Jelajah Negeri Tembakau. Foto oleh Andrey Gromico.
"Semisal kamu ke Lombok untuk urusan tembakau, jangan bilang jika kamu berasal dari Kalisat. Bilang saja dari Jember, Jawa Timur. Tak perlu kau sebut-sebut nama kecamatan Kalisat."
Mulanya saya tak mengerti apa yang dimaksud Mustafa, salah seorang 'pemain' tembakau dari Kalisat. Ia mengatakannya dua hari sebelum saya berangkat ke Lombok. Mustafa mengira tujuan saya ke Lombok adalah untuk urusan niaga. Dia bilang, "Syarat berniaga yang paling dasar adalah kepercayaan. Nah, itu dia yang kita tidak punya." Dulu sekali, setiap musim tembakau tiba, ia beserta sedikit teman-temannya sesama pedagang tembakau sering bolak-balik Jember-Lombok untuk urusan tembakau. Namun setelah ada segelintir penipu --dari Kalisat-- yang suka tidak suka juga turut mencoreng nama baiknya, Mustafa semakin jarang ke Lombok.
"Pedagang dari Kalisat, mereka pandai sekali. Mula-mula beli tembakau dari Lombok sekian ton, lalu dibawa ke Jember atau ke Temanggung, uang cair. Kadang diberi bonus uang lebih. Pembelian kedua cair! Begitu pembelian ketiga dan seterusnya, tiba-tiba dia hilang entah kemana. Yang diingat oleh orang Lombok tentu daerah asal si penipu. Kalisat!"
Kepada Mustafa saya ucapkan terima kasih telah berbagi kisah. Lalu, agar dia tidak khawatir, saya bercerita tentang asal muasal mengapa hendak bepergian ke Lombok.
"Jadi begini, ada seorang teman yang kini tinggal di Jakarta, Nuran namanya. Di pemula bulan September kemarin dia menawarkan sebuah ajakan untuk jalan-jalan ke Lombok, dengan sedikit liputan. Nama acara itu, Jelajah Negeri Tembakau. Ini kali ketiganya Jelajah Negeri Tembakau diselenggarakan. Nuran bilang, nanti kita bakal diajak jalan-jalan ke perkebunan tembakau, ngobrol dengan petani, dan main ke gudang tembakau untuk melihat proses sortasi dan lain-lain. Pikir saya, menarik sekali. Dengan senang hati tawaran itu saya terima."
"Oh, saya kira Mas Hakim mau dagang mbako," ujar Mustafa. Saya tertawa mendengarnya.
"Begitu saya cerita ke istri tentang Jelajah Negeri Tembakau, eh dia juga ingin turut serta. Iseng Hana bertanya kepada Nuran, apa masih ada satu kursi kosong di Jelajah Negeri Tembakau. Ndilalah Nuran mengusahakannya, Hana pun tercatat sebagai salah satu peserta. Saya garuk-garuk kepala, membayangkan apa jadinya nanti jika dia mabuk perjalanan."
"Jadi ini ceritanya, berangkat dari negeri tembakau Jember menuju negeri tembakau Lombok." Saya tertawa mendengar ucapan Mustafa.
Kata Mustafa, ada satu obat mujarab jika tak ingin mabuk selama perjalanan. "Ambil sedikit tembakau yang sudah kering dan dirajang, remas-remas pakai jari, lalu taruh di pusar. Boleh juga diberi isolasi agar tembakau tak jatuh. Dijamin tidak mabuk!" Hana turut mendengarnya sambil mesam-mesem. Kelak, dia lupa untuk mencobanya.
Sakit Gigi di Bulan Oktober
Cepat sekali waktu berganti, tiba-tiba sudah bulan Oktober.
Dimulai pada 1 Oktober 2015, saya dan Hana berangkat dari Jember menuju Sidoarjo dengan naik kereta api Mutiara Timur. Sesampainya di sana, sembari menanti datangnya Yopi, seorang teman yang tinggal di Sidoarjo, saya dan Hana merapat di sebuah warung di tepi jalan.
“Nginep nang omahku wae, sesok’e tak terne nang Juanda,” begitu kata Yopi ketika saya menyampaikan maksud hendak berlabuh semalam di Sidoarjo.
Sidoarjo tak hanya sumuk, ia juga memiliki stok nyamuk yang lumayan banyak. Kata Ita istri Yopi, “Begini ini keadaan rumah kami ketika kemarau tiba. Gorong-gorong mampet, banyak genangan air, jadi tempat yang nyaman bagi nyamuk-nyamuk untuk berkembang biak.
Bukan nyamuk yang saya keluhkan. Sidoarjo tetap indah sebanyak apapun nyamuknya. Tapi gigi geraham bawah sebelah kiri saya sedang cenut-cenut, sakit sekali. Ini kali pertama saya sakit gigi lagi setelah sekitar lima tahunan tak pernah kumat. Satu Oktober di Sidoarjo, gigi cenut-cenut, maka saya tak ada hasrat untuk nyruput kopi di rumah Yopi. Ketika itu, di twitter sedang ramai hestek Hari Kopi.
"Kalau masih sakit gigi, obat pereda sakit tidak mempan, cobalah untuk memasukkan sedikit tembakau rokok tepat di gigi yang berlubang," saran Yopi. Ia mengatakannya dalam bahasa Jawa dialek Jember-an. Ada lagi manfaat tembakau, tak hanya untuk obat pengusir pacet saja, pikir saya. Malam itu saya keburu tidur, tak sempat mempraktekkan saran dari Yopi.
Esoknya, gigi saya tak lagi cenutan. Syukurlah. Yopi mengantarkan saya dan Hana ke Juanda. Kami berangkat lebih awal untuk memudahkan proses registrasi. Di sana, untuk kali pertamanya kami berjumpa dan berkenalan dengan Shellya Febriana Anindhita, gadis cantik penulis di Mojok. Ia banyak membantu kami ketika hendak check-in pesawat.
Lalu kami terbang menuju pelukan negeri tembakau.
Sesampainya di BIL –Bandara Internasional Lombok—di sana telah menanti rombongan dari Jogja, serta satu peserta dari Denpasar, Pito namanya. Jika dihitung total seluruh peserta Jelajah Negeri Tembakau, kalau tidak keliru jumlah kami 22 orang.
Saat Kami Pergi, Petani Tembakau di Jember Sedang Menangis
Ketika saya dan Hana melakukan perjalanan ke Lombok untuk mengikuti ‘Jelajah Negeri Tembakau,’ harga mbako di Jember sedang menangis. Pasalnya, daun-daun tembakau di sini dilekati oleh abu vulkanik dari erupsi gunung Raung, beberapa waktu sebelumnya. Ia menyebabkan pembeli-pembeli besar tak sudi melirik emas hijau di Kota Seribu Gumuk ini. Jika sudah begini, aktor paling rapuh dalam urusan tata niaga tembakau tak lain adalah para petani.
Namun Lombok memiliki jenis tembakau unggulan yang berbeda dengan tembakau di Jember, yaitu Voor-Oogst Virginia jenis Flue Cured. Ia adalah jenis tembakau yang dibutuhkan sebagai bahan untuk sigaret kretek mesin rendah nikotin, yaitu untuk jenis-jenis rokok varian mild.
Orang Jember punya nama sendiri untuk tembakau jenis Virginia jenis Flue Cured, yaitu Mbako Kuning sebab warnanya memang lebih cerah dibanding tembakau jenis kasturi. Ada juga yang menyebutnya Mbako Oven, karena memang daun-daun tembakau jenis Virginia jenis Flue Cured ini mengalami masa pengovenan, disimpan di sebuah gudang yang diatur sedemikian rupa dengan suhu tertentu, agar daun tembakau mengalami kematangan sesuai standart industri.
"Dulu Mbako Kuning tak hanya ditanam di Lombok, namun beberapa wilayah di Jawa Timur juga menanamnya, diantaranya ya di Jember ini," ujar Adi Wiyono, seorang guru Sekolah Dasar di Kalisat yang juga penanam tembakau. Dua kota lain selain Jember yang menanam tembakau Virginia adalah Bojonegoro dan Jombang. Bojonegoro bahkan pernah menjadi tolak ukur kesuksesan tembakau Virginia, sebelum dilampaui oleh Lombok.
Sejarah tembakau Nusantara mencatat, jika di tahun 1978 telah terjadi kerugian yang besar sekali terhadap produksi tembakau voor-oogst Vrginia. Kerusakan tersebut disebabkan karena curah hujan yang berlebihan. Lalu apa yang terjadi? Mengingat modal petani yang terbatas, diantara mereka sebagian besar mengalihkan tanamannya dengan tanaman pangan.
Jika tertarik dengan gagal panen tembakau Virginia di Jawa Timur tahun 1978, silahkan buka spoiler di bawah ini. Di sana juga ada sedikit informasi tentang tembakau Garangan yang hilang dari pasaran, sebab konsumen tembakau lintingan --di Temanggung, Wonosobo, dan Banjarnegara-- beralih ke rokok putih serta kretek.
Tembakau Virginia di Jawa Timur:
Ketika di Lombok
Malam pertama di Lombok, kami istirahat di Arianz Hotel, Mataram. Lokasinya tepat di seberang Taman Sangkareang. Baru esok harinya, Sabtu, 3 Oktober 2015, kami para peserta Jelajah Negeri Tembakau berkunjung ke Gudang Tembakau milik PT. Djarum di desa Montong Gamang, kecamatan Kopang, Lombok Tengah.
Adalah Iskandar, lelaki asal Krian, Sidoarjo kelahiran 12 November 1955, yang menyambut kami dengan ramah di ruang kerjanya. Menurut pria berkacamata bening yang merintis budidaya tembakau Virginia FC sejak 1985 ini, Lombok menjadi pemasok terbesar untuk kebutuhan sigaret kretek mesin rendah nikotin. Pasokannya untuk tembakau Virginia jenis Flue Cured hingga 90 persen, jauh melampaui kualitas dan kuantitas tembakau dari Bojonegoro, dengan jenis tembakau yang sama. Atas keberhasilannya merintis budidaya tanaman tembakau Virginia di Lombok sejak 30 tahun lalu, hingga sekarang keahliannya tetap dihargai oleh pihak Djarum. Kini ia menjabat sebagai senior manager Djarum untuk gudang sortasi tembakau di Montong Gamang.
Menurut Iskandar, pihaknya bukan yang pertama mengenalkan tembakau jenis ini di Lombok. Dimulai pada 1969, tim dari British American Tobacco (BAT) lebih dahulu memperkenalkan Virginia FC untuk ditanam di tanah Lombok. Keberhasilan mereka dalam memperkenalkan varian tembakau baru, segera diikuti oleh perusahaan lain. Dua puluh tahun kemudian, barulah Iskandar diberi tugas oleh pihak Djarum untuk membuka lahan Virginia di Lombok. Langkah ini dilanjut dengan membuat sistem kemitraan antara pihak perusahaan dengan para petani.
Setelah puas mendengar penjelasan rinci dari Iskandar, dimulai dengan sejarah keberadaan pihak Djarum di Lombok hingga bagaimana mereka berhubungan dengan para petani secara kemitraan yang saling menguntungkan, diajaknya kami para peserta Jelajah Negeri Tembakau untuk berkeliling di dalam gudang. Mula-mula yang saya lihat adalah proses transaksi antara petani/tengkulak yang membawa hasil bumi berupa tembakau Virginia dengan pihak perusahaan, lalu melihat proses bongkar muat, proses penandaan, hingga proses sortasi, pemisahan daun-daun tembakau itu sesuai kelasnya. Kami juga bisa melihat secara langsung proses pengovenan daun tembakau.
Suasana di dalam gudang Montong Gamang, para perempuan sedang melakukan proses sortasi daun tembakau. Mereka melakukannya dengan riang sambil sesekali bercanda dengan sesama pekerja di kiri kanannya.
Ketika melihat Ibu-ibu sedang melakukan sortasi, saya ditemani oleh Syamsul (32 tahun), seorang lulusan sarjana pendidikan yang lebih bangga menyebut dirinya sebagai sarjana tembakau. Kepadanya saya bertanya, mengapa ada setumpuk daun tembakau yang bercampur dengan rafia dan beberapa plastik lainnya?
"Oh, itu kita namakan NTRM, Non-Tobacco Related Materials. Jadi, kita harus sortir benda asing yang tercampur pada daun tembakau."
Syamsul teman bicara yang baik. Darinya saya banyak mengerti tentang hubungan antara petani tembakau di Lombok dan perusahaan. Jadi, sistem kemitraan yang dibangun oleh Iskandar tak hanya hidup saat perusahaan butuh bahan baku saja. Mendengar paparan Syamsul, saya jadi mengerti jika terdapat juga hubungan kekerabatan di luar jual-beli tembakau. Meski demikian, petani tak hanya terpatok pada perusahaan Iskandar dalam hal penjualan tembakau. Mana yang menurut mereka menguntungkan, tembakau akan dijualnya ke sana.
Setelah puas melihat-lihat proses memperlakukan tembakau di dalam gudang, kami para peserta Jelajah Negeri Tembakau diajak untuk bergeser ke Dusun Paok Rengge, Desa Waja Geseng, Lombok Tengah, untuk melihat lebih dekat kehidupan petani binaan perusahaan tempat Iskandar dan Syamsul bernaung.
Singgah di Dusun Paok Rengge, Lombok Tengah
Di sini kami diajak untuk melihat bagaimana masyarakat petani di Paok Rengge dalam memperlakukan tembakau, melihat secara langsung ruang pengovenan, berdiskusi dengan perwakilan petani yaitu Sukirman dan Syamsul, serta makan bersama. Menyenangkan. Saya seperti sedang kulak'an ilmu pengetahuan tentang tembakau jenis Virginia FC.
Mencermati hasil diskusi di dusun Paok Rengge, saya kira ada persamaan perilaku antara petani tembakau di Lombok dengan yang di Jember. Ketika harga tembakau sedang jaya, mereka suka berfoya-foya. Membeli barang-barang yang belum tentu menjadi kebutuhannya. Seperti kasus membeli kulkas hanya untuk dijadikan almari pakaian, misalnya. Mereka tidak memiliki pengetahuan mengelola uang hasil panen. Jadi, kehadiran sebuah kemitraan --yang adil-- akan sangat dibutuhkan oleh para petani, agar mereka kuat dan mampu mempersenjatai dirinya dengan ilmu pengetahuan. Selain itu, kehadiran sebuah koperasi pengelola keuangan tentu juga sangat dibutuhkan masyarakat petani, dimana mereka bisa menyimpan uang dan atau meminjam dana lunak untuk kepentingan tanam tembakau.
Setelah puas sinau di dusun Paok Rengge, malam harinya kami diajak oleh penyelenggara Jelajah Negeri Tembakau untuk makan malam sambil berbincang dengan seorang novelis yang juga peneliti dinamika sosial masyarakat NTB, Paox Iben Mudhaffar namanya.
Saya akui, saya mendapatkan banyak hal ketika berdiskusi dengan Paox Iben Mudhaffar. Itu yang membuat saya berinisiatif untuk bikin catatan tersendiri, seputar isi diskusi.
Ada juga cerita lain yang tak saya tuliskan di sini. Ketika mampir di pantai, saat bersenang-senang di air terjun Sindang Gile dan Tiu Kelep, serta ketika bermalam di Masyarakat Adat Bayan di desa Karang Bajo, Lombok Utara. Saya berencana menuliskannya di kesempatan yang lain.
Teman-teman Jelajah Negeri Tembakau, terima kasih.
wah seru ya, dan ada tipsnya pula, nice info
BalasHapusBunga tembakau itu indah ya ..
BalasHapusGak butuh tembakau virginia bojonegoro pak/bu
BalasHapusOm, di jombang juga ada perkebunan tembakau
BalasHapusDija pernah main main kesana
tapi cuma di kebun kebun petani aja
gak sampe ke pabriknya gitu