Selasa, 26 Juli 2016

Hari Pertama Ramadhan di Sarongan

Selasa, 26 Juli 2016
Seorang lelaki muda melayani kami berdua dengan tenang, padahal ia sendiri terlihat belum mempersiapkan apa-apa untuk membatalkan puasa di hari pertama. Mie ayam dan es teh tersaji di meja kami, bersamaan dengan sirine panjang pertanda maghrib telah tiba. Ia buru-buru menenggak air putih dalam botol, kemudian kembali disibukkan oleh pelanggan yang datang setelah kami.

Adzan maghrib di hari pertama ramadhan, saya dan Hana masih ada di perjalanan. Kami hendak menuju Sarongan, sebuah desa di wilayah Pesanggaran kabupaten Banyuwangi.

"Sarongan msih lumayan jauh Mas, tapi ini sudah masuk kecamatan Pesanggaran kok," kata Mas penjual mie. Dalam kesempatan itu, ia juga bertanya, "Anda berdua ini darimana?" Kami katakan bahwa kami berdua datang dari Kalisat, kabupaten Jember. "Jadi dari Kalisat naik motor ke sini? Wah, mugo-mugo ndak kapalen bokonge sampeyan, hehe." Kami berdua tersenyum, senang dengan keramahannya yang tidak dibuat-buat.

Hari sudah gelap, kami melanjutkan perjalanan menuju Sarongan. Sepanjang perjalanan, kami banyak menjumpai orang-orang yang hendak menuju tempat ibadah. Mendekati Sarongan, jalanan sepi sekali. Maklum, kami sedang membelah areal perkebunan. Bahkan ada jalur kebun tebu yang harus kami lintasi. Gelap. Jalannya makadam bergeronjal. Tak ada seorang pun yang melintas di sana. Hana takut, tapi kami harus tetap bergerak. Hati menjadi riang ketika kami telah tiba di pintu gerbang Perkebunan Sumberjambe. Ada dua petugas jaga di sana. Mereka ramah, mempersilahkan kami belok kiri untuk menuju Sarongan.

Sampailah kami di Pasar Sarongan, sebuah pasar yang akan menjadi ramai sekali di hari Minggu. Pasar ini menjual hasil bumi dari Sarongan sendiri, serta menawarkan produk-produk yang harus dibeli di ibukota kecamatan, Pesanggaran. Misalnya, bahan bakar minyak, rokok, dll. Ketika malam, pasar itu tampak lengang. Pos jaga kepolisian di sana juga hanya berisi penjaga yang sedang piket. Terminal pun senyap, hanya terisi gelak tawa beberapa orang di warung sudut terminal yang remang-remang.

Malam itu kami tidur di rumah salah satu warga Sarongan bernama Mas Gendon, tak jauh dari Terminal Sarongan. Ia bukan tempat yang asing. Tiga tahun lalu kami pernah menginap di sini. Namun, perjalanan agak panjang tak membuat saya dan Hana segera bisa memejamkan mata.

Malam itu kami lebih memilih untuk berbincang dengan tuan rumah, tentang Sarongan, tentang Banyuwangi, dan berbagi cerita tentang kabar kami masing-masing.

Mas Gendon, ia banyak bertanya tentang kabar teman-teman keluarga tamasya yang pernah mengacak-acak dapur rumahnya. Ahaa, ternyata kekonyolan-kekonyolan kami pada tiga tahun lalu masih pula terekam jelas di memori Mas Gendon.



Dalam Kenangan: Tamasya ke Sarongan, 17 hingga 19 Juli 2013

Malam itu, kepada Mas Gendon, kami banyak bertanya tentang tempat-tempat indah di sekitar Sarongan. Bagaimana kabar Pantai Congapan, Pantai Rajegwesi, Teluk Ijo, dan Pantai Sukamade? Bagaimana kabar pemukiman penduduk di Kampung Lor Kebon? Apakah masyarakat di sekitar Congapan masih memproduksi gula Jawa? Semua pertanyaan kami dijawabnya dengan santai. Lalu ia balik bertanya, "Apa kamu kenal dengan jurnalis Jakarta bernama Hari Wibowo? Dia pernah ke sini, tapi sudah lama. Mungkin satu tahun lalu." Mas Gendon menanyakan itu dalam bahasa Jawa dengan logat Banyuwangi yang kental.

Malam semakin larut, hampir dini hari. Mas Gendon menyarankan kami berdua untuk istirahat. Padahal ketika itu kami sedang berbincang tentang pro kontra yang terjadi di masyarakat, terkait keberadaan Pertambangan Emas di Tumpang Pitu, Pesanggaran.

"Turu disek wae, nanti kita memasak bersama di dapur. Kalian pasti kangen dengan dapurku yang semua alat-alat memasaknya terbuat dari tanah." Kami tersenyum. Iya benar, saya dan Hana memang merindukannya.

Sebelum benar-benar memejamkan mata, saya masih terngiang dengan salah satu cerita yang dituturkan Mas Gendon, duda kelahiran 1970 ini. Dia berkisah tentang seorang Kiai Surau bernama Mbah Palil.

"Dulu ada tokoh sepuh asal Pancer, namanya Mbah Palil. Dia bilang, tambang tidak baik jika masuk Pesanggaran. Maka, tak ada tambang di sana. Tapi Mbah Palil tak mencetak murid, dan kini ia telah tiada."

Mbah Palil atau KH Abdurrohman, ia seorang ulama Nahdlatul Ulama yang dihormati oleh warga dusun Pulau Merah dan dusun Pancer. Di surau sederhananya yang bernama surau Ar Rohman, Mbah Palil banyak memberi wejangan tentang betapa pentingnya menebarkan kebaikan. Namun sesepuh kelahiran Jogja tahun 1903 ini telah meninggal dunia tahun 2004 lalu. Jika hari lahirnya benar, maka ia meninggal dunia di usia 101 tahun.

Entah sampai bagian apa saya melamunkan sosok Mbah Palil, tiba-tiba saya telah memejamkan mata. Mas Gendon membangunkan kami pukul tiga dini hari, dan semua masakan untuk sahur telah siap. Kami tak jadi memasak bersama, namun tentu kami sahur bersama-sama. Hari yang indah di Sarongan. Setelah melakukan beberapa hal di Sarongan, siang nanti kami telah berencana hendak menuju Kota Banyuwangi. Cari kamar kos untuk kami sewa selama satu bulan saja.

Sebagai penutup catatan ini, saya ingin bertanya. Apakah Anda punya kenangan istimewa dengan Banyuwangi?

Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar Banyuwangi? Orang-orang yang mengenalnya tentu akan segera berpikir tentang Blambangan, Osing, Nelayan Muncar, Gandrung, serta Janger. Bagi yang merindukannya, bisa jadi mereka lebih merindukan sego tempong, minuman secang, dan masih banyak lagi. Ada juga orang yang berpikir bagian magisnya dulu, ketika mendengar Banyuwangi. Ya, mereka bakal mengingat santet, serta tragedi yang pernah mengiringinya.

Namun sejak enam tahun terakhir, jika nama Banyuwangi disebut, orang-orang akan teringat tentang sebuah kota penuh Festival, Pulau Merah, Pantai Mustika Pancer, tempat-tempat pariwisata yang bertebaran, serta Bupati muda A. Azwar Anas.

Banyuwangi adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang berada di ujung paling Timur Pulau Jawa. Ia merupakan kabupaten terluas di Jawa Timur sekaligus menjadi yang terluas di Pulau Jawa. Banyuwangi lebih luas dari Pulau Bali. Bahasa paling mudah, Banyuwangi itu dua kalinya Daerah Istimewa Yogyakarta.

Salam saya, RZ Hakim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.

RZ Hakim © 2014