Selasa, 03 Januari 2017

Sepeda Tua di Album Foto Yuli Ruswantono

Selasa, 03 Januari 2017

Sepeda Tua Yang Diabadikan pada 14 Agustus 1927

AYOS bilang, foto adalah tentang membekukan waktu. Tentu saja. Di selembar foto, kita tak akan pernah menjadi tua meskipun detik terus berjalan. Fotografi dan sejarah ibarat dongeng asmara antara Wiro Rambe dan Pujiasih yang gugur di medan laga dalam posisi saling berpelukan. Kelak, nama mereka diabadikan menjadi nama sebuah wilayah di Jember.

Foto klasik berikut ini adalah milik warga Kalisat, dari keluarga Almarhum Bapak Kasaim di Kampung Templek. Salah seorang cucunya, Yuli Ruswantono, ia mengizinkan teman-teman muda Kalisat untuk mengarsipkannya. Pada 14 Agustus 1927, ada satu detik yang membeku. Bahkan rumah bambu yang tak lagi ada itu turut membeku. Ini adalah saat ketika fotografi dan sejarah saling berpelukan. Kita hanya butuh membacanya secara lebih mendalam lagi.

Sepeda motor dengan nopol P 1034 itu, siapakah pemiliknya?

Kiranya, hanya penyelenggara daerah dan atau para juragan --tembakau-- saja yang bisa membelinya, dengan memanfaatkan layanan pengiriman barang melalui kereta api. Ketika itu, Kakek seorang Yuli Ruswantono memang terbilang orang terpandang.

Mengenai jenis motor, saya tidak tahu, barangkali jenis FN A 4-cylinder. Ada yang bisa membantu?

Video pendek tentang Kalisat Tempo Doeloe 2 bisa ditengok di sini --> goo.gl/Vp8A2F

Terima kasih.

***

Kisah Tambahan dari Ibu Fatmanijah

Ketika foto ini terbekukan pada 1927, hal-hal terjadi di Kalisat. Berikut adalah catatan saya di group Sudut Kalisat Dokumenter, semoga bisa menjadi pemantik tentang bagaimana suasana Kalisat di era 1920an.

FATMANIJAH lahir pada tahun 1922, ketika Kalisat sedang baik-baik saja. Zaman normal, katanya. Itu adalah masa ketika para karyawan perusahaan tembakau dan beberapa orang Eropa masih senang berburu babi di Kalisat. Di saat yang sama, Hulppost- en telegraafkantoor te Kalisat menerima keluhan dari pelanggan dengan nomor 5294 dari Kalisat, dan itu terbit di sebuah koran zaman Hindia.

Kalisat tampak semarak sebab di sini hingga jalur Sukowono-Maesan terdapat perusahaan-perusahaan tembakau yang disegani dunia, satu di antaranya adalah De Landbouw Maatschappij Soekokerto-Adjong. Sayang perusahaan ini kelak gulung tikar, tepatnya pada 29 April 1939. Ia aktif selama 42 tahun saja.

Pada 14 Juli 1925, ketika Fatmanijah masih berusia 3 tahun, terjadi pertemuan penting antar kalangan Soekowono-Kalisat, diadakan oleh serikat pekerja Kalisat.

Jayeng, Kakek dari Fatmanijah, ia datang dari Jogja ke Kalisat di pemula abad dua puluh, sebagai karyawan Staatsspoorwegen. Memang, sejak di atas tanah kalisat dilalui rel kereta api, hal-hal terjadi, semakin memudahkan akses antara Kalisat dengan dunia luar. Di Kalisat, banyak orang seperti Jayeng yang datang atas dasar ekonomi. Hingga putranya lahir, Muhammad Alibasyah Tondo Prawiro, Kalisat terus bergeliat. Kelak ketika Alibasyah menikah dengan gadis bernama Aminah, orang-orang semakin berdatangan, bahkan hingga ketika mereka dikaruniai seorang putri bernama Fatmanijah. Itulah kenapa hingga hari ini mudah dijumpai orang-orang Kalisat keturunan Jogja-Solo, terutama di tiga desa yang mengelilingi stasiun Kalisat; Glagahwero, Ajung, dan desa Kalisat kecamatan Kalisat.

Di usia Fatmanijah yang kelima tahun, Kalisat sedang mengalami pergantian struktur pemerintahan di tingkat Wedono, sebab Wedono sebelumnya sedang dipromosikan untuk menjadi Patih di Banyuwangi. Selain itu, Mantri Polisi kalisat juga sedang dipindahkan.

Musim lebaran telah tiba, 1927. Fatmanijah kecil senang memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang. Ada satu kata yang ia pelajari di hari-hari menjelang lebaran. Telasan. Ya, orang-orang Kalisat lebih senang menggunakan kata telasan dibanding lebaran dan atau lainnya. Orang-orang Kalisat sangat menyukai perayaan tahun baru, dan 'telasan' baginya merupakan sesuatu yang serius. Mereka membutuhkan uang tunai meskipun seringkali digunakan untuk sesuatu yang sia-sia seperti biasa.

De Indische courant Edisi 29 Maret 1927 menuliskan:

Mendekati lebaran, banyak orang 'tumplek-blek' di kotta (Kalisat) dengan banyaknya pejalan kaki yang melintas di kamp kecil orang-orang China, yang jika diperhatikan, ini tidak seperti biasanya. Mereka membeli segala sesuatu, makanan, barang-barang rumah tangga, terutama katun dan juga kembang api, meskipun tidak dalam jumlah yang seperti biasa dilakukan orang-orang Jawa.

Ada lagi yang disukai Fatmanijah kecil di saat-saat menjelang lebaran, yaitu suasana stasiun Kalisat. Saat itu, para penumpang kereta api di dan dari Jember, Bondowoso dan Banyuwangi meningkat secara signifikan, dan itu juga terjadi di Kalisat. Beberapa kali terlihat masyarakat Madura sedang menunggu harta bendanya dalam bentuk buntalan-buntalan, dan atau buah-buahan hasil bumi. Mereka tentu hendak menuju ke Panarukan lalu menyeberang ke Madura, setelah itu kembali lagi ke Besuki, dimana selalu ada pekerjaan yang mudah ditemukan.

Kelak ketika Fatmanijah bertumbuh menjadi seorang gadis cantik berusia 16 tahun, orang-orang penting sedang berkumpul dan membicarakan rencana Bouw Volks-sanatorium nabij Kalisat De inschrijving, sebuah sanatorium --rumah sakit paru-- pertama di Jember. Ia ada di desa Plalangan, Kalisat. Pada saatnya nanti di masa revolusi 1947-1949, bangunan ini sengaja dihancurkan oleh pemuda-pemudi setempat karena mereka mengusung gagasan bumi hangus, hingga akhirnya bangunan berbiaya 40.000 gulden itu rata dengan tanah.

Hari ini, di usianya yang menuju 95 tahun, Ibu Fatmanijah masih terlihat anggun, dengan gurat-gurat keriput yang mempertegas jalan hidupnya yang kaya. Kini ia menikmati hari tuanya di desa Ajung, Kalisat, bersama anak cucu dan cicitnya.

Teman-teman, Kalisat telah ada dan hadir dari masa ke masa. Di masa Hindia ia adalah favorit para pemodal besar, di masa mempertahankan kemerdekaan ia turut andil, dan Kalisat punya sisi baik dan gelap yang tak tertuliskan. Ia bahkan telah memiliki corak kehidupan sosial jauh sebelum Keluarga Birnie dan kereta api mengenal namanya. Hanya saja, Kalisat --dan sekitarnya-- tak tercatat di buku-buku sejarah negeri ini. Kita hanya kebagian olok-olokan JEMB*T alias Jember Utara. Tidak apa, namanya juga bercanda. Jadi teman-teman, kita harus menuliskan sendiri sejarah tanah kelahiran kita, dimanapun kita berada.

Tambahan: Kami Butuh Dipinjami Pigura

Link Facebook: https://goo.gl/vEKyyt

Warga Kalisat yang baik, sepertinya kami butuh sekali dipinjami pigura. Warna apapun dan ukuran apapun boleh, akan kami pinjam, kami catat nama-nama pemiliknya, dan akan kami kembalikan setelah Kalisat Tempo Doeloe 2 usai. Terima kasih banyak. Mohon maaf jika kami terlalu banyak meminta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.

RZ Hakim © 2014