Kamis, 05 Februari 2015

Ide SOGA Institute Yang Terbengkalai

Kamis, 05 Februari 2015
1. Perkenalan pertama dengan Farid Solana dan Gamar Tan dari SOGA Institute

Pada 29 Desember 2014 yang lalu, seorang teman bernama Wisnu mengenalkan saya pada temannya, Farid Solana. Kata Wisnu, dulu Farid adalah teman sekolahnya, saat mereka sama-sama belajar di SMPN 2 Jember tahun 1993-1996. Dalam pertemuan perdana ini, Farid tidak sendirian melainkan berdua dengan seorang perempuan bernama Gamar Tan, perempuan asal Lombok. Kata Farid, Gamar adalah istrinya. Saya juga tidak datang sendirian, tapi berdua dengan istri saya, Zuhana Anibuddin Zuhro.

Saat saya berkenalan dengan teman baru, Farid Solana dan Gamar Tan, di Perkebunan Sentool sedang terjadi bencana tanah longsor.

Perjumpaan Wisnu dan Farid:
Sebelum pertemuan ini, Wisnu dan Farid telah terlebih dahulu berjumpa. Sudah lama sekali mereka tidak pernah bertemu. Berikut adalah penuturan dari Wisnu.

"Kamis, 24 Desember 2014, Farid ke kantorku sekitar jam satu siang, lalu lanjut ke Macapat Cafe. Kita bicara sekilas tentang SOGA. Sesok'e jam siji aku mampir ke rumah sampean, sekilas bicara tentang SOGA dan kemungkinan sampeyan iso bantu opo ora."

Dari perjumpaan perdana ini --Bertempat di Macapat Cafe, saya menjadi tahu jika mereka berdua memiliki sebuah institusi mandiri bernama SOGA Institute. Menurut Wisnu, SOGA adalah singkatan dari kedua nama mereka, Solana dan Gamar. Sebelumnya saya tidak pernah mendengar nama SOGA Institute.

"Jadi begini Mas Hakim. Kami mewakili SOGA Institute ingin membuat acara di Jember, Project Talk Show Ekonomi Outlook 2015. Kami berencana menggelar acara ini pada 24 Januari 2015, direncanakan bertempat di Gedung Soetardjo Universitas Jember."

Itu diucapkan oleh Gamar Tan, istri Farid Solana. Ia juga bercerita jika Project Talk Show ini adalah untuk memperingati satu tahun SOGA Institute yang berdiri sejak Januari 2014.

Lalu mereka berdua melanjutkan pembicaraan dengan menyebutkan nama-nama tokoh nasional yang bergerak di bidang ekonomi, juga nama-nama para pakar dan pengamat ekonomi, sesuai dengan rencana acara yang mengangkat tema pandangan ekonomi. Karena bukan bidang saya, hanya sedikit saja nama-nama yang akrab di telinga saya.

"Mungkin Mas Hakim ada usulan?"

Saya menyebutkan nama Metta Dharmasaputra. Usulan saya disambut tawa oleh Farid Solana. Kata Farid, Metta tidak mungkin mau diundang oleh SOGA Institute, apalagi saat pihak pengundang menyebut nama Farid Solana. Katanya, ia dan Metta Dharmasaputra pernah bersitegang dalam satu hal. Mereka berbeda pandangan. Entah tentang apa, saya tidak tahu. Ketika saya bertanya, Gamar Tan yang menjawab. Ia bilang, "Pokoknya ada deh Mas."

Istri saya hanya diam, ia terlihat kikuk. Barangkali karena duabelas hari lagi --10 Januari 2015-- ia ada jadwal diskusi di Jakarta dengan penulis buku berjudul Saksi Kunci , Metta Dharmasaputra.

Setelah selesai bicara tentang tokoh-tokoh ekonomi yang direncanakan untuk didatangkan di Jember, mereka lalu bertanya tentang siapa kira-kira tokoh lain yang memungkinkan bisa menyedot aspirasi masyarakat Jember (untuk datang di acara) saat mereka dijadikan salah satu pembicara. Mereka mengistilahkan pembicara di luar bidang ekonomi adalah sebagai pemanis. Diusahakan pemanisnya adalah budayawan atau tokoh yang telah dikenal luas oleh masyarakat Jember.

Gamar Tan menyebutkan nama-nama populer seperti Anang Hermansyah, Ahmad Dhani, Sujiwo Tejo, dan sederet nama lainnya. Saya mengusulkan Cak Nun, tapi mereka terlihat tidak antusias.

"Kalau ngundang Cak Nun ribet Mas, kita harus angkut juga Kiai Kanjeng beserta seperangkat alat musiknya," kata Gamar Tan.

"Jika Andreas Harsono bagaimana menurut Mas Hakim dan Mbak Hana?" Kami tentu sedikit terkejut ketika mereka bertanya tentang Andreas Harsono. Saya bilang pada mereka untuk menghubungi sendiri. Saya kira mereka sedang mencari tokoh 'pemanis' yang punya keterikatan emosional dengan Jember.

Perbincangan selanjutnya meloncat-loncat, tak lagi membicarakan Andreas Harsono.

"Ohya Mas Hakim. Hari ini kami sudah mengurus perihal sewa Gedung Soetardjo Universitas Jember, tinggal proses pembayarannya saja yang belum dilakukan. Rencananya besok saya dan Mas Farid akan membayarnya, sembilan juta rupiah."

Gamar Tan melanjutkan, "Tadi saya juga telah nembusi Prosalina Radio untuk urusan woro-woro acara. Di sini murah banget ngiklan di radio ya Mas. Prosalina cuma minta Rp. 12.500.000,-"

Sejujurnya saya sulit menelaah ucapan Gamar Tan. Untuk ukuran saya dan teman-teman di daerah, jumlah yang disebutkan itu besar sekali. Saya tidak biasa membuat acara yang besar. Biasanya saya dan teman-teman di Keluarga Tamasya mewujudkan sebuah acara secara kolektif, dan itu tidak besar. Tentu Project Talk Show Ekonomi Outlook 2015 yang digagas oleh SOGA Institute ini bukan acara kecil. Mereka berencana mengundang Menteri Ekonomi Chairul Tanjung, Emil Salim, Sujiwo Tejo, sudah pasti butuh bantuan di bidang teknis pelaksanaan. Saya bilang pada Farid dan Gamar, kenapa mereka tidak meminta bantuan teman-teman EO saja? Adapun yang saya dengar di hari pertama perkenalan ini, mereka enggan bekerja sama dengan EO maupun LSM, entah mengapa.

Mereka juga bertanya kepada saya tentang radio mana lagi yang sekiranya bisa dipakai untuk sounding acara.

Hari itu juga saya mengirim pesan pada seorang teman lama, Sigit namanya. Kebetulan ia jurnalis Kiss FM Jember. Sigit segera membalas pesan saya dengan langsung menelepon, lalu dilanjut dengan mengirimkan pesan. Dia ingin saya menghubungi seseorang bernama Dimas, karyawan Kiss FM yang mengurus bagian iklan. Nomor dari Sigit saya berikan pada pasangan Farid-Gamar, mereka segera mencatatnya namun tak segera menghubungi.

Perjumpaan perdana dengan Farid Solana dan Gamar Tan juga saya tulis di catatan lain, berjudul; Berkenalan Dengan Teman Baru.

Sebenarnya ada dua hal yang ingin saya dengar secara detail dan terstruktur dari mereka berdua. Pertama, tentang apa itu SOGA Institute, yang kedua adalah alasan mengapa mereka ingin membuat Project Talk Show Ekonomi Outlook 2015 di Jember.

Hari itu, ketika mereka dianjurkan --oleh Wisnu-- untuk menceritakan visi misi SOGA Institute kepada saya, mereka selalu bilang, "Kami punya website kok Mas, tinggal dibaca di sana." Iya benar, mereka memiliki website dengan alamat soga-institute dot org. Sayang, mereka lebih memilih untuk menggunakan Bahasa Inggris dalam setiap catatan di website SOGA Institute.

Di perjumpaan itu saya tidak mendengar argumentasi lugas mengenai alasan mengapa mereka ingin membuat Project Talk Show Ekonomi Outlook 2015 di Jember. Saya mengira, mungkin Farid Solana ingin membuat sesuatu di Jember atas nama masa kecil hingga ia menyelesaikan SMA. Juga, berniat mencerdaskan kehidupan bangsa.

Saya kira mereka memiliki niat yang baik. Tentu saya bersedia membantu semampu yang saya bisa.

Dua Project: Talk Show Ekonomi Outlook dan mimpi membuat Perpustakaan besar di Jember.

Kesimpulan dari perjumpaan perdana ini adalah tentang membahas dua project. Yang pertama adalah tentang Project Talk Show Ekonomi Outlook 2015 di Jember, berikutnya adalah membahas rencana pembuatan Perpustakaan di Jember.

"Kami masih mencari tempat untuk Perpustakaan, kalau bisa di dekat-dekat kampus Mas, biar enak. Kalau bisa lagi, tempatnya agak besar, jadi ada ruang khusus untuk diskusi. Mengenai biaya, sudah ada dana dari SOGA Institute untuk ini."

Perihal Perpustakaan yang dicita-citakan, direncanakan akan kami diskusikan di waktu yang lain. Kami lebih fokus pada perbincangan untuk project yang satunya lagi. Sayang sekali, di hari-hari selanjutnya, mereka tak pernah lagi menyinggung rencana pembuatan perpustakaan.

Poin yang didapat dari perjumpaan di hari ini, kami akan membantu sebisa mungkin. Salah satunya dengan cara mencarikan rekan yang mau untuk menjadi bagian kepanitiaan Talk Show. Itulah kenapa di perjumpaan perdana ini, saya juga memperkenalkan mereka pada teman-teman Macapat Cafe. Dian Teguh Cetar, Adi Nugroho, Yudha, dan Budi. Mereka bersedia membantu di bidang teknis.

Hasil dari perkenalan awal ini melahirkan sebuah janji. Kami akan berjumpa lagi esok harinya, Selasa, 30 Desember 2014. Tempat pertemuannya sama, masih di Macapat Cafe.

2. Sama-sama menepati janji perdana, tetapi kami tidak berjumpa

Selasa, 30 Desember 2014

Pada pukul 19.00 saya dan istri meluncur ke Macapat Cafe. Saat itu saya juga menghubungi beberapa rekan lain yang direncanakan hendak membantu ide rekan Wisnu yaitu Farid Solana. Janjiannya memang pukul setengah delapan, setelah Isya. Namun kami meluncur terlebih dahulu.

Untuk ukuran hari Selasa malam, suasana Macapat Cafe ramai sekali oleh pengunjung. Saya menebarkan pandangan ke sekeliling, rupanya Wisnu dan kedua rekannya masih belum hadir. Wisnu baru datang sekitar satu jam kemudian. Dia bilang, "Mau jare Farid wes mrene, jam setengah wolu, tapi sampeyan durung teko." Barangkali dia tidak melihat posisi saya duduk, sebab pengunjung Macapat Cafe memang sedang ramai sekali.

Saya membuat catatan ringan di sini.

3. Perubahan Jadwal Project Talk Show Ekonomi Outlook 2015

Perjumpaan pada 02 Januari 2015 ditandai dengan kabar tentang perubahan jadwal Project Talk Show Ekonomi Outlook 2015, dari yang seharusnya 24 Januari 2015 berubah menjadi 26 Februari 2015.

Jumat, 2 Januari 2015, menjadi pertemuan kedua antara saya dan pasangan Farid Solana-Gamar Tan setelah kami gagal berjumpa di janji pertemuan sebelumnya, 30 Desember 2014. Kali ini lokasinya masih sama, di Macapat Cafe, sore hari. Saya datang sendirian sebab pada pagi-pagi sekali Hana telah berangkat ke Jakarta dengan memanfaatkan layanan transportasi kereta api.

Ketika saya telah sampai di Macapat, Wisnu masih perjalanan dari Garahan. Dia sempat menelepon saya, bertanya apakah saya mau dibawakan pecel Garahan? Tentu saja saya mau. Pecel Garahan memiliki pelepah dan sayur yang khas, sulit untuk menolaknya.

Pada perjumpaan kali ini sengaja saya membawa Achmad Bahtiar a.k.a Bebeh. Manalah saya tahu jika ternyata Bebeh juga teman satu sekolah dengan Farid Solana di SMPN 2 Jember tahun 1993-1996, serta di SMAN 1 Jember tahun 1996-1999.

Bebeh dan Farid saling canda:

"Wingenane tanggal 29 Desember bengi, bojone Bro --Hakim-- telepon aku. De'e bicara tentang ide koncone Wisnu Ambon, jare arep ngadakne Talk Show tentang Ekonomi Outlook nang Jember. Tak takoni, sopo jenenge koncone Wisnu? Jare Prit, Farid Solana. Terus aku takon maneh, Farid Solana kentang tah? Oalah, iku ngono koncoku sekola."

Kami tertawa bersama-sama. Mulanya saya tidak menyangka jika Farid Solana adalah teman Bebeh satu sekolah. Obrolan selanjutnya lebih banyak bercanda daripada serius. Bebeh tampak senang bisa nggojloki teman lamanya.

"Farid iki wingi dadi tim sukses Capres Nomor 1 rek. Koyok'e saiki Farid akeh duite."

Saya turut tertawa, menertawakan cara Bebeh tertawa. Kegembiraan yang alami dan apa adanya. Sebelumnya, Farid pernah bekerja di salah satu perusahaan besar di Indonesia. Ia juga pernah berproses di dunia jurnalisme profesional selama satu tahun.

"Dadi jurnalis ojok suwi-suwi Beh, setaon thok wes cukup. Sing penting wes nduwe relasi," kata Farid pada Bebeh.Guyon-guyon itu sempat terhenti manakala Wisnu datang. Benar juga, dia membawa beberapa bungkus pecel pincuk Garahan.

Ada kabar segar mengenai Project Talk Show yang direncanakan bakal digelar pada 24 Januari 2015. Rupanya terjadi perubahan waktu.

Menurut Gamar Tan, ketika mereka akan melakukan pembayaran sewa Gedung Soetardjo, pihak Universitas Jember bertanya seputar acara, serta siapa saja pembicaranya. Saat mendengar bahwa acara itu direncanakan hendak mengundang beberapa tokoh Nasional, pihak Universitas Jember memberikan daya tawar. Bagaimana jika mereka dilibatkan dengan cara menyertakan logo Universitas, pidato pembukaan oleh Rektor Universitas Jember dimasukkan dalam daftar acara, serta memundurkan jadwal acara dari yang semula direncanakan digelar pada 24 Januari 2015 menjadi tanggal 26 Februari 2015. Alasannya, selama bulan Januari mahasiswa Universitas Jember masih libur, sayang sekali jika mereka tidak bisa mengikuti acara ini. Jika daya tawar tersebut diterima oleh Farid dan Gamar, maka penggunaan Gedung Soetardjo tidak perlu uang pembayaran sejumlah sembilan juta rupiah alias gratis.

Mereka mengiyakan bargaining dari pihak Universitas Jember. Itu yang saya dengar dari Gamar Tan. Hebat sekali, pikir saya.

Untuk urusan sounding di radio -Prosalina FM- akan di launch pada 3 Februari 2015. Saya tidak tahu apakah mereka jadi menghubungi Kiss FM atau tidak, sebab mereka tak lagi membahasnya.

Malam harinya saya dan Bebeh membicarakan hal-hal teknis yang sekiranya bisa kami bantu.

Catatan:

Setelah perjumpaan pada 2 Januari 2015, Farid Solana dan Gamar Tan bilang jika esoknya mereka hendak berangkat ke Ende sekitar satu minggu lamanya. Di Ende, mereka hendak mendirikan sebuah perpustakaan, berharap bisa mengembangkan budaya literasi masyarakat.

Perjumpaan selanjutnya terjadi pada 10 Januari 2015.

4. Hari-hari yang terlewati: SOGA Institute menguras pikiran

Pada 5 Januari 2015 agak sore, saya dan Wisnu ngopi di Macapat Cafe. Esoknya, ia telah menyiapkan reng-rengan tertulis yang diberi judul; Rencana dan Anggaran Kegiatan. Saya serta Bebeh pun juga telah menyiapkan nama-nama teman yang akan kami libatkan dalam kepanitiaan. Posisi kami hanya membantu kinerja teknis. Untuk hal-hal yang sifatnya lebih ke konsep dan sebagainya, akan ditangani langsung oleh panitia dari SOGA Institute. Kami sendiri belum tahu siapa saja mereka, sebab SOGA Institute yang kami kenal hanya Farid Solana dan Gamar Tan. Barangkali kepanitiaan SOGA akan didatangkan langsung dari Jakarta.

Keesokan harinya lagi, 7 Januari 2015, kondisi tubuh saya sedang ngedrop. Beberapa hari terakhir ini saya dan Wisnu memang sedang sama-sama saling berpikir untuk mengolah bidang teknis dalam membantu acara SOGA Institute.

Masih di hari yang sama. Teman-teman berkumpul di rumah. Ada Wisnu, Dedi Supmerah, Mungki, Nanda, Donny Dellyar, dan Faisal. Selain ngobrol ngalor ngidul, kami juga membicarakan rencana acara SOGA Institute, memikirkan hal apa yang sekiranya bisa dibantu.

Antara tanggal 8-10 Januari 2015, Rosidi dan Dodon menginap di rumah. Mereka lelah pikir dan lelah tenaga dalam menghadapi konflik kepentingan di Perkebunan Sentool, saat terjadi rangkaian longsor. Bencana dimulai pada 29 Desember 2014 dan berlanjut secara bertahap hingga beberapa kawan SAR OPA Jember istirahat di rumah saya.

Pada 8 Januari 2015 saya sempat mengirimkan pesan ke Bebeh. Ini isi sms yang saya kirimkan.

"Sam, mengko mari Isya nang omah yo, ngobrol masalah teknis." Terkirim pukul 14.04.

Meringkas hari-hari yang berlalu:
Sore hari --8 Januari 2015, dua kawan dari Kalisat --Ivan dan Oldies-- menemani saya jalan-jalan ke arah GKJW Sumberpakem Kecamatan Sumberjambe. Berharap dengan jalan-jalan kondisi tubuh saya membaik. Namun sama saja. Hingga pulang ke rumah, kondisi badan saya tetap lemas. Malam harinya rumah saya ramai. Alhamdulillah. Di rumah telah ada Cak Dai, Mungki, Kernet, Korep, Wisnu, juga teman-teman SAR OPA yang datang sebentar lalu balik lagi. Kami berbincang hingga dini hari, dengan personel yang silih berganti.

Jumat malam, 9 Januari 2015.

Akhirnya saya melambaikan tangan pada kamera alias KO. Malam itu juga saya pijat ke Mak Mi, tukang pijat langganan keluarga. Di rumah ada anak-anak SAR OPA. Ada Dodon, Rosidi, Windi, Faisal, dan anak-anak SISPERPENA. Saya dan Wisnu ngobrol di ruang depan, berdua saja. Kami membicarakan hal-hal teknis untuk membantu SOGA Institute. Tadinya Wisnu menyarankan agar saya istirahat saja sebab habis pijat, tapi saya lebih senang mengajaknya membicarakan rencana acara.

Sabtu sore, 10 Januari 2015.

Ada Farid Solana beserta istri berkunjung ke rumah. Mereka membawa dua bungkus gorengan. Saya menghubungi teman-teman yang lain lewat sms. Langit dihiasi oleh mendung yang pekat. Menurut Gamar Tan, SOGA Institute punya agenda pertemuan dengan Bupati Jember beserta jajarannya pada 14 Januari 2015 pukul sebelas siang. Saya dan Wisnu diminta menemani Farid dan Gamar dalam pertemuan dengan MUSPIDA, Musyawarah Pimpinan Daerah.

*Kelak, pertemuan itu tak pernah ada, dan mereka tak pernah membahasnya lagi.

Senin, 12 Januari 2015.

Sore hari menjelang maghrib, Cak Oyong sekeluarga singgah di rumah. Ia membawakan sekotak susu dan sebungkus roti untuk saya, serta segenggam doa semoga kondisi tubuh saya lekas membaik.

Oyong menyarankan saya untuk istirahat, saya mengangguk lemah. Saran yang sama juga dikatakan oleh Hana. Ia sms saya dari Jakarta, "Istirahat yang cukup ya Mas, jangan mikir yang berat-berat dulu."

Kira-kira dua menit setelah Oyong sekeluarga pulang, ada telepon masuk. Dari teman-teman SAR OPA di desa Suci, Panti. Mereka berharap saat itu juga saya meluncur ke sana. Urun rembug, begitu katanya. Badan lemas sekali, tapi saya memaksakan diri menuju ke rumah Kepala Desa Suci Kec. Panti. Saya pulang pukul sepuluh malam. Kehujanan. Badan semakin ngedrop.

Ide-ide hebat dari mereka.

Suatu hari Farid Solana dan Gamar Tan datang berkunjung ke rumah saya, sore hari. Saat itu mereka membawa gorengan yang banyak sekali. Lalu Jember diguyur hujan deras. Kami ndepis di ruang tamu yang suasananya mirip sebuah gang. Bocor di sana sini. Saya meminta maaf kepada mereka atas kondisi ini. Mereka bilang, tidak masalah. Sayang saya lupa, tanggal berapakah itu. Mungkin Jumat sore, 9 Januari 2015.

Hari itu, ketika Jember hujan lebat, Gamar Tan berkata jika mereka juga akan mendatangkan Jusuf Kalla untuk membuka acara. Ini baru saya dengar. Wisnu juga baru mendengarnya.

Dalam beberapa kali pertemuan mereka memang seringkali membawa kejutan. Hari ini bicara tentang rencana kedatangan Jusuf Kalla untuk membuka acara, esok harinya bicara tentang kemungkinan mengundang Jember Marching Band, di waktu yang lain mengusulkan ide untuk membuat pameran foto bertema sosial ekonomi yang akan digelar pada waktu pelaksanakan Talk Show. Barangkali mereka memang memiliki ide yang banyak, jadi terlihat sekali jika ide-ide tersebut tidak terstruktur.

Contoh lain:

Ketika Farid Solana dan Gamar Tan singgah di rumah (entah yang tanggal berapa saya lupa, mungkin saat mereka membawa dua kresek gorengan), mereka bilang jika telah dikirim tiga mobil dari SOGA Institute Jakarta. Dikirim juga laptop, kamera, serta beberapa lainnya. Yang mengantarkan adalah tiga orang rekan mereka dari SOGA Institute. Sementara, mobil masih dititipkan ke tempat orang lain, salah satunya parkir di belakang Polsek Patrang. Direncanakan, dalam waktu dekat, mobil-mobil itu segera dititipkan ke tiga tempat. Di rumah Wisnu, di rumah Bebeh, dan yang mobil BMW akan dititipkan di rumah saya.

Dua hari kemudian keluarga saya membersihkan area depan rumah yang penuh kayu, agar bisa menjadi ruang parkir mobil yang dimaksud. Kasihan Farid dan Gamar sebab mereka kebingungan untuk memarkir mobil-mobil itu.

*Kelak, mobil-mobil itu tidak pernah parkir di tempat yang telah kami persiapkan. Farid dan Gamar juga tidak pernah sekalipun menyinggung lagi masalah ini.

Masih di hari yang sama, hari dimana mereka bicara tentang mobil. Saya bilang ke Gamar, "Kakak iparku juga orang Lombok lho." Tak lama kemudian saya memanggil Mas Rahman, lalu saya kenalkan pada Gamar. Mas Rahman menyapa Gamar dengan Bahasa Sasak. Gamar menjawabnya lalu berkata jika sebenarnya ia tidak tinggal di Lombok melainkan di Sumbawa.

Hari itu saya berkata pada Mas Rahman tentang rencana mobil yang akan diparkir di depan rumah, serta meminta bantuannya untuk mengemudikan mobil itu saat para Menteri tiba di Jember. Mas Rahman menyanggupi, ia bersedia membantu.

*Kelak, saya meminta maaf pada Kakak ipar saya.

Pada 19 Januari 2015 saya menuju Jogja, pulang pada 21 Januari 2015.

Perkara agenda saya --dan istri-- untuk keluar kota, teman-teman telah mengerti. Juga Farid Solana dan Gamar Tan, sebab saya memberitahu mereka sejak hari pertama perkenalan. Semisal saya mengerti acara diundur pada 26 Februari 2015, tentu saya akan memilih membeli tiket ke Bandung dibanding menyusul istri di Jogja. Sebab jauh-jauh hari saya telah merencanakan untuk menjemputnya di Bandung Barat lalu menginap di kediaman Kang Fikri beserta istri, Mbak Dey. Mereka menanti kedatangan kami. Lagipula, harga tiket hanya berjarak 30 ribu rupiah, lebih mahal sedikit jika harus ke Bandung Barat.

Namun saya dan istri juga mencintai Jogja. Kami ambil hikmahnya saja. Dengan dimundurkannya acara SOGA Institute di Jember menjadi 26 Februari 2015, kami bisa menikmati hari dengan berjalan-jalan di Malioboro.

5. Konsep acara Project Talk Show Ekonomi Outlook 2015 oleh SOGA Institute

Project Talk Show Ekonomi Outlook 2015 direncanakan akan digelar di Gedung Soetardjo Jember pada 26 Februari 2015. Terbuka untuk umum, disediakan 600 kursi (mulanya hanya 500) bagi warga/komunitas yang tertarik dengan acara ini. Gratis. Disediakan konsumsi ringan dan berat oleh pihak panitia/SOGA Institute. Disiarkan secara langsung oleh Trans TV serta diliput oleh jurnalis dari berbagai media.

Acara dimulai pukul 8 pagi hingga pukul 3 sore. Ada dua sesi undangan. Sesi pertama pagi hingga sore, lebih banyak bicara tentang pandangan ekonomi dalam menghadapi 2015. Peserta boleh ikut dua sesi. Karena acara panjang, akan ada beberapa performance. Akan ada semacam pameran fotografi, tema tidak jauh-jauh dari dunia sosial ekonomi. Saya sudah menghubungi Ketua JPG, Jhon R. Tambunan pada 11 Januari 2015 dan dia bersedia membantu sepenuhnya.

Perform pertama sedianya akan dibuka oleh Jember Marching Band, untuk menyambut Jusuf Kalla. Ia datang hanya sebagai pembuka acara. Setidaknya itu yang kemarin --10 Januari 2015-- saya dengar dari mereka berdua, Farid Solana dan Gamar Tan. Lalu acara dimulai. Para pembicara adalah tokoh-tokoh nasional. Hingga tanggal 11 Januari 2015, nama-nama yang saya dengar --dari pihak SOGA-- kepastiannya adalah Chairul Tanjung serta Sujiwo Tejo. Nama-nama lain hanya disebutkan namun mereka tidak bilang kepastiannya.

Perform terakhir barangkali hanya ada Sujiwo Tejo. Dia bicara sekaligus perform. Sesi dua memang lebih banyak bicara seputar budaya.

6. Ide Baru dari Soga Institute

Rabu, 21 Januari 2015

Kami kembali menginjakkan kaki di tanah Jember setelah dua malam menikmati langit Jogja. Dari stasiun kami tak langsung pulang ke rumah, melainkan nongkrong dulu di warung kopi depan Pasar Patrang. Saat di warung kopi, kami berjumpa dengan pasangan Farid Solana dan Gamar Tan. Mereka sedang berjalan kaki seperti biasa. Keduanya masih senang mengenakan celana pendek beberapa senti di bawah lutut.

Rumah orang tua Farid Solana memang tak jauh dari Pasar Patrang.

Sesekali Gamar Tan menggoda kami. "Cieee, Mas Hakim sudah ketemuan sama yang dirindukan." Saya tertawa mendengarnya. Dari pertemuan tak sengaja ini lahirlah sebuah janji. Besok kami akan kembali bertemu dan membicarakan proses menuju rencana acara Talk Show Ekonomi Outlook 2015.

Esoknya, sore hari. Mereka memenuhi janjinya untuk berkunjung ke rumah saya. Seperti biasa, mereka berdua mengenakan busana santai dan tetap memilih berjalan kaki dari belakang Pasar Patrang, jaraknya sekitar satu kilometer saja. Wisnu mengerti rencana pertemuan ini. Sayang ia tidak bisa bergabung sebab ada keperluan lain.

Ide Mendadak: Membuat Diskusi untuk menguatkan acara inti

Perbincangan kecil ini melahirkan ide baru yang datang dari Farid Solana dan Gamar Tan, atas nama SOGA Institute tentunya. Mereka ingin ada acara lain sebelum Project Talk Show, yaitu sebuah diskusi. Menurut mereka, akan baik jika sebelum acara inti, ada acara pembuka (diskusi) yang dilaksanakan sebelumnya, dengan mengumpulkan berbagai komunitas di Jember.

Menurut Farid, dari adanya diskusi yang direncanakan tersebut akan memudahkan mereka untuk menjaring aspirasi komunitas-komunitas di Jember yang turut serta, tentang bagaimana pandangan mereka pada Project Talk Show yang akan digelar hari Kamis, 26 Februari 2015 di Gedung Soetardjo. Untuk keperluan tersebut, Farid ingin agar saya membantu mengundangkan aneka komunitas, dengan peserta yang dibidik kurang lebih 50 orang.

Karena Wisnu selaku koordinator (yang menjadi jembatan antara saya dan teman-teman, dengan pihak SOGA Institute) tidak hadir, saya bertanya pada Farid dan Gamar, "Apa yang bisa saya bantu?"

Mereka butuh saran tempat, saran komunitas, saran pembicara, saran konsumsi, dan beberapa hal lagi. Khusus untuk pembicara, mereka ingin menghadirkan empat orang, masing-masing akan bicara dari sisi Ekonomi, Budaya, Lingkungan, serta Pertanian. Temanya seputar Jember kini dan nanti, dilihat dari empat sisi tersebut.

Tentang Ide Kupon Untuk Konsumsi

Ada ide dari istri saya tentang konsumsi. Karena pihak SOGA bersikukuh ingin ada konsumsi yang layak, Hana bilang, "Bagaimana jika memakai kupon saja? Dulu kawan-kawan Tikungan Jember pernah membuat sebuah acara di Kedai Gubug, para pesertanya masing-masing diberi satu kupon. Nantinya kupon itu bisa ditukar dengan menu yang ada di Kedai, sesuai dengan keinginan mereka dan sesuai dengan kesepakatan harga pada selembar kupon itu. Misalnya, harga per-kupon adalah lima ribu rupiah. Mereka bisa menukar kupon itu dengan menu yang seharga. Jika harganya delapan ribu rupiah, kekurangan yang tiga ribu rupiah harus ditambahkan secara mandiri."

Gamar Tan menyetujui ide tersebut. Farid dan Gamar pasangan yang baik, selalu menyetujui ide-ide dari kami.

Menjelang maghrib, perbincangan sempat terputus. Mereka berdua pamit hendak pulang terlebih dahulu. Setelah Isya, Farid kembali datang tapi sendirian. Katanya, "Bojoku loro datang bulan, dadi ora iso melu."

Saya bilang pada Farid, sebelum dia ke sini, ada Wisnu datang. Tapi dia tidak bisa lama-lama sebab ada janji dengan temannya.

Obrolan kami mengerucut pada teknis diskusi yang idenya baru saya dengar tadi sore.

Kami menyepakati bahwa diskusi yang dimaksud akan digelar pada 31 Januari 2015, direncanakan bertempat di Kedai Gubug. Saya sempat bertanya pada Farid, "Iki acarane santai kan?" Dia mengiyakan.

"Bagaimana dengan pembicaranya, Mas? Apakah sampeyan bisa mengusahakan?" tanya Farid.

Saat itu juga saya mengajukan satu nama untuk bicara di bidang lingkungan. Ahmad Dainuri a.k.a Cak Dai. Selang beberapa menit, saya mengirim pesan pada Cak Dai, ternyata ia sedang ada di Situbondo. Lalu kami bicara via telepon. Intinya, Cak Dai bersedia membantu rencana diskusi, sebagai pembicara di bidang lingkungan.

Tiga pembicara lain yang saya ajukan --tapi tidak saya hubungi hari itu juga-- adalah Mas Ari pengusaha Es Ari di Jember. Saya mengajukan dia sebagai pembicara di bidang ekonomi. Untuk bidang pertanian, saya sebut nama Pak Tris. Yang terakhir adalah bidang budaya, tiba-tiba saya memikirkan Ustad Taufiq dari Pace. Lalu nama itulah yang saya sebutkan.

Perbincangan malam itu usai dengan melahirkan satu janji yaitu akan ada pertemuan lagi.

7. Kaos Keos: Masih berharap semoga ini bukan perjumpaan terakhir

Sabtu, 24 Januari 2014

Sesuai dengan yang disepakati di pertemuan sebelumnya, hari ini kami berkumpul dan membicarakan ide baru yaitu sebentuk diskusi. Ada Farid Solana dan Gamar Tan --SOGA Institute-- selaku pelempar ide, ada Wisnu, serta saya dan istri selaku tuan rumah.

Selain kami, ada juga teman lama saya, Chris sekeluarga. Ia baru saja berduka, delapan hari yang lalu Ayahnya meninggal dunia. Yang paling kehilangan adalah putra bungsu Chris, saya biasa memanggilnya Mas Nu.

Sementara itu di kamar depan juga ada Mungki dan Ananda.

"Bagaimana Mas? Apakah sampeyan sudah nembung pemilik Kedai Gubug?" Farid bertanya. Saya mengangguk. Saya memang sudah membicarakan ini bersama Dedi, pemilik Kedai Gubug. Ia sama sekali tidak keberatan jika saya meminjam tempat untuk menggelar diskusi.

Gamar Tan menyodorkan contoh kupon kepada kami. Sudah ada stempel SOGA Institute di sana, serta tulisan harga, Rp. 10.000,-

Farid membawa satu lembar kertas HVS tentang rancangan acara, mulai dari nama event, tujuan, tema, pembicara, hingga anggaran. Di sana tertulis nama event adalah Rembug Komunitas Jember. Sedangkan untuk tujuannya, tertulis; Menjaring aspirasi warga Jember untuk SOGA Institute Open Forum Series.

"Berarti ini diskusi formal ya?"

"Iya Mas, formal tapi santai," jawab Gamar Tan. Dia melanjutkan, "Kami juga ingin membuatkan kaos untuk panitia, agar mudah membedakan mana yang panitia dan mana yang peserta diskusi."

Saya sedikit terkejut. Sejak mengenal Farid Solana dan Gamar Tan pada 27 hari yang lalu, dengan beberapa kali perjumpaan saja, mereka memang sering melontarkan gagasan kejutan yang acak.

"Bagaimana jika tanpa kaos?"

"Ya jangan lah Mas. Dananya sudah ada kok untuk kaos."

"Akan baik jika dana itu dimasukkan ke bidang lain yang lebih bermanfaat."

Gamar tetap ingin ada kaos untuk panitia. Setidaknya nanti bisa dijadikan kenang-kenangan jika mereka pernah berproses di sebuah kepanitiaan diskusi. Waktu itu saya mencarikan opsi yang lain. Jika SOGA Institute ingin membuat dokumentasi, bisa dilakukan di sisi yang lain. Misal, mereka bisa mengambil sisi backdrop atau yang lain.

"Bukan masalah itu Mas. Kami hanya ingin membuatkan panitia kaos, itu saja. Bagaimana jika kaos itu hanya di-sablon tulisan 'panitia' saja?"

Mereka memiliki tujuan yang baik, tapi saya berpikir berbeda. Ada dua hal yang saya pikirkan. Pertama, apakah panitia diskusi benar-benar butuh menggunakan kaos bertuliskan panitia? Tentu saya memiliki pandangan yang berbeda, sebab setiap kali mengadakan diskusi bersama teman-teman, kami tidak pernah melakukan itu. Biasanya kita diskusi ya diskusi saja, lebih mengutamakan kacang dibanding kulitnya. Akan lebih bermanfaat jika dana untuk pembuatan kaos tersebut dialihkan ke bidang yang lain. Hal kedua yang menjadi kekhawatiran saya namun terlampau sulit untuk menjelaskannya, bagaimana jika dari urusan kaos saja justru berpotensi menimbulkan fitnah di pandangan orang lain? Namanya juga fitnah, ia mudah sekali diciptakan. Jika itu terjadi, saya tidak sampai hati pada mereka berdua yang memiliki niat baik.

Saya menyesal melontarkan renungan kilat di atas. Ketika saya menyampaikannya, mereka menanggapinya dengan intonasi yang tak seperti biasanya.

"Nek sediluk-sediluk dianggep fitnah, sediluk-sediluk dianggep fitnah, kapan majune. Nek ngene carane, tak cancel ae wes acarane kabeh! Rencana diskusi iki karo acara sing tanggal 26 Februari!"

Kiranya saya kurang pandai memilih kata-kata dan tak cerdas menyampaikannya, hingga Farid Solana menyambar dengan jawaban bernada tinggi. Istrinya mencoba mencegah Farid dengan mengatakan, "Ya jangan gitu lah Mas... Jangan main cancel saja. Kasihan teman-teman, sudah menghubungi narasumber, nyiapin tempat, kok mau di cancel."

Saya diam sejenak. Begitu pula istri saya. Wisnu yang duduk di sebelah kanan saya juga terlihat diam. Apalagi teman lama saya, Chris beserta suami dan si kecil Mas Nu. Bagaimanapun juga saya adalah tuan rumah. Dan energi negatif ini datang dari pernyataan yang saya lontarkan. Jadi, saya mencoba untuk kembali bicara setenang mungkin, berharap bisa mengembalikan keadaan seperti semula. Ini memang berat buat saya; dibentak orang lain di dalam rumah saya sendiri, tepat di depan teman lama saya --sekeluarga-- yang sengaja datang ke rumah hanya untuk silaturahmi.

Di waktu jeda tersebut, Mungki dan Ananda keluar dari kamar depan lalu berpamitan. Mereka hendak keluar entah kemana.

Syukurlah, di menit-menit selanjutnya kondisi semakin membaik. Topik pembicaraan tak lagi fokus pada pra acara. Mereka lebih aktif membicarakan hal yang lain. Misalnya, Wisnu mencairkan suasana dengan menanyakan nama lengkap Gamar.

"Mbak Gamar nama lengkapnya siapa?"

"Nama saya Gamar Tan, Mas. Tan itu nama marga dari orang tua saya. Saya ini asli Makassar."

Sebelum mereka pamit undur diri, kami masih menyisakan satu janji. Esok harinya kami berencana berkumpul di rumah Bebeh pukul sebelas siang.

"Bisa kan Mas?" Gamar Tan bertanya pada kami. Wisnu bilang, "Insha Allah bisa." Saya tersenyum sambil bergumam, semoga bisa bangun pagi.

"Ya harus bisa Mas, ini penting. Kalau Mas Wisnu nggak bisa nanti aku seret." Kami tertawa mendengar ucapan Gamar.

Esoknya, mereka tidak muncul. Tak ada kabar apapun dari Farid Solana dan Gamar. Saya kira ini ada hubungannya dengan perbedaan sudut pandang di rencana pembuatan kaos untuk panitia diskusi, sebuah ide mendadak yang tak pernah mereka bicarakan sebelumnya. Saya hanya berharap, semoga perbincangan di malam itu bukan perjumpaan terakhir. Tak baik memutus tali silaturahmi.

SOGA Institute bekerjasama dengan NUS dan Nanyang:

Malam itu juga, 24 Januari 2015, Gamar Tan sempat sedikit menceritakan tentang apa itu SOGA Institute. Dia bilang, mulanya SOGA bekerjasama dengan Badan Kerjasama Internasional Jepang atau JICA, Japan Internasional Cooperation Agency. Niat SOGA Institute tentu sangat ideal.

Kini mereka tak lagi bekerjasama dengan JICA melainkan bersama dua lembaga, yaitu NUS dan Nan Yang. Setidaknya itu yang saya dengar langsung dari Gamar Tan, mohon maaf semisal saya salah dengar. Barangkali NUS yang dimaksud adalah nama sebuah Universitas di Singapura. Sedangkan Nan Yang (tulisannya Nanyang), ia juga nama sebuah Universitas Teknologi di Singapura.

Jadi, SOGA bekerja dengan dana dari sponsor lembaga asing. Meskipun tak satu kali pun punya pengalaman serupa, saya tidak sedang mengecam. Biasa saja. Dana asing juga mengalir ke lembaga partikelir, perguruan tinggi, pesantren, hingga penyelenggara daerah. Jadi, sekali lagi, soal ini biasa saja buat saya. Namun akan baik jika ada keterbukaan di awal, meski mungkin saya juga akan berpikir dua kali untuk membantu, dan akan menyarankan SOGA Institute untuk menggandeng EO saja.

Sebagai sebuah Institusi, tentu SOGA memiliki visi misi yang baik. Dengan senang hati saya mendoakan semoga SOGA Institute akan terus survive di bidang mencerdaskan kehidupan bangsa, meski saya bukan orang SOGA Institute.
8. Sebab tak ada kabar dari SOGA Institute

Tanggal diskusi yang direncanakan (untuk 31 Januari 2015) semakin dekat, tapi tak ada kabar apapun dari Farid Solana dan Gamar Tan. Saya telah mengabarkan rencana diskusi ini pada 25 Januari 2015, sehari setelah pertemuan -terakhir- dengan mereka. Saya hanya mengabarkan rencana diskusi namun belum tega mengatakan pada teman-teman bahwa tujuan dari diselenggarakannya diskusi ini adalah untuk menjaring aspirasi warga Jember untuk SOGA Institute Open Forum Series.

Pada 27 Januari 2015, kami telah berancang-ancang untuk melanjutkan acara ini secara mandiri semisal tak ada kabar lagi dari pihak SOGA Institute.Empat hari kemudian, kami tetap mewujudkan ide Farid dan Gamar, namun secara mandiri dan atas nama keluarga tamasya.

Esoknya, 28 Januari 2015, Wisnu mengirimkan pesan pada Farid Solana.

SMS Wisnu ke Farid:

Aslkm.. Rid, untuk kelanjutan acara tgl 31 piye.. iki arek2 wes siap kabeh.. Pembicara yo wes oke.. Kari ngenteni soga..

Piye Rid.. Tak tunggu kabare sampe jam 11 yo. lek gak onok konfirm berarti acara dianggap di cancel. Kesuwun.. >>> Iku mau sms ku nang Farid.. Tak enteni gak onok balesan, ditilpun ga diangkat..

Malam harinya Bebeh ke rumah. Saya, Hana, dan Bebeh berembug masalah bagaimana sebaiknya diskusi tanggal 31 Januari 2015. Usulan dari Bebeh, nama diskusi untuk 31 Januari 2015 adalah 3eNG: Ngobrol Ngalor Ngidul. Kami sependapat. Lalu diskusi tanggal 31 Januari 2015 dilaksanakan gotong royong oleh Keluarga Tamasya, lepas dari SOGA Institute. Meski demikian, kelak saat diskusi digelar --di Kedai Gubug, kami menyebutkan di pembuka diskusi bahwa keluarga tamasya hanya sedang menuntaskan ide dari SOGA Institute.

Malam itu juga kami menyiapkan beberapa hal. Wisnu dan beberapa teman kami hubungi lewat pesan pendek. Diskusi 3eNG: Ngobrol Ngalor Ngidul telah siap digelar oleh keluarga tamasya.

9. Saya merasa ditikam dari belakang

Kamis, 29 Januari 2015

Semalam Bebeh bilang sama saya jika siang hari ini dia akan menemui Wisnu di kantornya, di areal kampus Bumi Tegalboto. Baru sore harinya saya dengar kabar dari Wisnu jika siang itu juga tiba-tiba Farid Solana juga mengajak untuk bertemu. Akhirnya mereka berjumpa bersama-sama. Wisnu, Bebeh, Farid Solana, serta Gamar Tan. Malam harinya Bebeh juga mengabarkan pertemuan mereka kepada saya dan Hana.

Saya agak terkejut saat mendengar kabar dari Wisnu jika pihak SOGA Institute akan tetap melanjutkan acara di tanggal 31 Januari 2015 yang sudah terlanjur kami namai 3eNG: Ngobrol Ngalor Ngidul. Pihak SOGA akan segera transfer sejumlah uang di rekening Wisnu untuk biaya acara. Mereka juga akan hadir di acara tersebut.

*Kelak waktu membuktikan, tak pernah ada satu kali pun uang kiriman dari SOGA, dan kami tetap melanjutkan diskusi -pada 31 Januari 2015- atas nama keluarga tamasya, dengan konsep gotong royong.

Farid tidak menyukai cara kerja saya. Ia mengira saya adalah seorang event organizer atau LSM. Dia tidak menyukai apa yang saya katakan -tentang kaos- saat pertemuan di rumah saya pada Sabtu malam, 24 Januari 2015. Dia juga menyayangkan saat pertemuan malam itu, di rumah saya sedang ada tamu lain, Chris sekeluarga.

"Nek awakmu nggak cocok karo cara kerja Hakim dan istrinya, koen nggak iso ngajak aku Rid. Soale aku iki wes biasa membuat acara bersama mereka," kata Bebeh.

Benar kata Nanda, teman yang baik adalah ia yang menikam dari depan, bukan dari belakang.

Mengapa ia tidak mengatakan itu semua di depan saya? Jika dikatakan secara langsung, tentu hasilnya akan baik. Meski demikian, pintu rumah kami selalu terbuka untuk mereka.

10. Diskusi 3eNG: Ngobrol Ngalor Ngidul

Sabtu, 31 Januari 2015

Sejak pukul dua siang hujan turun sangat deras, sesekali disertai petir. Lampu mati. Kedai Gubug banjir hingga setengah lutut. Kami tak jadi menggelar diskusi secara lesehan. Ada beberapa teman yang mengirimkan pesan, baik lewat telepon genggam maupun lewat jejaring sosial di dunia maya. Mereka banyak yang terjebak hujan. Bahkan kami pun terjebak hujan. Cak Dai, salah satu teman bicara dalam diskusi 3eNG, ia masih mampir di rumah saya sebab basah kuyup dan butuh berganti pakaian.

Tadinya, acara 3eng: Ngobrol Ngalor Ngidul ini dirancang akan digelar pada pukul 15.00-14.30 WIB. Namun molor juga. Diskusi baru bisa dimulai pukul empat kurang lima menit.

Mas Ari dan Cak Dai telah hadir di Kedai Gubug. Ivan Adhitya Abdillah kami minta untuk menjadi pembawa acara, sedangkan saya mencoba menjadi moderator.

Acara memang baru dimulai pukul 15.55, namun ketika menjelang maghrib, saat Ivan Adhitya Abdillah hendak menutup acara 3eNG: Ngobrol Ngalor Ngidul, teman-teman mengusulkan untuk break saja. Setelah maghrib acara dilanjutkan kembali. Kami justru senang mendengar ini.

Jika dihitung secara keseluruhan, kami terdiri dari 30 orang saja. Namun melihat cuaca yang seperti itu, tentu saya pribadi sangat bahagia. Teman-teman masih bersedia menemani diskusi. Sedangkan yang tidak bisa hadir, mereka mendoakan kami dari tempat yang berbeda. Hingga diskusi usai, tak ada pihak dari SOGA Institute yang datang di Kedai Gubug seperti yang mereka janjikan pada Bebeh dan Wisnu.

Pesan moral yang saya dapatkan dari diskusi 3eNG, kejujuran adalah foundation dari segalanya.

Wisnu mengirimkan pesan terima kasih pada Farid:

Aslkm.. Rid, aku, bebeh, hakim dkk.. Njaluk sepuro, ide acarae awakmu tetap kami lanjutkan, dn tetap kami sampaikan bahwa ini ide dari soga.. Acara dimulai td jam 4.. Dan akan diakhiri nanti jam 7, pembicara 2 orang.. Dan peserta yang hadir sekitar 30 org.. Karena hujan deras dan banjir di sini.. Teman2 titip salam, terimakasih atas ide dan energi positifnya.. Sukses buat kamu, mbk gamar dan soga..

Teman-teman, atas nama keluarga tamasya saya mengucapkan terima kasih.

Jika sesuai dengan apa yang mereka ucapkan, seharusnya Talk Show Ekonomi Outlook 2015 sudah bergema di Radio Prosalina pada 3 Februari 2015, serta di media-media yang lain. Kebetulan pada 3 Februari 2015 saya menghadiri silaturahmi Keluarga Sroedji dan Pemkab Jember. Saat itu saya mendengar secara langsung dari Bupati Jember bahwa selama bulan Februari tidak ada rencana acara besar di Jember.

Kini sudah tanggal 5 Februari 2015, tak ada kabar dari SOGA Institute. Perjumpaan dengan pasangan Farid Solana-Gamar Tan pada Sabtu malam, 24 Januari 2015, adalah perjumpaan terakhir antara saya dengan mereka.

11. Permohonan Maaf

Teman-teman yang baik, khususnya keluarga tamasya yang berencana membantu pelaksanaan Project Talk Show Ekonomi Outlook 2015, terima kasih atas kesediaannya untuk meluangkan waktu mendengarkan saya di hari-hari kemarin, saat saya menyampaikan rencana SOGA Institute. Mohon maaf sebesar-besarnya sebab saya sendiri tidak tahu bagaimana kelanjutan acara tersebut. Komunikasi saya dengan Farid Solana dan Gamar Tan hanya sampai pada 24 Januari 2015.

Bersamaan dengan kronologi yang saya tulis ini, saya sampaikan pula ucapan maaf dan terima kasih kepada Farid Solana dan Gamar Tan. Mohon maaf jika menurut Anda saya bukan rekan yang baik. Namun tentu saya berterima kasih atas peristiwa yang tidak saya sadari ternyata sangat menguras waktu, tenaga, dan pikiran ini. Pertemanan kita adalah sebuah pelajaran yang baik. Semoga masing-masing dari kita bisa mengambil hikmah dari semua ini.

Sekali lagi terima kasih.

Salam saya, RZ Hakim.

1 komentar:

Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.

RZ Hakim © 2014