Minggu, 01 Februari 2015

Tafsir Maju dan Penyakit Memelihara Anggapan

Minggu, 01 Februari 2015
Oleh RZ Hakim

Sebagai moderator acara 3eNG: Ngobrol Ngalor Ngidul, pertanyaan pertama yang saya lontarkan untuk Ahmad Dainuri adalah tentang arti dari sebuah kata, yaitu maju atau kemajuan. "Maju itu apa?"

Saya lupa, bukankah tugas moderator hanyalah memoderasi dan mengawasi jalannya diskusi? Bukan bertanya. Tapi menurut Ivan Adhitya Abdillah sebagai pembawa acara yang duduk di samping saya, dia bilang tidak apa-apa. Saya lihat, Ahmad Dainuri yang biasa saya panggil Cak Dai, ia hanya butuh tersenyum sejenak lalu menjawab pertanyaan 'maju itu apa' dengan lugas.


Cak Dai selaku teman bicara di bidang lingkungan

"Jika menurut teman-teman yang ada di sini, bagaimana? Maju itu apa? Apakah maju itu harus ditandai dengan lampu-lampu? Fasilitas gedung-gedung bertingkat? Berhasil mengundang banyak investor hingga wilayahnya terlihat gemerlap? Apakah maju itu identik dengan kata modern? Nah, bagaimana?"

Cak Dai tidak segera melanjutkan ucapannya. Ia memberi jeda sejenak. Ketika tidak ada sanggahan dan argumentasi dari teman-teman di Kedai Gubug --lokasi diskusi 3eNG: Ngobrol Ngalor Ngidul, ia melanjutkan pemikirannya.

"Jika dilihat secara energi, maka arti maju adalah melangkah ke depan. Tapi benarkah melangkah ke depan itu artinya maju seperti yang diinginkan kita bersama?"

Sambil membatin. Saat itu saya juga sedang memikirkan kata maju. Menurut pandangan sejarah, maju 'yang baik' adalah ketika telah mengerti posisi kita di hari ini, dan pahamposisi kemarin, tentang dari mana kita berasal. Jika telah memahami masa kini dan kemarin, tentu kita akan mengerti hendak dilangkahkan kemana kedua kaki ini.

"Maju yang kita pahami sekarang ini berdampak merusak kelestarian alam. Dari media sendiri arahnya ke sana. Begitu pula jika kita melihat apa yang diberikan oleh dunia pendidikan kita kepada para siswanya mengenai kata maju. Lalu langkah apa yang harus kita pilih? Maju yang katanya modern, atau maju yang seperti Badui?"

Jeda sejenak. Cak Dai menyelempangkan kembali sarung warna hijau yang melilit lehernya.

"Coba sekali-sekali Anda bermain ke Desa. Pendidikan di sana malah menciptakan kaum-kaum urban yang lebih memilih meninggalkan desa. Kenapa? Apakah ini melulu tentang mencari keuntungan di segala bidang --aksesbilitas, arus informasi, relasi, serta materi-- seperti yang diajarkan di pendidikan ekonomi modern? Atau, jangan-jangan kita masih belum menyelesaikan tafsir tentang kata maju itu sendiri. Maju itu apa? Apa benar maju itu harus modern? Ini kita masih mencoba mentafsir-tafsirkan kata maju, belum yang kata modern. Di saya, ilmu manajemen itu pada dasarnya hanya bertujuan untuk menipu. Ya mohon maaf, itu menurut saya. Orang yang pandai di bidang ekonomi manajemen akan berpikir secara ekonomi, mencari keuntungan, kalau bisa modal kecil untung besar. Padahal maju adalah kebebasan yang sebenarnya ada di Pancasila. Makanya, jika kita masih percaya Pancasila adalah inspirasi kebangsaan, ia jangan diintervensi oleh gambar lain."

Ada satu contoh yang Cak Dai ceritakan, tentang seorang Nenek. Ia berjualan rujak di tempat yang sepi. Secara ekonomi modern, jika kita ingin berjualan sesuatu maka yang paling utama harus kita pertimbangkan adalah sisi strategis. Nenek penjual rujak ini berbeda. Ia berjualan di sana hanya karena hatinya terpanggil saat melihat orang-orang yang hendak ke pasar tradisional, atau telah pulang dari pasar tradisional. Bagaimana jika mereka lapar? Itulah kenapa sang Nenek berjualan di sana, dengan harga yang dapat dijangkau oleh para buruh penjual sayuran atau buah-buahan.

"Sekarang mari kita lihat sekeliling, bagaimana? Adakah pelaku bisnis yang berpikir seperti pola pikir Nenek penjual rujak? Jika tidak ada, mengapa?"


Mas Ari penjual es ari, teman bicara di bidang ekonomi

Mas Ari, teman bicara di bidang ekonomi dalam diskusi 3eNG: Ngobrol Ngalor Ngidul, ia kadang sepemahaman dengan Cak Dai, namun seringkali berbeda pandangan. Mas Ari lebih berpikir bahwa ekonomi yang baik adalah ekonomi yang dijalankan secara bersama-sama, serta tentu saja dengan tidak merugikan pihak lain.

"Kita harus seperti sapu lidi yang saling berpelukan dan saling menguatkan," kata Mas Ari.

Ivan Adhitya Abdillah, ia pandai sekali menjadi pembawa acara. Teman-teman antusias dalam menanggapi, menyanggah, dan bertanya beberapa hal pada kedua teman bicara.

*Maaf, saya sering memakai kata teman bicara untuk menggantikan kata pembicara.

Suasana Diskusi:

Di luar gerimis masih menyelimuti kota Jember. Dimulai sedari pukul dua siang, hujan turun deras sekali disertai petir. Lampu mati. Lokasi acara --Kedai Gubug-- banjir hingga setengah lutut. Kami tak jadi menggelar diskusi secara lesehan. Teman-teman banyak yang mengirimkan pesan, baik lewat telepon genggam maupun lewat jejaring sosial di dunia maya. Mereka banyak yang terjebak hujan. Bahkan kami pun terjebak hujan. Cak Dai harus mampir dulu ke rumah saya sebab ia basah kuyup dan butuh berganti pakaian.

Tadinya, acara 3eng: Ngobrol Ngalor Ngidul ini dirancang akan digelar pada pukul 15.00-14.30 WIB. Namun molor juga. Diskusi baru bisa dimulai pukul empat kurang lima menit. Sebelumnya, saya mengirimkan pesan pendek pada Dedi pemilik Kedai Gubug.

"Santai ae, diskusi apa adanya saja. Tidak jadi lesehan, pakai kursi saja. Acara molor karena cuaca tentu tidak apa."

Pesan itu terkirim 30 menit sebelum acara seharusnya telah dimulai. Saya mengirimkannya dari Baratan, saat terjebak hujan deras di rumah Syafi'i penjual keripik dengan modal mandiri.

Iya benar, acara memang baru dimulai pukul 15.55, namun ketika menjelang maghrib, saat Ivan Adhitya Abdillah hendak menutup acara 3eNG: Ngobrol Ngalor Ngidul, teman-teman mengusulkan untuk break saja. Setelah maghrib acara dilanjutkan kembali. Kami justru senang mendengar ini. Di Kedai Gubug tersedia musholla kecil lengkap dengan sarung dan mukenanya. Jadi tidak ada masalah. Kabar baiknya, ketika mendekati waktu maghrib, listrik menyala. 

Jika dihitung secara keseluruhan, kami terdiri dari 30 orang saja. Namun melihat cuaca yang seperti itu, tentu saya pribadi sangat bahagia. Teman-teman masih bersedia menemani diskusi. Sedangkan yang tidak bisa hadir, mereka mendoakan kami dari tempat yang berbeda.

Kembali ke pertanyaan, "Maju itu apa?"

Seusai maghrib, kami melanjutkan acara diskusi. Teman-teman masih antusias mengupas tafsir maju dari sudut pandang Cak Dai serta Mas Ari.
"Bagi saya maju itu mandiri. Maju itu efisien, ekonomis, sehat, tidak menyusahkan. Saya tidak membutuhkan banyak biaya untuk hidup dengan sehat dan efisien."

Kemudian Cak Dai bercerita tentang pengalamannya ketika tinggal di Badui.

"Saya tidak tinggal di Badui dalam. Di Badui dalam saya hanya berkunjung saja, lebih banyak menghabiskan waktu di Badui luar. Namun tentu ada banyak hal yang bisa saya petik dari sana. Saya bahkan tidak mau pulang ke Jember, mendaftarkan diri untuk menjadi bagian dari masyarakat Badui. Sayang, aturan Adat membuat saya tidak bisa menjadi bagian dari mereka.

Cerita berlanjut pada bidang Farmasi.

"Badui punya obat di sepanjang jalan. Setiap halaman adalah apotek bagi mereka. Sedangkan di sini obat-obatan dijual mahal dan harus dijaga oleh lembaga khusus. Orang yang ingin menjual obat itu harus membuat toko dulu yang bangunannya dibuat dari batuan dan semen. Kita bahkan tidak tahu, apakah batuan dan semen itu diambil dengan cara tetap memperhatikan lingkungan, atau malah menciptakan ketidakadilan di bidang lingkungan. Setelah toko tersedia, mereka masih harus mempunyai seorang apoteker. Sedangkan untuk menjadi sarjana apoteker harus menempuh pendidikan dulu agar bisa melakukan pekerjaan di bidang kefarmasian, dan itu mahal. Padahal maju itu tidak menyusahkan dan seharusnya tidak membutuhkan banyak biaya. Maju itu seharusnya efisien secara waktu dan ekonomi."

Suatu hari ketika di Badui, Cak Dai merasakan kepalanya pusing sekali. Oleh salah satu warga Badui, ia diambilkan sejenis rumput, rumput itu ditumbuk, cairannya diteteskan pada kepala Cak Dai yang pusing. Setelah itu pusingnya berangsur-angsur hilang. Tidak ada efek samping pada obat alami tersebut.

"Orang Badui itu ketika bangun kesiangan, ia masih bisa makan. Mereka memiliki banyak sekali harta kekayaan. Ada durian, pisang, umbi-umbian, dan sebagainya. Lihat orang kota. Jika mereka bangun jam sembilan pagi, apalagi bangun jam satu siang, mereka susah untuk cari makan. Harus mbecak dulu baru bisa makan. Itu juga kalau ada penumpang. Jadi lebih maju mana menurut teman-teman?"

Kita memang sering melabeli seseorang atau sebuah kelompok masyarakat dengan label 'pedalaman' atau label-label yang lain. Kita paksa mereka untuk bersekolah, memberi mereka seragam, dan memaksa mereka untuk hidup maju dan modern seperti kita, namun pada kenyataannya kita sedang menjajah tapi sangat tidak mau jika ada yang menyebut kita penjajah.

"Di Badui tidak pernah berdiri Universitas kehutanan, tapi mereka memiliki hutan yang bagus. Di sana tak pernah ada Fakultas Pertanian, tapi mereka bisa menghasilkan padi yang punel, yang bisa mereka simpan sangat lama meskipun hanya mengggunakan teknik penyimpanan tradisional."

Cak Dai melanjutkan penjelasannya. Badui bisa seperti itu sebab mereka konsisten pada ilmu pengetahuan yang mereka dapat secara turun temurun.

"Ilmu pengetahuan mereka mungkin tidak sebanyak orang-orang kota, namun mereka konsisten. Dengan kata lain, mereka hidup atas nama ilmu pengetahuan. Sekarang mari kita bercermin bersama-sama, apakah kita telah konsisten pada ilmu pengetahuan yang telah kita dapatkan sejak bangku sekolah dasar?"

Contoh kasus yang Cak Dai paparkan mengantarkannya untuk sedikit bicara tentang bidang kebersihan.

"Siapa bilang kota lebih bersih dan lebih hiegenis? Rumah-rumah mereka kotor. Kenapa terlihat bersih? Jelas saja terlihat bersih, lha wong sampahnya dibuang ke desa. Apakah ini yang dinamakan maju dan berpendidikan? Ini bukan hanya sampah yang terlihat. Sampah yang tak terlihat juga banyak. Mereka mengirimkan air limbah rumah tangga lewat got-got kecil, mengalir ke sungai, lalu menyebar hingga ke desa-desa."

Kata Cak Dai, sekarang tidak ada lagi lirik lagu yang diciptakan Pak Gesang, yang ada gersang.

"Saya cari-cari, dimana lirik lagu Pak Gesang yang indah itu? Air mengalir sampai jauh, dimana ya mengalirnya. Oh ternyata air kita dijual. Berarti kita sedang berjalan mundur, tidak maju, sebab maju itu tidak menyusahkan. Orang tempo dulu tentu lebih maju, sebab mereka tak perlu membeli air yang mengalir di atas tanah airnya sendiri."

"Logikanya, hari ini kita lebih sehat dari para pendahulu, lebih berpotensi memiliki usia yang panjang, temannya lebih banyak, dan sebagainya. Kenapa? Sebab konon kita lebih berpendidikan. Apakah itu terjadi? Jika tidak terjadi maka kita tidak maju."

Cak Dai curiga jika para pemimpin kita belum satu kesepemahaman tentang kata maju. Ia bilang, banyak desa ingin disebut maju agar dianggap bagus oleh Bupati. Kota ingin dianggap maju oleh Gubernur Propinsi. Mereka juga berlomba-lomba melakukan banyak hal hanya karena ingin dianggap maju oleh Presiden. Di setiap kesempatan, Presiden selalu berkata pada rakyat untuk bersama-sama menuju Indonesia yang maju agar tidak kalah dengan negara-negara lain.

"Kita ini kan mengekor dunia yang sudah maju. Misalnya, Amerika. Ya sama seperti yang dikatakan sampean tadi. Orang bakal dianggap maju jika makan di KFC atau McDonald's. Padahal jika mereka mau jujur, rasa ayam kampung tentu jauh lebih nikmat dibanding suguhan yang mereka tawarkan. Di bidang ini pun telah ada penjajahan rasa. Lagi-lagi kita mengekor. Ekor itu kan buntut, letaknya di belakang. Lalu kapan kita menjadi Ndas? Kita butuh memiliki tafsir sendiri tentang maju. Maju itu apa? Itu yang harus kita lacak dan kita pikirkan bersama."

Selama ini banyak orang yang terjebak memelihara anggapan. Istilah 'memelihara harapan' pernah saya dengar dari orang yang sama --Cak Dai-- di pertemuan sebelumnya.

"Ingin dibilang maju agar mendapat pengakuan dari pihak lain, itu namanya penyakit memelihara anggapan. Orang sibuk melakukan ini dan itu hanya karena sibuk memelihara anggapan. Selain tidak efisien, buat apa kita hidup jika hanya untuk memelihara anggapan? Maka kita hanya akan dapat sibuknya saja. Sibuk memelihara anggapan, agar dianggap sebagai pemimpin yang baik, agar dianggap pintar, agar dianggap peduli, agar dianggap memiliki jiwa sosial yang tinggi, agar dianggap hebat, agar dianggap begini dan begitu. Jika kita masih berkutat di sisi memelihara anggapan, maka kita tidak maju."

Hidup itu harus dirasakan secara energi pikir, dipertimbangkan secara kesehatan, dan dipikirkan secara efisiensi waktu | Ahmad Dainuri


Itulah tafsir maju dan penyakit memelihara anggapan yang dipaparkan oleh Cak Dai. Tentu masih ada hal lain di luar yang telah saya catat ini. Semoga ada hikmah dan bahan perenungan yang bisa saya dan teman-teman petik dari obrolan-obrolan kita kemarin, 31 Januari 2015.


Backdrop oleh Dedi Supmerah, dari bekas kantung semen dan sisa cat sisa

Teman-teman, masih ada banyak hal yang belum saya tuliskan di sini, terutama pemikiran Mas Ari tentang bagaimana sebaiknya memandang dan berkecimpung di dunia ekonomi. Semoga di lain waktu saya bisa menuliskannya. Mohon maaf jika ada salah kata. Saya menuliskan catatan ini dengan gaya berdialog namun bukan atas dasar data rekaman melainkan dari berbagai catatan. Jadi maaf jika redaksional dialog tidak tepat seratus persen.

Ucapan terima kasih:

Untuk para teman bicara, Cak dai dan Mas Ari, Keluarga Kedai Gubug, Dedi Supmerah, Ivan Adhitya Abdillah, teman-teman Macapat Cafe, teman-teman InfiniTeam Jember Bike, teman-teman Pencinta Alam Jember, Persma Jember, Jember Photography, Cak Wang, Cak Oyong, Mas Genjur Titik 0 Kilometer Jember, Mas Wahyu Kris sekeluarga, Iip wiraswasta laundry di Jember, Danang, Mbak Etty Dharmiyatie, serta untuk rekan-rekan semua yang belum saya sebutkan, sekali lagi terima kasih.
Semoga kita bisa berjumpa di acara lanjutan 3eNG: Ngobrol Ngalor Ngidul. Kami keluarga tamasya berencana menamainya tengtengcrit, tenguk-tenguk cerito-cerito. Terima kasih.

Salam saya, RZ Hakim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.

RZ Hakim © 2014