Selasa, 16 Desember 2014

Faisal dan Kenangan Kampung Loloan

Selasa, 16 Desember 2014
KENANGAN adalah sesuatu yang tak pernah berakhir meski ia telah terhenti. Kiranya seperti itulah yang dirasakan Faisal ketika mobil yang dikemudikan oleh Bli Budi Arnaya membelah Kampung Loloan Timur, sebuah kampung muslim di Kabupaten Jembrana, Bali. Saat itu kami bertiga -Faisal, saya dan Mas Fikri- duduk di jok belakang. Kami sibuk mengamati suasana kampung dari dalam mobil berwarna silver.

"Nah, ini dia rumah panggung di Kampung Loloan."

Sembari mengemudi, Bli Budi mencoba menjelaskan kepada kami tentang beberapa rumah panggung yang tersisa. Di Loloan, baik Loloan Timur maupun Loloan Barat, anak tangga yang sering dipakai adalah 5 dan 7 trap, model Bugis. Ada juga yang memakai model Sumatra, anak tangganya berjumlah 9 trap.

Ketika itu saya kusyu' mengamati model rumah panggung di sana. Bli memelankan laju mobil, sebuah keuntungan bagi kami. Mbak Dey terlihat senang, sebab ia memiliki kesempatan untuk mengabadikan rumah panggung dalam jepretannya. Saya lihat sebuah rumah panggung di Loloan yang didominasi warna biru muda, ia masih menggunakan atap genteng khas Palembang.

Ada yang berubah dari ekspresi wajah Faisal saat mobil yang kami tumpangi melintasi sebuah pemakaman muslim. Saya tanya, ada apa? Dia bilang, "Aku ingat sekarang. Masa kecilku ada di sini."

Faisal memang pelan saat mengatakannya, sebab memang hanya ditujukan pada saya. Kontan saya terkejut. Lalu Faisal melanjutkan kisahnya.

"Abah adalah lelaki kelahiran Negara, ya dari kampung ini. Yang asli Pulau Talango --Madura-- itu Umi. Aku dilahirkan di Talango, namun saat masih merah mereka membawaku ke sini. Mereka baru membawaku pulang ke Pulau Talango saat aku harus masuk Sekolah Dasar."

Adalah Sayyid Husin Al-Gadri, lelaki asal Kampung Loloan yang menikahi perempuan asal Talango bernama Sarifa Fadlun Al-Gadri. Mereka dikaruniai empat orang buah hati, semuanya laki-laki. Putra pertama bernama Abu Bakar Al-Gadri, nomor dua bernama Umar Al-Gadri, yang ketiga diberi nama Usman Al-Gadri, sedangkan Faisal adalah putra bungsu mereka.

Saya bertemu dengan mereka pada tiga bulan yang lalu di Talango, ketika Ibunda Faisal --Sarifa Fadlun Al-Gadri-- meninggal dunia pada 21 September 2014. Dengan Almarhummah Umi Faisal, saya pernah berjumpa tiga tahun sebelumnya. Wajahnya sangat njawani, tak terkesan sama sekali jika ia memiliki Fam Al-Gadri.


Bersama Umi, 14 Juni 2011 di Talango

Jadi, Al-Gadri adalah nama sebuah Fam. Semua keturunan Al-Gadri dipercaya berasal dari leluhur Alawiyyin, hingga pada keturunan Al-Imam Husein yang bernasab kepada Muhammad SAW. Tentu saja saya mengetahui ini dari Faisal, sebab saya sendiri kering pengetahuan akan garis-garis keturunan seperti ini.

"Kalau di Negare, Fam yang paling mengakar dengan masyarakat adalah Bafaqih." Ujar Faisal. Ia menceritakan apa yang pernah dikisahkan oleh Sang Aba, lelaki yang biasa ia panggil Waled.

Selanjutnya.

Mobil yang dikemudikan oleh Bli Budi Arnaya masih merayap pelan, melintasi areal Masjid Baitul Qadim di Kelurahan Loloan Timur. Kelak, sepulang dari Jembrana, barulah saya mengerti bahwa Masjid yang berdiri di tepian sungai Ijo Gading tersebut adalah harta karun bagi mereka yang ingin menyingkap sejarah masa lampau Kampung Muslim di Pulau Dewata.

Bukan hanya tentang Masjid Baitul Qadim, di sini terdapat makam Habib Ali Bin Umar Bafaqih. Saya juga menemukan catatan dari Dhurorudin Mashad tentang Kampung Loloan.

Dikisahkan dalam catatan sejarah, pada abad 18 Masehi, datanglah iring-iringan perahu yang dipimpin oleh Syarif Abdullah bin Yahya Al-Qadry dari Pontianak. Ia tak lain adalah adik dari Syarif Abdurrahman Al-Qadry, seorang pendiri dan Sultan pertama Kerajaan Pontianak, era 1771—1808 Masehi. Dibawah kepemimpinan Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadry, kerajaan Pontianak berkembang sebagai kota pelabuhan dan perdagangan yang cukup disegani. Namun pada 1799, kerajaan Pontianak pernah tercatat takluk pada Belanda. Karena ketaklukan itulah, Syarif Abdullah Al-Qadry, adik Sultan Pontianak, ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa kerajaan Pontianak dapat ditaklukkan Belanda. Maka ia melanjutkan pertempuran melawan Belanda di lautan, serta berpetualang dengan membawa skuadron bersenjata meriam. Satu perahu menetap di Lombok Timur, sisanya sampai di Air Kuning, Jembrana. Lalu Syarif Abdullah Al-Qadri mengadakan kesepakatan dengan umat Islam di Jembrana. Ketika menyusuri Sungai Ijo Gading ke utara menuju Shah Bandar, Syarif Abdullah memberi aba-aba pada anak buahnya dengan bahasa kalimantan Liloan (tikungan), sehingga kampung di sekitarnya lantas diberi nama Loloan hingga sekarang.

Paragraf di atas saya sarikan dari catatan Dhurorudin Mashad. Ada satu kalimat berbunyi seperti ini, "Syarif Abdullah Al-Qadri mengadakan kesepakatan dengan umat Islam di Jembrana." Siapakah yang dimaksud? Tidak lain adalah komunitas muslim dari Bugis.

Menjelang akhir tahun 1653 Masehi terjadilah perang besar-besaran antara kerajaan Gowa dan VOC. Perang ini berlangsung hingga 1655. Di daerah Maluku, rakyat di sana membantu kerajaan Gowa sebab mereka tidak menyukai politik monopoli perdagangan rempah-rempah.

Perang selalu menciptakan situasi yang kacau. Oleh sebab itulah, antara tahun 1653-1655, ada kaum pelarian asal Bugis yang menggunakan jalur transportasi laut. Kaum pelarian ini hidup nomaden dan sempat beberapa kali pindah tempat, sebab selalu dikejar-kejar oleh pihak Belanda. Pada akhirnya ada yang bertahan hidup di sebuah tempat di Jembrana.

Pada tanggal 18 November 1667, ditandatanganilah sebuah perjanjian antara Kesultanan Gowa yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan pihak Hindia Belanda yang diwakili oleh Laksamana Cornelis Speelman. Kita mengenalnya dengan nama perjanjian Bungaya. Meskipun disebut perjanjian perdamaian, namun isi sebenarnya adalah deklarasi kekalahan Gowa dari VOC. Itu semua hanya tentang pengesahan monopoli dagang oleh VOC. Sebelum perjanjian tersebut ditandatangani, telah ada pelarian tahap kedua -menuju Jembrana- antara tahun 1660-1661.

Jadi, setelah perahu Bugis berhasil menepi di Pelabuhan Jembrana, kemudian perahu perang milik mereka diubah menjadi kapal perniagaan, lalu mereka menjalin persahabatan dengan masyarakat Jembrana di tahun pertama 1653-1655, dilanjut pada 1660-1661, hingga hari ini. Kapal-kapal perniagaan tersebut hingga kini masih mempertahankan coraknya, per satu kapal dihargai tinggi, diatas seratus juta rupiah.

Di abad berikutnya barulah datang iring-iringan perahu pimpinan Syarif Abdullah Al-Qodri. Dalam rombongan Syarif Abdullah Yahya al-Qadri itu terdapat seorang Melayu asal Terengganu bernama Ya’qub, yang kemudian menikah dengan penduduk Melayu tempatan. Ya’qub inilah yang disebut-sebut dalam Prasasti Melayu yang disimpan di Masjid Al-Qadim, Loloan.

Ah, tulisan ini kering sekali. Kiranya saya terlalu banyak mengutip. Maaf. Semoga ada waktu untuk melanjutkan kembali catatan ini.

Tiga hari di Jembrana, di penghujung bulan sebelas dan kembali pulang di awal Desember, tentu menyimpan lipatan-lipatan kisah. Tak membual jika saya jatuh hati pada Jembrana, pada orang-orangnya, serta pada sejarah yang menyertainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.

RZ Hakim © 2014