Minggu, 10 Juli 2016

Malam Takbir di Atas Bus Jurusan Tuban

Minggu, 10 Juli 2016
Malam takbir kemarin, 5 Juli 2016, saya dan Hana sudah ada di Terminal Bungurasih. Sedianya, kami hendak memasuki lorong bus jurusan Semarang, sebab kami hendak mudik ke Tuban. Ketika di terminal itulah saya berpapasan dengan seorang pemuda. Wajahnya tak asing. Lalu kami saling bertegur sapa seadanya. Manalah saya kira jika pada akhirnya pemuda itu ada di bus yang sama dengan kami. Dia hendak menuju Lamongan.

Anis Mahdy namanya, lelaki muda kelahiran Situbondo, 23 April 1988. Bangku bus yang ia tempati sejajar dengan bangku yang kami duduki, namun berseberangan. Saya dan Hana memilih bangku untuk dua orang, dia duduk di bangku untuk tiga orang. Anis memilih duduk di sudut dekat jendela, sementara dua di sampingnya diduduki oleh dua gadis yang sama-sama tak saling kenal.

Selama di atas bus, Anis tampak gelisah. Mulanya saya kira, ia tak nyaman sebab duduk di dekat jendela. Tapi kemudian Anis memulai percakapan dengan saya, dalam jarak yang agak jauh. Rupanya baterai ponselnya habis, sementara ia butuh menghubungi temannya di Lamongan. Dia pinjam ponsel saya untuk kebutuhan sms. Dengan senang hati, ponsel Nokia 2700 classic phone saya ulurkan padanya. Semoga ponsel jadul itu bisa membantu Anis, meskipun baterainya juga mendrip-mendrip.

Seusai berkirim pesan, Anis masih agak lama memegang ponsel saya. Barangkali dia sedang menanti balasan.

Kondektur mulai melaksanakan tugas, ia berkeliling untuk pungut karcis. Sampai pada giliran Anis, kondektur bertanya, "Turun mana?" Anis hanya bilang, Lamongan. Lagi, kondektur bertanya, "Lamongan mana?" Anis mulai bingung untuk menjawabnya. Rupanya ia tak pernah ke Lamongan.

Pada akhirnya saya tak tahu apakah sms Anis mendapat balasan atau tidak, sebab ponsel saya kehabisan energi.

Di tengah perjalanan, Anis bikin manuver. Tiba-tiba ia menerobos dua gadis yang duduk di sampingnya, kemudian ndeprok di samping saya. Hana yang duduk di dekat jendela pun heran, namun ia hanya diam. Saya yang terkejut hanya mampu menanti apa yang hendak ditanyakan oleh Anis. Namun ternyata dia hanya butuh berbincang. Belum selesai keterkejutan saya, Anis sudah mengeluarkan bungkus rokok dan korek api, lalu dia menyodorkan kepada saya. Orang-orang sekitar mulai memandangi kami. "Tidak, terima kasih." Hanya itu yang saya ucapkan padanya. Anis lekas-lekas bertanya, "Memangnya ndak boleh ya, merokok di sini?" Saya katakan kepada Anis bahwa saya hanya merasa tidak nyaman, sebab kami sedang ada di situasi dan kondisi yang kurang bijak untuk menyalakan rokok. Anis hanya berkomentar, "Ooo.." Kemudian ia memasukkan kembali bungkus rokok itu di sakunya. Hanya korek apinya saja yang tetap ia pegang untuk dijadikan mainan. Gangguk, kata orang Jawa.

Pertanyaan-pertanyaan yang dilemparkan Anis sederhana. Ia bertanya tentang tujuan, bagaimana kabar kami selama ini, dan hal-hal datar lainnya. Namun pertanyaan yang paling sering ia lontarkan adalah seberapa mengerti kami tentang Kabupaten Lamongan.

Kami ada di deretan tengah. Jadi wajar jika orang-orang di deretan bangku belakang banyak yang memandang ke arah kami. Selain karena cara duduk Anis yang tak biasa, penampilannya juga mencolok. Anaknya kurus, rambut gondrongnya kadang menutupi wajahnya, serta pakaian yang ia kenakan. Ketika itu pria lulusan SMP dan SMA Ibrahimy Situbondo ini mengenakan kaos PMII --mungkin kaos PMII Rayon Sastra Universitas Jember, sebab dulu kami pernah berjumpa di kantin sastra-- lalu ditambah lagi dengan jaket almamater UNEJ.

Percakapan kami terhenti sebab kondektur marah-marah. Ia memaksa Anis untuk kembali ke bangkunya. Agar mudah menghitung penumpang, begitu katanya. "Lha iki akeh penumpang sing ngadeg, sampeyan sing wis nduwe lungguhan malah ngaleh."

Anis kembali ke bangkunya dengan wajah lesu.

Saya masih ingat bagaimana percakapan terakhir kami sebelum ia dipaksa duduk. Saat itu Anis bercerita, "Rumah saya ada di kecamatan Mangaran, kabupaten Situbondo. Dekat sekali dengan masjid besar di keramaian Mangaran." Ketika saya tanya, apakah kenal dengan Hari Wibowo alias Mangklek? Dia mengangguk mantap. Ternyata jarak rumah mereka tidak sangat jauh, antara 2 hingga 3 kilometer saja.

"Hari Wibowo itu sahabat sepupu saya, Hafid namanya. Biasanya kalau mereka hendak minum bersama, kami sering berjumpa. Tapi itu dulu," ujarnya. Sebenarnya Anis juga hendak menjumpai Hari Wibowo di Surabaya, sayangnya ia dengar kabar si Hari mudik ke Mangaran.

"Hari Wibowo sekarang ikut program suksesi untuk Pak Abdul Halim Iskandar yang mempopulerkan kembali Holopis Kuntul Baris itu ya?" Saya bertanya kepada Anis. Dia tersenyum dan hanya bergumam, "Hari Wibowo kan PMII Fisip Unej."

Sejujurnya, saya kurang memahami apa yang digumamkan oleh Anis Mahdy. Ketika hendak saya tanyakan, ia sudah keburu dioprak-oprak kondektur dan dipaksa kembali ke bangkunya.

Kami berpisah di Lamongan. Anis Mahdy turun, saya dan Hana tetap duduk tenang di bangku bus. Dalam hati saya berdoa, semoga lelaki yang hanya saya kenal wajahnya ini lekas berjumpa dengan temannya, biar tidak nyasar dan biar bisa menikmati Idul Fitri di kota orang.

Minal Aidin Wal Faidzin, mohon maaf lahir dan batin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.

RZ Hakim © 2014