Rabu, 30 September 2015

Senyum Sroedji di Album Foto Elok Satiti

Rabu, 30 September 2015

Elok Satiti di Usia Tiga Tahun

Dia terlahir di Kediri dengan nama Elok Satiti, tepatnya pada 3 November 1934. Kedua orang tuanya, Munasim Sukowiryo dan Twiyani, keduanya jebolan Taman Siswa. Pantas jika ketiga anak-anak mereka --Idi Retnani, Karoeniyo, dan Elok Satiti-- mendapatkan porsi pendidikan yang cukup tinggi di masanya.

Kisah sebelumnya tentang keluarga Elok Satiti pernah saya tulis di artikel berjudul, Sroedji itu Teman Main Badminton Bapak Saya.

Ketika pindah ke Jember pada 1941/1942, Twiyani tak menjumpai bidan lain selain dirinya. Di Jember lebih banyak dukun beranak tradisional dibanding yang tamatan sekolah seperti bidan. Berikut adalah foto --dari album keluarga Elok Satiti-- ketika Twiyani berbagi ilmu dengan dukun beranak di Tulungagung tahun 1940.


Berbagi Ilmu di Tulungagung, 1940

Saya masih ingat di perjumpaan pertama kami, di pertengahan bulan April lalu. Oma, begitu kami memanggilnya, ia pernah bilang, "Jika saya tidak keliru, Ibu sayalah yang membantu proses kelahiran ketika istri Letkol Moch. Sroedji hendak melahirkan." Manakala sekeping kisah tersebut saya sampaikan kepada pihak keluarga Sroedji, saya mendapatkan pencerahan sebagai berikut;

Dari empat buah hati pasangan Moch. Sroedji dan Rukmini, dua diantaranya proses kelahirannya dibantu oleh seorang bidan yang bertugas di Jember.

1. Anak kedua Moch. Sroedji yaitu (Alm) Drs. H. Supomo
2. Anak ketiga Moch. Sroedji yaitu Sudi Astuti.

"Jadi kalau Bu Rukmini sudah dekat waktu melahirkan, Pak Rustamadji --ayahnya Bapak Herry Hafiad-- yang jemput Bu Twiyani atau Bu Munasim, untuk membantu proses persalinan," tulis Irma Devita di jejaring sosial. Irma Devita adalah cucu Moch. Sroedji dari putri bungsunya.

Sroedji itu Teman Main Badminton Bapak Saya

Itu juga bukan isapan jempol. Benar adanya jika Ayahanda Elok Satiti yang bernama Munasim Sukowiryo, ia adalah rekan bermain badminton Sroedji, ketika mereka sama-sama di Kreongan, Jember. Tadi siang, ketika saya dan istri sowan ke rumah Oma, telah dia siapkan setumpuk foto-foto untuk diperlihatkan kepada kami. Diantara foto-foto itu, ada saya jumpai sosok Moch. Sroedji, seorang pejuang masa revolusi yang patungnya ada di pelataran PEMKAB Jember.


Foto Moch. Sroedji ketika berada di Kreongan-Jember tahun 1942. Ia bersama Munasim Sukowiryo serta rekan-rekan pemain badminton lainnya. Repro pada 30 September 2015


"Ketika Jepang masuk, tiba-tiba semua menjadi berbeda. Pantas saja jika orang-orang yang hidup di masa kependudukan Belanda bilang, zaman normal telah berganti. Lihat foto di atas, ada stempel warna merah. Itu stempelnya Jepang. Semua foto wajib diberi tanda itu. Bahkan foto-foto lama, yang dijepret sebelum era Jepang masuk di sini, juga mendapat perlakuan yang sama."

Kata Oma, kami beruntung masih bisa melihat sosok Moch. Sroedji di foto itu.

"Lihat, Pak Sroedji tersenyum lebar. Kedua tangannya direntangkan untuk memeluk orang-orang di sekitarnya. Memang beliau seperti itu. Yowes koyok sing nang foto iku."

Oma bersyukur sekali sebab wajah Pak Sroedji tidak tertutup oleh stempel merah milik Jepang.

Oma, matur nuwun. Terima kasih banyak. Doa terbaik untukmu.

Salam saya, RZ Hakim

2 komentar:

  1. Betapa Pak Sroedji orangnya terbuka, ramah, dan baik hati. Merinding saya memperhatikan foto yang terjaga awetnya ini. Betapa sangat penting untuk generasi mendatang.

    BalasHapus
  2. itu berbagi ilmunya... semacam pelatihan ya
    istilah kerennya workshop

    mungkin cikal bakal posyandu?

    BalasHapus

Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.

RZ Hakim © 2014