Bersama Supriyadi, 28 Januari 2015
Saya dan istri menghabiskan sore di kios rokok milik seorang sahabat lama, namanya Supriyadi. Melihat kami datang, wajah Supri sumringah. Dia bertanya mengapa kami lama sekali tidak singgah di kiosnya. Seperti biasanya, saya hanya bisa tersenyum.
"Mentak tolong ye Pri, tang motor ban budina engak se bucor alos."
Meskipun saya dan Supri terbiasa menggunakan Bahasa Madura dalam setiap percakapan, namun istri saya yang kelahiran Tuban sama sekali tidak merasa bingung. Ia memang telah paham, meski hingga kini masih sulit untuk mengucapkan sesuatu dalam Bahasa Madura.
Supri bertanya tentang kabar Kakak perempuan saya. Saya bilang, Kakak baik-baik saja.
Supri dan Kakak saya, dulunya mereka adalah teman sekolah satu angkatan di SMAN 1 Arjasa. Mereka angkatan kedua, tahun 1990. Kata Supri, tahun itu masih ada jadwal belajar mengajar yang berbeda, ada yang masuk pagi ada pula yang masuk siang. Supri dikeluarkan dari SMAN 1 Arjasa karena dianggap masuk kategori nakal. Namun pihak sekolah sangat santun dalam proses mengeluarkan siswanya.
"Waktu itu ada dua orang guru sekolah yang datang ke rumahku. Mereka adalah Bu Tosan dan Bu Hera. Dari mereka saya tahu jika maksud kedatangannya adalah untuk menyampaikan kabar yang tak ingin saya dengar." Supri menceritakan itu sambil memasukkan ban dalam ke sebuah timba berisi air. Mendengar berita itu, Supri tidak berkomentar apa-apa, juga tidak merasa sakit hati.
Selama berteman dengan Supri, tidak sekalipun saya melihat figur yang 'nakal' menurut pendapat umum. Supri sahabat yang baik. Barangkali Supri sudah diberi label nakal sedari SMP, karena dia bersekolah di SMP Pembina Jember. Teman satu angkatannya hanya 14 orang. Jadi keseluruhan hanyalah 15 siswa saja. Angkatan di bawahnya lebih parah lagi, hanya berjumlah 8 siswa saja. Mereka adalah generasi terakhir SMP Pembina. Antara tahun 1989 hingga 1990, sekolah ini memang meredup, kemudian ditutup tahun berikutnya. Kegiatan belajar mengajar yang berlanjut hanyalah yang tingkat SMA saja, di komplek yang sama. Namun sama saja, SMA Pembina juga tidak bertahan lama.
Komplek Sekolah SMP - SMA Pembina yang kini tinggal cerita
Tadi sore, kami sempatkan juga untuk mengabadikan gedung SMP - SMA Pembina. Kini perwajahannya yang tak terawat mengingatkan kita pada Suzuran, sekolahnya Takiya Genji, Serizawa, dan teman-temannya dalam film Crows Zero. Tepat di seberang sekolah yang sudah tak berfungsi ini terdapat gedung SMK Trunojoyo, Jalan Danau Toba Nomor 24 Jember.
Setelah lima tahun tidak bersekolah, di hari yang lain ia berjumpa dengan Pak Lisno. Supri ditanya, apakah masih ada niat untuk sekolah? Tentu saja ia mengangguk. Maka tahun itu juga, Supri kembali terdaftar di SMAN 1 Arjasa atas bantuan Pak Lisno. Supriyadi, sahabat saya ini lahir pada 3 Agustus 1974. Ketika memutuskan untuk kembali sekolah, maka otomatis ia akan berkumpul dengan generasi yang lima atau enam tahun lebih muda darinya. Tidak ada masalah, toh belajar tak ada hubungannya dengan usia. Barangkali itu yang ada dalam pikiran Supri, sahabat saya.
Tahun 1998, satu bulan sebelum kami melaksanakan ujian EBTANAS, tanpa sepengetahuan teman-temannya Supri melangsungkan pernikahan. Adalah perempuan baik hati bernama Misyati --kelahiran tahun 1980-- yang berhasil memikat hati Supri.
"Tidak ada teman-teman yang mengerti pernikahan kami. Selain sengaja tidak saya undang, ketika itu teman-teman sedang berduka. Kamu tentu ingat Kim, tentang kecelakaan motor yang dialami sahabat kita, Monika dan Ermin. Peristiwa itu merenggut nyawanya. Teman-teman sedih, sedangkan saya sudah jauh-jauh hari merencanakan pernikahan. Satu-satunya orang di SMAN 1 Arjasa yang mengerti kabar pernikahan saya hanyalah Bu Ismi. Dia guru yang baik dan penjaga rahasia yang sangat terpercaya."
Saya terbius oleh cerita yang dituturkan Supri. Dia berhasil menghadirkan kembali beberapa keping kenangan di masa SMA. Iya benar, dulu kami pernah kehilangan seorang sahabat bernama Monika, di detik-detik menjelang EBTANAS.
Kini pasangan Supriyadi dan Misyati menjalani hari-hari dengan sederhana. Mereka dikaruniai dua bidadari yang cantik, Syam Wahyuni dan Dian Rohmatul Hasanah. Dua-duanya sama-sama kelas satu SMK, namun berbeda sekolah. Masing-masing bersekolah di SMK Negeri 1 Jember dan SMK Negeri 3 Jember.
Supri mencari penghasilan dengan berjualan rokok, kerupuk titipan orang, bensin eceran, serta membuka usaha tambal ban. Supri tampak bahagia. Saya kira, dulu waktu kami sekolah, Supri selalu tampil apa adanya dan pendiam. Dia bukan sosok yang liar seperti yang pernah dijalaninya saat ia sekolah satu angkatan dengan Kakak saya. Mungkin Supri menaruh hormat pada Pak Lisno yang membantunya untuk kembali bersekolah. Atau ia memang pribadi yang baik.
Tahun 1998, saat Indonesia sedang demam tingkat tinggi, saya dan Supri dinyatakan lulus dari SMAN 1 Arjasa. Supri tentu bahagia, meskipun semisal dia masih sekolah dengan Kakak saya, seharusnya telah lulus SMA tahun 1993.
Teman-teman, jika Anda sedang berkunjung ke Jember dan melintas di Jalan Jawa areal kampus, di sana ada kios kecil yang lokasinya tepat berada di seberang gerbang IKIP PGRI Jember. Di kios itulah Supri menjalani hari-hari dengan memberi manfaat pada orang yang mebutuhkan keahliannya.
Terima kasih Supri, atas mie ayam, toppas, dan sore yang indah.
Reunian ini mas RZ Hakim, :D
BalasHapussaya sudah setahun di Jember. sekarang sudah terobati penasaran tentang bangunan tua yang berada di kiri jalan danau toba itu.
Ternyata bekas bangunan sekolah.
Salam ke Om Supri mas... hehe
Iya, saya sedang reunian dengan seorang teman lama. Bagaimana kabar NALASUD 2015?
HapusGedung bekas SMP-SMA Pembina ini sudah lama sekali tidak terawat, entah kenapa.
Sayangnya di tahun ini Nalasud tergantikan dengan kegiatan Lokategak dan terprogram kegiatan 2 tahunan;
HapusBerharap kegiatan ini akan tetap ada tiap tahunnya.
Pasti akan ada lagi Nalasud berikutnya...
Hapuskegiatan besar harus ada konsep dan persiapan yang matang Om Dwi.. :D
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus