Kamis, 04 Desember 2014

Lemper dan Tentang Hari Jadi Jember

Kamis, 04 Desember 2014
Tadi siang, di sebuah diskusi yang mengusung gagasan tentang menelisik kembali sejarah Jember, Forum 99 Radar Jember selaku tuan rumah menyediakan sajian sederhana, diantaranya lemper.

Diskusi dilangsungkan di Bedadung Room Radar Jember, antara pukul 09.00-12.00. Saya datang terlambat dan duduk di satu-satunya kursi yang tersisa, tepat di belakang Profesor Ayu Sutarto. Itu adalah tempat yang strategis untuk memandang lemper.

Di ruangan berukuran kira-kira 8x4 meter persegi tersebut telah duduk para akademisi dari Fakultas Sastra; Ibu Dr. Retno Winarni, M.Hum, Pak Edi Burhan Arifin, Bapak Nurhadi Sasmita, Bu Ratna Endang Widijatie, Drs. Parwata, M.Hum, dan tentu saja Pak Ayu. Ada juga perwakilan dari Penyelenggara Daerah, diantaranya Bapak Edi B. Susilo. Tidak ketinggalan pemerhati sejarah Jember seperti Setyo Hadi, juga dari Komunitas Bhattara Saptaprabhu.

Teori-teori sejarah bertumpahan di satu ruangan, terbang kesana kemari. Mereka begitu antusias mengungkapkan argumentasi hingga melupakan lemper. Bahkan ada piring berisi lemper yang kiranya belum tersentuh sama sekali.

"Kita butuh mengkaji ulang Hari Jadi Jember, tak hanya terpenjara pada Staatsbland Nomor 322 warisan Belanda. Di Jember banyak tetenger baik berupa peninggalan seperti Prasasti Congapan, Candi Deres, Watu Gong, dan masih banyak lagi."

Lalu dilanjut oleh peserta diskusi yang lain.

"Kita juga bisa menarik tetenger dari Pemerintahan Administratif di masa lampau. Ini bukan tentang 'tuwek-tuwek'an' atau apalah. Tapi ini lebih pada bla bla bla..."

Sementara telinga saya mendengarkan ide-ide cerdas tentang penelusuran Hari Jadi Jember, imajinasi ini melayang pada kuliner Nusantara bernama lemper. Ia adalah perpaduan antara ketan, daging ayam (atau daging sapi), rempah-rempah, daun pisang, serta lidi sebagai pengunci kemasan. Pernah saya baca di Intisari, di masa-masa sulit, isi lemper digantikan oleh daging kelapa muda.

Dulu saya pernah bertanya pada Almarhumah Ibu, siapakah yang menciptakan lemper? Dari mana asalnya? Sejak kapan ia dikenal banyak orang? Ibu bilang, "Ibu tidak tahu. Tapi jika kamu sungguh ingin mengerti tentang itu, pelajarilah dulu bahan-bahannya, bagaimana ia diolah, hingga cara penyajian, rasa, dan bagaimana caramu merasakannya." Kira-kira seperti itulah kurang lebihnya yang Ibu katakan, dalam Bahasa Jawa.

"Ini lho Mas Hakim."

Hampir bersamaan dengan selesainya diskusi, Pak Ayu membuyarkan lamunan masa kecil saya. Ia menyodorkan piring kecil yang di atasnya memuat beberapa lemper.

Lemper oh lemper...

2 komentar:

  1. wah mas hakim ini sudut pandangnya kok di lemper ya? hehehe... jadi pengen lemper. o ya, di bekasi tempat saya tinggal ini, baru tahu kalau ada varian lemper. namanya lempay, singkatan dari lemper ayam. dan yang pasti bentuk nya lebih besar sehingga kalau makan satu saja lumayan kenyang. wah jadi ngelantur ngomongin lemper.

    kalau saya boleh menebak, sepertinya mas hakim 'bosen' ya dengan argumentasi yg itu2 saja? atau 'bosen' dg pihak yg menekan agar segera ditinjau soal hari jadi itu? atau juga 'bosen' dengan pihak yg tetep ingin bertahan dengan hari jadi yg sekarang? dan karena itu membuat materi diskusi atau seminar atau apalah itu jadi kalah menarik dengan lemper nya? heheheh...

    dan mohon dimaafkan tebakan2 saya itu. tebakan dari seorang yg keracunan lemper.. hehehe...

    BalasHapus
  2. Lempay? menarik Mas :)

    Bukan, saya tidak bosan dengan acara itu Mas. Hanya saja lemper itu terlalu menggoda, jadi saya gagal fokus, hehe.

    BalasHapus

Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.

RZ Hakim © 2014