Jika saya adalah Nanang, tentu saya akan sangat merasa sedih saat tak sengaja menonton televisi misalnya, lalu disuguhi berita sedih tentang TKI. Di negeri yang kabarnya gemah ripah loh jinawi ini, adalah mudah menjumpai kisah sedih para TKI. Kita hanya tinggal memilih, ingin kisah sedih yang seperti apa? Dipukul majikan? Disetrika? Tentang seorang pekerja perempuan yang tak berkuasa utuh atas tubuhnya sendiri? Tidak digaji? Tenaga kerja yang pulang dalam keadaan sakit atau bahkan lebih parah lagi? Pulang tinggal nama? Semua kisah-kisah itu ada di sini. Bahkan sering dikabarkan, seorang TKI yang membawa segenggam tanah dari negaranya sendiri --Indonesia-- disiksa oleh majikannya sebab dianggap sedang melestarikan ilmu sihir. Padahal bisa jadi dia hanya sedang mengikuti kebiasaan yang berlaku di desanya.
Jika saya adalah Nanang, berita-berita seperti itu hanya akan memperpanjang kerinduan pada perempuan yang melahirkan saya. Kiranya, rindu yang sangat menyiksa adalah ketika kita sama sekali tak tahu bagaimana kabar orang yang kita rindukan. Sedangkan bab rindu tak mungkin dijabarkan secara lugas dalam bahasa hukum.
Bahkan ketika para pahlawan devisa itu pulang ke pelukan tanah airnya sendiri, penderitaan masih kerap berlangsung. Para buruh migran yang pulang ke Indonesia, ketika di bandara selalu dipersulit, diperas, padahal mereka tidak sedang melakukan kejahatan.
Begitulah, negeri kita memiliki beragam catatan mengenai kisah para buruh di negeri orang, terlebih tentang perlindungan hukumnya terhadap buruh migran.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, telah tercatat dalam lembar sejarah mengenai kisah tentang penempatan buruh kontrak Hindia Belanda ke Suriname, sebuah wilayah di Amerika Selatan yang dulu juga merupakan wilayah koloni Belanda. Itu terjadi pada (sejak) 125 tahun yang lalu. Di masa tersebut, mereka mulai menggantikan tugas para budak asal Afrika untuk bekerja di perkebunan-perkebunan yang telah mulai terlantar, sebab para budak asal Afrika telah mulai dibebaskan, dimulai pada 1 Juli 1863.
Tapi kini para buruh migran tak sedang hidup di masa kerja paksa, sebab Hukum Internasional melarang adanya kerja paksa dan perdagangan manusia. Jika masih ada situasi yang serupa kerja paksa, pastilah ada sesuatu yang salah.
Dimana negara ketika kisah-kisah sedih itu berlangsung? Sering saya baca di media-media, mereka (Pemerintah) telah melakukan banyak perbaikan. Meninjau dan melakukan penyempurnaan pada undang-undang, memastikan para buruh migran agar memperoleh hak untuk mendapatkan kondisi kerja yang pantas lagi adil; seperti hak atas keselamatan kerja, jam kerja, upah yang layak, dan sebagainya. Bagaimanapun, buruh migran tak sedang menjalani kerja paksa. Lalu, apakah ia bisa menjamin kesejahteraan para buruh migran? Sayangnya, kisah-kisah tentang ketidakadilan yang menimpa buruh migran masih saja terdengar.
Indonesia memiliki masalah pada dua bidang, mental korupsi dan birokrasi yang bertele-tele. Dua poin ini sangat berdampak pada tata kelola rekruitmen calon buruh migran, ketika mereka telah menjadi buruh migran, hingga di saat kepulangannya. Dua mental buruk itu benar-benar menggerogoti mutu pelayanan dan perlindungan terhadap buruh migran.
Jambore Buruh Migran. Dokumentasi pribadi, 23 November 2015
Di akhir bulan November ini, saya (beserta istri) mendapat kesempatan untuk mengikuti sebuah acara penting, Jambore Buruh Migran. Ia digelar selama tiga hari di lingkungan Universitas Jember, tepatnya di Gedung Soetardjo, sedari 23 November hingga 25 November 2015.
Mulanya, ketika mendengar kabar bahwa Jember akan dipilih sebagai tempat berlangsungnya Jambore Buruh Migran, hati ini terasa riang. Saya benar-benar butuh mengerti banyak tentang acara ini.
JAMBORE BURUH MIGRAN
Dipilihnya Jember sebagai tuan rumah Jambore Buruh Migran, selain kabupaten ini merupakan salah satu kantong TKI terbesar, di sini juga ada sebuah Universitas Negeri yang memiliki kepedulian terhadap buruh migran.
Mengapa ada nama-nama yang berbeda, seperti TKI dan TKW yang sudah terlanjur kondang terlebih dahulu, lalu kini berubah menjadi buruh migran? Sebelum Joko Widodo menjabat sebagai Presiden, para pekerja asal Indonesia di Hong Kong meminta penghapusan istilah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) lalu diganti menjadi Buruh Migran Indonesia (BMI). Istilah BMI lebih manusiawi, menunjukkan kesetaraan, kesamaan hak dan manusiawi. Poin ini juga dijadikan salah satu resolusi para Buruh Migran Indonesia ketika mendeklarasikan Barisan Relawan Jokowi Presiden 2014 di Victoria Park, Hongkong, pada hari Minggu, 25 Agustus 2013. Namun jika kita mundur ke belakang, istilah 'buruh migran' telah beberapa kali saya jumpai di catatan yang berkisah tentang migrasi buruh.
Pergantian nama dirasa penting, ia membungkus sejuta harapan mengenai perubahan --yang baik-- untuk para pekerja Indonesia di negeri orang. Harapan itu menyangkut banyak hal, diantaranya tentang keadilan di berbagai sisi terutama sisi ekonomi dan politik, kesetaraan gender, dan sepenuhnya dilindungi (sejak saat perekrutan, di penampungan, saat penempatan kerja hingga kepulangan). Jika itu terlaksana, alangkah indahnya. Dampaknya akan terasa sedari awal, misalnya dengan terus menerus memperbaiki praktek perekrutan dan pengiriman buruh migran, proses pelatihan dan perekrutan yang tak lagi berbelit-belit, meninjau pelatihan berbahasa, calon buruh migran diberi dasar-dasar pengertian mengenai apa saja hak-hak mereka, pemantauan selama di lapangan, dan sebagainya. Juga dirasa sangat perlu untuk menindak tegas agen-agen tenaga kerja yang tak berlaku adil. Jika itu tidak terjadi, maka pergantian nama --menjadi BMI-- hanya tinggal cerita. Istilah itu mungkin akan berganti lagi di kemudian hari.
Mutu pelayanan dan perlindungan terhadap buruh migran (beserta keluarga yang ditinggalkan) inilah yang dibicarakan dalam Jambore Buruh Migran. Tentang memikirkan ulang sistem migrasi yang lebih baik, tentang bagaimana sebaiknya memberi bantuan hukum saat buruh migran membutuhkan, memperbaiki tempat penampungan yang seringkali kecil dan penuh sesak, memberikan layanan konsultasi psikologis jika dibutuhkan, membicarakan konsep untuk melindungi kepulangan buruh migran (melindunginya dari potensi pemerasan), dan tentang bagaimana sebaiknya para buruh migran melindungi dirinya sendiri; melek teknologi, mengetahui cara untuk datang ke kantor imigrasi atau ke kedutaan, serta mempersenjatai diri dengan pengetahuan.
Selain membicarakan isu-isu seputar ketidakadilan pada buruh migran, tentu dibicarakan pula mengenai Revisi UU No 39/2004.
Bila kita melihat tema-tema pembicaraan bergizi yang diangkat dalam Jambore Buruh Migran, maka mudah untuk memahami betapa banyak orang yang menaruh harapan tinggi akan keberpihakan dan kepedulian pemerintah terhadap buruh migran.
Di Hari Pertama Mengikuti Jambore Buruh Migran
Saya menulis untuk TANOKER, sebuah komunitas belajar masyarakat yang berpusat di kecamatan Ledokombo kabupaten Jember. Segala kebutuhan saya, mulai dari ID Card, kupon konsumsi, kaos, payung, dan sebagainya, disediakan oleh Renata. Ia adalah koordinator dokumentasi untuk Tanoker.
Acara penting ini ditempatkan di Gedung Soetardjo Universitas Jember. Menurut versi Migrant Care selaku penggagas acara, para peserta berjumlah 1697 orang. Mereka berasal dari kelompok buruh migran yang datang dari Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, serta beberapa negara seperti Malaysia, Singapura, Hongkong, Korea Selatan, Taiwan, Saudi Arabia dan Belanda. Sebagian besar dari mereka telah datang sejak hari Minggu, 22 November 2015. Sedangkan acara berlangsung selama tiga hari, 23-25 November 2015.
Telah dijelaskan di hari pertama, bahwa kegiatan Jambore Buruh Nasional yang mengambil tema 'NEGARA HADIR, BURUH MIGRAN TERLINDUNGI' ini merupakan kolaborasi antar pemangku kepentingan dalam tata kelola perlindungan buruh migran yaitu Migrant CARE, BNP2TKI dan Universitas Jember untuk merumuskan road map (peta jalan) perlindungan buruh migran Indonesia. Jika tertarik dengan siaran pers dari Migrant Care, Anda bisa membacanya di sini.
Kekecewaan Pertama, Presiden Tak Jadi Datang
"Kami datang jauh-jauh dari NTT ke Jember berjumlah 161 orang, tentu kami kecewa sebab Pak Joko tak bisa hadir di Jambore Buruh Migran untuk membuka acara ini, seperti yang telah direncanakan." ujar Pak Kur, peserta dari NTT.
Selain Presiden Joko Widodo, empat Gubernur yang sedianya hadir di pembukaan Jambore Buruh Migran, mereka juga tak bisa datang. Bahkan Gubernur Jawa Timur, Dr. H. Soekarwo, S.H, M.Hum. juga berhalangan hadir. Meski demikian, mereka mengirimkan wakil-wakilnya. Praktis, kehadiran negara hanya diwakili oleh penyelenggara daerah hingga lingkup terbawah, yaitu Pemerintahan Desa.
"Katanya, negara hadir? Lha mana? Yang dimaksud negara di sini itu kan pemerintah? Idealnya kan harus ada perwakilan dari para penyelenggara tertinggi? Mana?" Syukurlah, kegundahan Hana --rekan penulis-- terjawab di hari terakhir ketika Menaker Hanif Dhakiri jadi datang ke Jambore Buruh Migran di Jember.
Seremonial acara pembuka Jambore Buruh Migran terbilang sangat meriah. Ketika Paduan Suara Mahasiswa Universitas Jember menyanyikan lagu berjudul Oplosan, hadirin di dalam ruangan dibuatnya turut bergoyan, tak terkecuali Drs. Moh. Hasan, M.Sc, Ph.D selaku Rektor Universitas Jember. Ini momen ringan yang menarik. Jadi, saat Pak rektor berjoget, saya segera mengambil posisi di depannya dan membidikkan kamera. Namun tak semua merasa riang dengan lagu tersebut. Di twitter milik istri saya, ada seseorang dengan akun @Per_cHild menyampaikan pertanyaan menggelitik.
"Apa g ada lagu lain? kok aq malu ya dengernya.. dulu waktu wisuda juga lagunya oplosan..."
Seusai seremonial, seharusnya dilanjut dengan komitmen dari pemerintah daerah dari empat Propinsi. Sayang sekali, seperti yang telah saya tuliskan sebelumnya, keempat Gubernur yang sedianya akan hadir dihari pertama Jambore Buruh Migran, keempat-empatnya berhalangan hadir. Mereka hanya memperpanjang pertanyaan para peserta, "Negara hadir, buruh migran terlindungi?" Kemudian acara berlanjut dengan semacam diskusi, bersama para wakil/utusan dari empat Gubernur. Saat acara ini berlangsung, saya lebih banyak berada di luar ruangan, berbincang dengan beberapa peserta yang juga memilih untuk duduk di luar Gedung Soetardjo.
Helmi Budiprasetio, teman di dunia blogger yang biasa saya panggil Babeh, ia juga memilih untuk ngisis di luar ruangan, sementara seperangkat kamera sengaja ia biarkan tetap menyala di dalam ruangan. "Ngasap dulu," katanya sambil terkekeh. Babeh datang ke Jember atas nama Migrant Care, mendokumentasikan setiap acara untuk Live Streaming Jambore Buruh Migran.
Di luar ruangan, kami seperti sedang bikin forum sendiri. Beberapa rekan jurnalis yang saya kenal turut berkumpul. Ada juga yang belum saya kenal. Tema pembicaraan kami meskipun santai, tapi tetap tak jauh-jauh dari masalah buruh migran. Ada yang bercerita tentang buruh migran di negeri Jiran beserta kasus-kasus yang menyertainya --terutama tentang kekerasan yang dialami oleh buruh rumah tangga, serta masalah buruh migran yang terjerat pasal narkoba-- ada pula yang berkisah tentang kondisi pusat penahanan sementara di Malaysia. Ada juga cerita tentang betapa repotnya buruh rumah tangga di Malaysia yang lari dari majikannya sebab sudah merasa tak kuat lagi. Mereka yang lari, hidupnya terkatung-katung, dikejar-kejar polisi Malaysia --sudah menjadi tugas mereka untuk mengamankan para migran tanpa surat-surat. Kisah-kisah itu mengingatkan saya pada Annisa Rahmawati, perempuan muda kelahiran 19 September 1995.
Teringat Saat Ica 'Hilang' di Melaka
ANNISA RAHMAWATI, atau biasa dipanggil Ica, ia lulusan SMK Negeri 1 Sukorambi kabupaten Jember pada 2013 lalu. Di tahun yang sama, tepatnya pada 4 September 2013 Ica berangkat ke Melaka untuk menjadi TKI. Lewat sekolahnya yang bekerjasama dengan sebuah PJTKI bernama PT Orientasi Mahkota Buduran Sidoarjo, Ica pun berangkat. Karena telah ada kerjasama antara pihak sekolah dengan pihak penyalur tenaga kerja, maka urusan paspor dan surat-surat lainnya menjadi tanggung jawab pihak sekolah.
Di Melaka, Ica ditempatkan sebagai operator di Kilang Koa Denko. Telah ada penginapan dan beberapa fasilitas untuknya. Pada mulanya semua baik-baik saja. Hingga terdengar kabar dari Ibunya --Endar Wati-- tentang Ica, putri sulungnya dari tiga bersaudara. Sejak 5 Maret 2014, dikabarkan Ica tidak lagi masuk kerja, tidak pulang ke penginapan, kawan-kawan dekatnya tidak tahu keberadaan Ica, nomor ponsel tak bisa dihubungi, tentu saat itu kami yang di Jember khawatir. Baru enam bulan Ica di Melaka --dari masa kontrak kerja selama dua tahun-- sudah terdengar berita seperti ini. Ibunya Ica meminta bantuan saya serta beberapa teman. Di waktu itulah saya banyak-banyak belajar tentang proses pencarian informasi buruh migran. Ada yang mudah, banyak yang sukar.
Kabar selanjutnya yang kami dengar, surat-surat dokumen Ica ada di penginapan. Ibunya semakin khawatir. Dia rasa, putrinya sedang ada di luar sana tanpa satu lembar pun surat-surat identitas. Sedangkan sejak masa pengiriman buruh migran asal Jawa ke Suriname, telah kita kenal yang namanya syarat Poenale Sanctie. Ia adalah sebentuk peraturan yang menetapkan bila pekerja melarikan diri akan dicari serta ditangkap polisi untuk dikembalikan kepada mandor atau pengawasnya. Secara hukum, Ica tentu digolongkan sebagai buruh migran yang sedang melarikan diri, sebab tak pulang ke penginapan dan tak ada sepatah kata pun untuk izin pada pengelola penginapan. Atas dasar rasa khawatir yang bertumpuk-tumpuk itulah, di waktu kemudian Ibunya nekad untuk menjemput Ica di tanah Melaka.
Dikisahkan oleh Endar Wati, demi menjumpai putrinya ia harus berani ambil resiko untuk melakukan penyeberangan laut lewat jalur ilegal Batam-Melaka.
Batam selama ini telah dikenal sebagai wilayah kepulauan dan berbatasan dengan negara Singapura dan Malaysia, menjadikannya gerbang pilihan keberangkatan/kepulangan bagi TKI ke/dari Malaysia maupun Singapura. Dari pelabuhan tikus Batam inilah, Endar Wati menjemput buah hatinya. Dari kisah-kisahnya pula, saya menjadi paham bahwa persaingan antar tekong --para pelaku bisnis kepergian/kepulangan TKI-- di Batam sangat tinggi. Untuk bisa menyeberang ke Malaka, Endar Wati masih harus menginap beberapa hari di rumah tekong yang ia pilih. Singkat cerita, dari sekian deret resiko yang ia hadapi, pada akhirnya Endar Wati berhasil membawa pulang buah hatinya ke tanah air.
Dari kisah di atas, ada satu hal penting yang berhasil saya maknai. Bahwa kepergian salah seorang anggota keluarga untuk menjadi buruh migran, meninggalkan dampak yang hebat kepada keluarga yang ditinggalkan.
Seorang istri tak akan pernah memilih menjadi TKW dan meninggalkan suami dan anak-anaknya jika kesejahteraan ekonomi keluarganya terpenuhi di negeri sendiri. Kiranya tak ada seorang anak yang memilih untuk ditinggalkan oleh Ibunya ke negeri lain, demi kemakmuran ekonomi. Begitu pula, tak ada istri yang sudi memilih berjauh-jauhan dengan suaminya (yang menjadi buruh migran) dalam waktu yang sangat lama. Mungkin benar akan datang kemakmuran ekonomi seperti yang dicita-citakan, namun jalinan rumah tangga mereka juga mengalami masa rentan yang boleh jadi akan berujung pada perceraian. Tak mudah menyediakan mental untuk meninggalkan orang-orang yang kita cintai, setidak-mudah ketika kita ada di posisi ditinggalkan. Meski demikian, adalah hak seseorang untuk bermigrasi. Negara, dalam hal ini Pemerintah, mereka memiliki tugas untuk hadir melindungi warganya, serta mampu memberikan payung hukum agar tercipta keadilan.
Setelah puas nongkrong bareng Babeh Helmi dan beberapa teman lainnya, saya dan istri bergeser menuju lokasi Pameran Hasil Karya Buruh Migran dan Keluarga. Masih di lingkungan Universitas Jember, dekat sekali dengan Gedung Soetardjo, tempat Jambore Buruh Migran berlangsung. Turut bersama kami, sahabat lama bernama David Priyasidharta, jurnalis Tempo untuk wilayah tapal kuda. Di lokasi pameran, kami singgah di stan AJI Jember. Mereka bikin dua lomba; foto selfie di stan AJI dan lomba bikn opini. Lomba yang menarik. Istri saya turut meramaikan lomba foto selfie.
Sore harinya saya dan istri pulang ke Kalisat, sebuah kecamatan di Jember Utara, berjarak 17 Km dari Universitas Jember. Kami terpaksa melewatkan acara Malam Gala Dinner, malam penuh hiburan, tari-tarian, dan tentu saja penuh hidangan. Ada acara lain sedang menanti.
Selama perjalanan pulang, masih terngiang kata-kata Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migrant Care. Dia menyegarkan kembali ingatan kita pada catatan akhir tahun 2014. Dari total buruh migran sebanyak 6,5 juta, data menunjukkan bahwa terdapat 1,503 juta buruh migran yang mengalami pelanggaran hak asasi manusia.
Hari pertama Jambore Buruh Migran berisi seremonial serta komitmen dari perwakilan empat Gubernur. Meskipun keempat-empatnya tidak datang, namun komitmen akan perlindungan terhadap buruh migran tetap berlangsung, dilakukan oleh para wakilnya. Bagaimanapun, komitmen ini penting. Semoga negara tidak lupa.
Para peserta Jambore Buruh Migran semakin terlihat semangat di hari kedua. Pasalnya, pagi itu mereka bisa berkumpul riang dengan artis Ibukota, Melanie Subono. Tak sedikit dari mereka yang mengajak Melanie untuk foto bersama di lokasi Pameran Hasil Karya Buruh Migran dan Keluarga. Sebenarnya bukan hanya Melanie yang turut meramaikan acara ini. Ada juga Ridho Slank, artis stand up comedy Aziz Doa Ibu, Endah Widiastuti (biasanya tampil duet bersama Rezha), dan Sandy Andarusman drummer Pas Band. Tak hanya itu, di hari ketiga atau terakhir, menyusul pula artis-artis lainnya, diantaranya adalah Iksan Skuter dan Wali Band.
Di hari itu juga, 24 November 2015, Radar Jember --Jawa Pos-- menurunkan berita tentang acara ini. Mereka memberi judul; Ubah jenis Visa Buruh Migran.
Siang harinya, para peserta dibagi menjadi lebih dari satu kelompok untuk mengikuti diskusi tematik. Karena ada beberapa tema diskusi yang dirasa perlu dibicarakan, maka untuk tempat berlangsungnya diskusi pun terbagi. Hampir semua Aula Fakultas di Universitas Jember digunakan untuk acara ini. Tentu, para mahasiswa pro-aktif menjadi panitia demi lancarnya acara.
Saya kebagian mengikuti diskusi tematik di Fakultas Sastra, dengan tema diskusi yang diangkat yaitu; Mengakhiri Praktik Korupsi Dalam Tata Kelola Perlindungan Buruh Migran Indonesia.
Adalah Irma Suzanti, salah satu pembicara di diskusi tematik, ia melakukan ajakan kepada para mantan tenaga kerja Indonesia untuk sebisa mungkin mandiri di negeri sendiri tanpa harus kembali lagi ke luar negeri. Sebagai permulaan, ia mengajak para peserta diskusi di Aula Fakultas Sastra Universitas jember untuk sadar potensi.
"Saya bisanya apa? Bikin bimbingan belajar? Atau bikin rumah makan? Yuk, cari potensi dari diri kita sendiri."
Tiga pembicara lain selain Irma Suzanti, mereka banyak mengulas tentang sisi lain para pekerja migran. Mengapa mereka sering menjadi korban kekerasan? Mengapa pula para perempuan tak segera melapor ketika mereka diperlakukan tidak adil? Misalnya, menjadi korban pelecehan, bahkan ketika mereka telah sekuat tenaga untuk menjaga martabatnya. Ketika ada di tangan polisi pun, kekerasan dan pelecehan seksual juga bisa dialami.
Saat ada buruh migran yang pulang ke tanah air, Pemerintah hanya mengurusnya hingga ia sampai di rumah saja. Setelah itu selesai. Anggaran hanya untuk dana pemulangan saja.
"Lha bagaimana kalau ada yang pulang dalam keadaan sakit? Dimana posisi Pemerintah? Kadang-kadang Pemerintah takut. Mereka berpikir, 'Wah ini uang lagi nih.' Padahal seharusnya mereka bisa memanfaatkan apa yang telah dimiliki. Misal; Rumah sakit. Tak perlu membuat fasilitas baru untuk mengurusi masalah ini. Negara, dalam hal ini Pemerintah, mereka harus menjalankan tugasnya dengan baik. Kalau mereka bilang, 'itu kan resiko pekerjaan,' berarti Pemerintah tidak menjalankan tugasnya dengan baik." Begitu yang saya dengar dari pembicara satu.
Ditambahkan, "Semua pekerja migran harus dilindungi. Tidak hanya di luar negeri, tapi ketika pulang hingga mandiri."
Dalam kesempatan diskusi tematik ini, hampir semua penanya melemparkan keresahan yang sama. Mereka gemas dengan sederet pungutan oleh orang-orang sebangsa setanah air. Mental korupsi ada dimana-mana.
Seorang penanya dari Blitar bernama Sri Wahyuni, ia berkisah tentang pengalamannya ketika kali pertama berangkat ke Arab saudi. Majikannya baik. Kelak, ia bahkan dihajikan dua kali oleh majikannya. Apakah Sri Wahyuni tak menjumpai masalah? Tentu ada. Setidaknya, di permulaan hari-harinya, ia merasakan apa yang populer disebut homesick.
"Saya kangen suasana desa." Itu yang dikatakan Sri Wahyuni. Kiranya, perihal rindu juga baik untuk diperhatikan. Jadi sebelum diberangkatkan, akan baik jika dipersapkan mental dan dasar-dasar berpikir mengenai resiko rindu. Sebab rindu berkaitan erat dengan masalah psikologis. Kinerja tidak mungkin optimal ketika seseorang sedang ada di suasana hati yang buruk.
Perihal budaya pun tak luput dari tema pembicaraan. Ketika menjadi buruh migran, kita akan bertemu dengan budaya-budaya baru. Tentu ada yang baik jika dibawa dan dikembangkan di tanah air, misalnya; budaya disiplin dan tertib antrian.
Diskusi tematik di Fakultas Sastra berlangsung lancar. Karena yang menjadi tema besar tak jauh-jauh dari mental korupsi --mengakhiri praktik korupsi dalam tata kelola perlindungan buruh migran-- maka masalah korupsi, pemerasan, dan praktek-praktek ilegal santer dibicarakan. Prekrutan legal yang berbelit-belit mengakibatkan adanya potensi korupsi dan meningkatkan aktivitas ilegal. Ia menciptakan keberadaan penyalur dan perekrut tenaga kerja lain. Sedangkan para penyalur ilegal ini masih menghadapi persaingan (sengit) antar sesama penyalur ilegal yang lain.
Negara wajb hadir untuk memperbaiki tindakan-tindakan anti korupsi agar setidaknya bisa mencegah pengubahan surat-surat (paspor, visa, dokumen). Intinya, segala yang berpotensi korupsi dan segala tata kelola yang tidak efektif dan efisien harus segera diperbaiki. Syarat utamanya tentu saja, korupsi yang dilakukan Pemerintah pada seluruh jajarannya harus diselesaikan terlebih dahulu. Ini bersifat sangat mendesak sekali. Jika tidak, maka segala yang dicita-citakan dalam Jambore Buruh Migran hanya akan menjadi kisah, bahwa pada tanggal sekian bertempat di Jember, pernah ada Jambore Buruh Migran. Hanya akan sampai di sana saja kisahnya. Tak ada perubahan menuju 'Negara Hadir, Buruh Migran Terlindungi.'
Tata kelola yang efisien dan menghapus mental korupsi, itu adalah sebentuk rindu yang harus kita tuntaskan.
Buruh migran butuh dijamin hak-haknya, butuh perlindungan, diperlakukan adil, butuh sistem migrasi yang baik, butuh jaminan mendapatkan informasi yang benar atas apapun yang menyangkut mereka, serta butuh didengar dan dilibatkan secara aktif dalam setiap perumusan kebijakan mengenai buruh migran.
Bicara tentang informasi, sebenarnya di hari terakhir Jambore Buruh Migran ada salah satu diskusi tematik yang mengangkat tema; Peran Media Dalam Perlindungan Buruh Migran. Diskusi ini menghadirkan dua narasumber, Yekthi Hesthi Murthi selaku Ketua Bidang Perempuan dan Kelompok Marjinal AJI Indonesia, bersama Philip Artha Senna selaku Manajer Program Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara. Sayang saya tak bisa hadir. Hari ketiga saya habiskan di desa Sumbersalak kecamatan Ledokombo, Jember. Hari itu, Sumbersalak diresmikan sebagai DESBUMI, Desa Peduli Buruh Migran Indonesia dan Keluarganya. Yang meresmikan adalah Menteri Ketenagakerjaan RI, Hanif Dhakiri.
Dijadikannya desa Sumbersalak menjadi Desbumi adalah penting. Negara hadir, dimulai dari level terbawah, yakni desa, dengan adanya peraturan desa dan layanan bagi buruh migran yang berasal dari desa tersebut.
Kiranya, saya akan membuat catatan tersendiri mengenai proses peresmian desa Sumbersalak menjadi Desbumi.
Terjadwalnya diskusi tematik di beberapa titik di hari kedua dan ketiga tentu menyebabkan para peserta tak bisa mengikuti semuanya, termasuk saya. Namun kami semua diuntungkan oleh Live Streaming dari Migrant Care yang bisa kita nikmati di Youtube, serta dari catatan-catatan peserta dan jurnalis (yang ditampilkan di dunia maya). Banyak isu-isu yang diangkat, termasuk tentang pemberlakuan hukuman mati di Indonesia --di permulaan kepemimpinan Joko Widodo-- yang dikhawatirkan akan menyulitkan penyelamatan buruh migran asal Indonesia.
Di hari terakhir, Jambore Buruh Migran menghasilkan sebuah rumusan peta jalan yang penting, yaitu pembacaan Manifesto Tegalboto. Pembacaan Manifesto Tegalboto ini dilakukan oleh sembilan mantan buruh migran dari berbagai daerah. Mereka membacakannya di hadapan Menteri Ketenagakerjaan RI, Hanif Dhakiri.
Anda yang butuh mengerti tentang isi Manifesto Tegalboto, silahkan klik spoiler di bawah ini.
Manifesto Tegalboto:
Adegan manis juga berlangsung di hari terakhir pelaksanaan Jambore Buruh Migran, yaitu ketika para peserta (Buruh migran dan mantan buruh migran se-Indonesia) berpayung bersama sebagai simbol para Buruh Migran Indonesia meminta payung hukum perlindungan Buruh Migran Indonesia.
***
Setiap kali mendengar kisah tentang orang-orang di negeri ini yang bekerja di luar batas negara Indonesia, ingatan saya selalu tertuju pada Nanang, teman masa kecil saya. Ia merindukan Ibunya yang berangkat ke Arab Saudi dan tak pernah kembali. Jika saya adalah Nanang, tentu saya akan sangat sedih manakala mendengar janji-janji kosong tentang perlindungan hukum terhadap buruh migran, serta janji-janji kosong tentang perwujudan keadilan ekonomi, politik, dan kesetaraan gender.
Semisal negara tak hadir ketika buruh migran merindukannya, ketika tak ada upaya memanusiakan buruh migran, saya kira Nanang akan sedih. Bagaimana jika saya adalah Nanang? Bagaimana pula jika saya adalah mereka, satu diantara buruh migran yang merindukan keadilan?
assalamualaikum Om Masbro, Dija mampir bersilaturahim
BalasHapusapa kabar om?