ia tampak begitu perhatian pada suaminya. Dari perkawinan sebelumnya, Sumina memiliki tiga orang anak. Pernah suatu hari ketika saya berkunjung ke rumah mereka, salah satu anak Sumina datang. Melihat caranya bersalaman dengan Wakidi, tampak sekali jika anak Sumina menaruh hormat pada Wakidi, seperti pada Bapak kandungnya sendiri.
Sayang, tak ada satu pun diantara anak cucu Sumina yang menaruh minat untuk belajar memetik siter.
Biasanya saya mampir di hari Jumat. Sebab selain di hari Jumat, Wakidi sibuk memetik siter, menghibur para pengunjung Gudeg Lumintu Jember.
"Sejak muda saya suka bidang seni. Dulu waktu usia belasan tahun, saya bekerja di Malang sebagai kuli bangunan. Lalu di Surabaya, juga sebagai kuli bangunan. Di Malang, ketika ikut proyek bangunan, malam hari saya habiskan bersama teman-teman sesama kuli bangunan dengan kotek'an. Menciptakan nuansa musik dengan alat seadanya. Kebetulan salah satu dari kami ada yang pandai memainkan kendang. Darinya saya belajar memainkan kendang. Ketika di Surabaya saya berkenalan dengan komunitas ludruk. Di sinilah mula saya belajar siter. Namun sesungguhnya saat itu saya mempelajari banyak alat musik."
Siter adalah hidup seorang Wakidi. Maka saya sangat sedih sekali ketika mendengar kabar awal Juni yang lalu ia mengalami kecelakaan. Ada jahitan kecil di dahinya. Syukurlah, kini ia telah baik-baik saja.
Dua bulan yang lalu, ketika saya dan istri singgah di warung mereka, pasangan sepuh ini baru saja tiba dari sawah.
"Ada beberapa petak sawah yang habis panen padi. Kami kesana untuk 'ngasaq' alias memulung butir-butir padi yang tercecer."
Kepada Wakidi dan Sumina, saya dan istri berpamitan hendak mudik ke Tuban. Itu saya katakan sehari sebelum takbir Idul Fitri 1425 H bergema. Ia bilang, hati-hati di jalan. Wakidi tampak senang saat saya menyerahkan sebuah bungkusan berisi sarung. Saya bilang, "Ini ada titipan dari Irma Devita, salah seorang cucu Sroedji."
Wakidi dan Har
Adalah Har dan Nan, dua orang sahabat saya warga Desa Sumber Jeruk, merekalah yang sering menemani saya nongkrong berlama-lama di kediaman Wakidi dan Sumina. Saya sangat menikmati ketika berada di sini. Di samping kediaman mereka ada terdapat sebuah gumuk kecil. Saat sore menjelang, capung-capung beterbangan. Indah sekali.
Bicara tentang siter atau gitar Jawa, saya dan Har seringkali mencari pemuda sekitar yang bersedia mempelajari alat musik ini. Namun hingga kini kami belum menemukannya. Saya kira, semisal ada beberapa orang yang mau belajar siter dari Wakidi, ia tidak perlu mengamen berkeliling lagi. Pendapatannya akan kami carikan dari mereka yang mau kursus siter.
Kini, 17 Agustus 2014, tepat 84 tahun usia Wakidi.
Saya bertanya padanya, kapankah Hari Kemerdekaan paling berkesan yang pernah ia rasakan? Wakidi bilang, setiap hari adalah berkesan. Namun ia punya kenangan tersendiri dengan HUT RI ke-52. Saat itu ia berhasil menyabet juara II lomba ngamen dalam rangka HUT RI ke-52 Kabupaten Jember. Sehabis mengatakan itu, Wakidi beranjak ke dalam kamarnya. Dia kembali keluar sambil menenteng sebuah tropi, lalu ia serahkan pada saya.
Juara II Lomba Ngamen Dalam Rangka HUT RI ke-52
Pada 16 Juli yang lalu, saya menceritakan sosok Wakidi di sebuah update status Facebook. Kiranya, banyak warga Jember yang masih mengingat saat dimana ia memetik siter.
Kang Anik: Saya termasuk orang yang beruntung, pernah beberapa kali dengerin petikan siter beliau. Jadi kangen patrang.
Profesor Ayu Sutarto: Cerita ini sangat menyentuh. Pak Wakidi adalah seorang pecinta tradisi yang tulus.
Iman Suligi: Saya pernah nanggap. Dulu mangkalnya di depan kantin --kini Pujasera. Saya janjian, "Besok ikut saya Pak, ada Raker." Besoknya dia datang pakai surjan lalu saya bonceng ke lokasi raker. Saya sediakan kotak dia duduk lalu main disitu. Banyak tamu menaruh uang dan asyik mendengarkan. Pulangnya saya beri HR. He..he..he.. Jadi dapat penghasilan ganda. Setelah itu tak pernah tahu dimana sekarang, syukurlah kalau masih sehat. Salam saya Cak Hakim.
Hary Eko Priyono: Kalau tidak salah kita dulu --MSRJ-- dalam pembukaan pameran seni lukis Jember pernah mengundangnya kok pak troubadour sepuh ini.
Aunurrahman Wibisono: Bapakku nanggap Bapak iki pas aku sunatan mas. Maine keren. Hehehe. Bapakku yo sering banget nanggep bapak iki lek kebetulan lewat omahku. Aku baru eruh nek jenenge Pak Wakidi. Hehehe. Suwun mas.
Matias Dwi Tunggal: Dulu waktu Bapak belum Almarhum, Bapak ini sering maen dirumah karena Bapak seneng menikmati alunan siternya. Kami pernah maen ke rumah beliau juga. Meski Bapak Wakidi sudah sepuh tapi masih mempunyai semangat dan kerja keras. Terimakasih sudah mengingatkan saya kepada beliau.
Wakidi dan siter, ibarat ikan dan air. Wakidi punya cara sendiri untuk mencintai dan memperlakukan alat musik Nusantara yang satu ini. Hidupnya ia persembahkan untuk membahagiakan hati orang lain --lewat alunan nada-- sedari usia 20-an tahun hingga kini. Wakidi, ia adalah pribadi yang setia kepada proses.
Salam saya, RZ Hakim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.