Senin, 18 Juli 2016

Dari Hari ke Hari

Senin, 18 Juli 2016
SAYA lupa bagaimana mula mengenal Hari Wibowo. Mungkin ketika dulu dia aktif di Tikungan, sebuah kelompok belajar di Jember yang semangat sekali menyuarakan pentingnya dunia literasi. Dulu bahkan saya mengira Hari Wibowo a.k.a Mangklek adalah anggota UKPKM Tegalboto Universitas Jember, karena beberapa kali singgah di sana, saya berjumpa dengannya. Ternyata saya keliru. Hari Wibowo memang tercatat sebagai anggota Persma, tapi di Prima. Ia adalah sebuah UKM Pers Mahasiswa di Fisip Universitas Jember.

Hari Wibowo kuliah di Fisip Unej angkatan 2007.

Selain aktif di dunia Persma, Hari Wibowo juga aktif di Organisasi Ekstra Kampus, PMII. Seorang rekan perjalanan bernama Anis Mahdy yang mengabarkan itu.

Oleh teman-temannya, Hari Wibowo dikenal sebagai sosok yang menyenangkan lagi suka bercanda. Saya sependapat, meski hanya sekali tempo saja ngobrol dengannya. Beberapa dari rekannya di Persma memanggil Hari wibowo dengan Harimin. Salah satu rekan dekatnya yang saya kenal adalah Halim Bahris, penyair muda kelahiran Lumajang.

Di pemula Januari 2015, Hari Wibowo dan Hana serta Kholid Rafsanjani, mereka bertiga berangkat ke Jakarta guna mengikuti Kelas Narasi yang diadakan oleh Yayasan Pantau. Kesempatan itu datang dari Mas Andreas Harsono.

Di antara tiga orang tersebut, hanya Hari Wibowo yang sangu banyak sekali buku, ketika hendak berangkat ke Jakarta. Seolah-olah, isi di dalam tasnya hanya dipenuhi oleh buku-buku bermutu. Jelas sekali jika Hari Wibowo sangat antusias mempersiapkan diri sebelum kelas menulis dimulai.



Tampak dalam foto, Hari Wibowo diapit oleh Ibu Janet Steele dan Hana

Foto di atas diunggah oleh akun Facebook Yayasan Pantau pada 9 Januari 2015. Di kolom komentar, Mas Andreas menulis begini, "Baru sekali ini ada tiga peserta dari Jember ikutan Pantau."

Seusai mengikuti Kelas Narasi Pantau, Hari Wibowo tak segera pulang ke rumahnya --Kecamatan Mangaran, Situbondo-- tak juga kembali ke Jember. Ia memilih untuk tinggal lumayan lama di sana, bersama teman-teman jurnalis Jember di Jakarta. Ketika pulang, Hari Wibowo telah menggenggam sebuah cita.

"Kini saya menulis untuk situs berita Mongabay dan hendak bikin liputan panjang mengenai Dinamika Pro Kontra Pertambangan Emas di Tumpang Pitu Banyuwangi."

Tentu kami berdua gembira mendengarnya, dan siap membantu Hari semampu yang kami bisa.

Di jejaring sosial Facebook, pada tanggal 26 Mei 2015, saya bikin catatan untuk dibaca beberapa orang. Begini ini catatan tersebut;

Teman-teman, istimewanya yang berdomisili di Banyuwangi, rekan saya bernama Hari Wibowo sedang akan menyusun artikel tentang dinamika penolakan warga pada rencana pertambangan di sana. Ia sudah menghubungi Mas R dan Mbak IN, dan telah membuat janji perjumpaan dengan pihak penyelenggara daerah. Tentu ia butuh bantuan dari teman-teman Banyuwangi. Maturnuwun sebelumnya.

Catatan itu segera dibalas oleh rekan-rekan Facebook yang tersetting untuk bisa membacanya.

Pada 27 Mei 2015, Hari Wibowo datang ke Kalisat, di rumah kontrakan kami yang lama. Sebelumnya, ia memang sudah merencanakan untuk singgah dan menginap di rumah kami. Bersamaan dengan menginapnya Hari Wibowo di Kalisat, saat itu di rumah kontrakan kami sedang ada teman dari Jerman, Falk namanya.

Esok harinya, setelah mengantar Falk ke stasiun, kami menemani Hari Wibowo sarapan pagi. Istri saya sendiri yang memasak. Tak lami kemudian, saya dan istri antar Hari Wibowo untuk berjumpa dengan Cak Dai, seorang teman yang mempersembahkan hidupnya pada lingkungan, kemanusiaan, dan ilmu pengetahuan. Hari Wibowo sendiri yang meminta bantuan kami untuk mempertemukannya dengan Cak Dai. Meski warga biasa, Cak Dai adalah figur yang terbilang tak mudah dijumpai.


DARI hari ke hari, saya dan istri setia menanti hasil liputan Hari Wibowo dalam bentuk tulisan, di Mongabay Indonesia.

Terhitung sejak Hari Wibowo datang ke Kalisat, hingga 84 hari kemudian, tepatnya pada 18 Agustus 2015, terbitlah tulisan Hari untuk Mongabay. Catatan pendek yang berisi 662 kata. Tulisan itu berjudul; Inilah Aksi Wisudawan Universitas Jember Tolak Tambang Emas.

Dalam tulisan itu, mula-mula Hari Wibowo bercerita tentang Deva R Kusuma, lulusan Universitas Jember yang rumahnya ada di Kalisat, tepat di belakang rumah kontrakan kami. Ia menjalani sekolah di Banyuwangi ketika SMA. Tiga malam lalu, Deva bertamu ke kontrakan. Kami berbincang cukup lama.

Setelahnya, tak ada lagi tulisan Hari Wibowo tentang Tumpang Pitu.


SATU tahun setelah penugasan Hari Wibowo, datanglah Mas Andreas Harsono beserta istri --Sapariah Saturi-- serta si kecil Diana. Mereka singgah di Kalisat. Memang tidak menginap di Kalisat, tapi kami punya waktu diskusi cukup lama, sekitar empat hingga lima jam. Teman-teman Kalisat yang tergabung dalam Sudut Kalisat Dokumenter, mereka tampak senang mendengar ide-ide Mas Andreas Harsono tentang betapa pentingnya sebuah komunitas di desa.


Kalisat, 4 Mei 2016

"Bagaimana kabar Hari Wibowo?" tanya Mbak Sapariah Saturi yang akrab dipanggil Mbak Arie ini. Kami bilang apa adanya, jarang sekali jumpa dengan Hari.

Mbak Arie tentu butuh mengerti kabar Hari Wibowo, sebab dia yang merekomendasikan Hari untuk menulis di Mongabay. Namun Mbak Arie kebingungan. Segala media sosial Hari Wibowo yang berhubungan dengannya, juga dengan Mongabay, terblokir. Mereka tak bisa lagi menghubungi Hari. Entah mengapa.

Ketika itu saya hendak berkirim kabar kepada Hari Wibowo melalui pesan Facebook. Barangkali saja ia sedang ada di Jember dan bisa gabung untuk sekedar ngobrol-ngobrol di Kalisat. Ternyata akun Facebook miliknya sudah lenyap alias non aktif. Namun saya beruntung. Ke depan, sekali waktu saya masih bisa bertanya kabar Hari Wibowo melalui sms maupun DM Twitter.

Di jejaring sosial Twitter, jauh-jauh hari sebelum Idul Fitri, Hari bahkan berjanji hendak mempersiapkan kaldu --kuliner khas Panarukan-- untuk kami di hari raya Fitri. Namun sayang sekali kami tak sempat jumpa. Kata Hari Wibowo di DM, kaldunya sebenarnya sudah dipersiapkan dua hari setelah lebaran kemarin, namun ia tak nyaman mau berkirim kabar kepada kami.

"Montak salah been bik Mb Prit lagi di Tuban. Apalagi bekto rowa been jenjien bik Febriana montak salah. Tako' agenggu. Tak nyaman dhibik mau kasih kabar been Mas. Hehe."

Itu yang dikatakan Hari Wibowo di DM Twitter, pada 14 Juli lalu, dengan menggunakan bahasa Madura. Rupanya Hari tahu betul mengenai kabar kami berdua. Dalam kesempatan obrolan itu, saya bertanya ke Hari, "Mengapa tidak lanjut di Mongabay?" Hari Wibowo bilang, setelah satu tahun, ia sadar, ternyata bakatnya bukan di isu lingkungan.




Setelah percakapan tersebut, setidaknya hingga hari ini tak ada lagi perbincangan dengan Hari Wibowo. Bagaimanapun, saya pribadi bersyukur, tak ada ancaman apapun yang ditujukan untuk Hari Wibowo. Menurut Hari Wibowo, liputannya untuk Mongabay telah selesai, seperti jawaban yang ia berikan kepada saya di DM Twitter. "Tumpang Pitu mare lah."

Mengapa saya butuh menampilkan pesan DM Twitter atas percakapan saya dengan Hari Wibowo?

Jadi, ketika Mbak Sapariah Saturi singgah ke Kalisat, ia berharap agar saya dan Hana bersedia melanjutkan liputan tentang Tumpang Pitu Banyuwangi. Namun tentu kami memulainya dari awal, dengan waktu liputan tak sepanjang Hari Wibowo. Ketika pada akhirnya kami bersedia dan turun ke lapangan selama satu bulan saja, banyak narasumber yang menanyakan kabar Hari Wibowo. "Bagaimana kabar jurnalis Mongabay yang telah mewawancarai kami itu?" Dan masih sederet pertanyaan lagi tentang Hari. Kami tak bisa menjawabnya secara gamblang. Bahkan kami kesulitan untuk mendapat akses wawancara dengan Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas, S.Pd, S.S, M.Si. Menurut Ibu Dini --bagian Humas Pemkab Banyuwangi-- urusan dengan Mongabay telah selesai satu tahun yang lalu.

"Sudah pernah ada jurnalis Mongabay yang mengajukan wawancara dengan Bupati. Waktu itu saya sendiri yang menerima. Tak lama kemudian terjadi wawancara antara jurnalis Mongabay dengan Bapak Bupati, di ruang kerja Bupati. Hanya ada tiga orang dalam ruangan itu. Pak Azwar Anas, jurnalis Mongabay, dan saya sendiri. Wawancara berlangsung satu jam lebih. Mungkin satu jam setengah." Begitu kata Bu Dini .

*Kami masih menyimpan voice dari pernyataan Bu Dini.

Pihak lain yang terkait dengan dinamika pro kontra keberadaan Tambang Emas Tumpang Pitu Banyuwangi, sebagian besar dari mereka juga telah diwawancarai oleh Hari Wibowo. Jadi ketika kami hendak menembusnya, mereka bikin pernyataan keberatan yang kurang lebih sama seperti yang diutarakan oleh Bu Dini. Ada pula yang curiga.

"Kok habis wawancara, ada wawancara lagi? Anda siapa?"

Sebagian kecil tokoh masyarakat yang telah dijumpai Hari Wibowo, baik yang tinggal di ring tiga, dua, maupun ring satu, mereka bertanya tentang kabar terkini, tentang hasil tulisan Hari Wibowo. Termasuk narasumber yang tinggal jauh dari lokasi, misalnya di Muncar, mereka juga mengusung pertanyaan senada. Bagaimana kami harus menjawabnya? Jadi, dengan menimbang resiko, pada akhirnya saya berinisiatif untuk menampilkan percakapan di atas.

Terlepas dari itu semua, jika suatu saat Hari Wibowo singgah di rumah kontrakan, kami tentu akan menyambutnya dengan baik. Dia sudah bikin keputusan dalam hidupnya, kami menghormati keputusannya. Bagaimanapun dia baik. Hanya saja kami sendiri juga tidak tahu pasti, mengapa Hari Wibowo tidak menurunkan hasil wawancaranya dengan banyak orang --terkait Tumpang Pitu, di Mongabay.

TAMBAHAN

Seusai menulis catatan ini, saya segera memberi kabar Hari Wibowo melalui DM Twitter. Selamat melanjutkan hidup, selamat berproses, kamu teman yang baik.

Hari Wibowo:

klarifikasi photo klarifikasi_zpsgerbieel.jpg



Salam saya, RZ Hakim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.

RZ Hakim © 2014