Sudah saya paparkan pada posting sebelumnya tentang proses perjalanan plakat di Indonesia sejak jaman Hindia Belanda, baik itu plakat untuk penanda berdirinya gedung / bangunan, plakat untuk iklan, plakat nama, hingga plakat untuk souvenir. Hampir kesemuanya berbahan logam cor. Artikel bisa dibaca di sini.
Dari kajian tersebut, kini saya akan memaparkan khusus tentang plakat yang dipegang salah seorang siswa Normaalschool Jember (tahun 1923) yang bertuliskan ABD. MOEKI.
Tampak jelas bahwa plakat ini terbuat dari bahan kertas tebal dengan tulisan yang sangat presisi.
Plakat ABD. MOEKI
Pertanyaannya, apakah di tahun 1923 di Jember (dan sekitarnya) sudah ada percetakan dan otomatis juga dengan produksi kertas?
Sejarah Percetakan di Negeri Ini
Seperti yang sudah saya singgung di tulisan sebelumnya, sejarah percetakan dunia dimulai dari penemuan seorang warga negara Jerman bernama Johan Gutenburg, tahun 1450.
Di Indonesia sendiri, sejarah percetakan dimulai sejak 1624, 28 setelah kedatangan Belanda ke negeri ini. Para misionaris Protestan Belanda memperkenalkan percetakan dengan membeli sebuah mesin cetak (dari negerinya sendiri). Tujuannya untuk menerbitkan literatur Kristen dalam bahasa daerah, sehubungan dengan keperluan penginjilan. Namun mesin cetak itu menganggur oleh sebab tak ada tenaga operator yang menjalankannya. Baru pada tahun 35 tahun kemudian (1659), Kornelis Pijl memprakarsai percetakan dengan memroduksi sebuah Tijtboek, yakni sejenis almanak, atau buku waktu. Inilah titik awal perkenalan kita dengan mesin cetak. (sumber: percetakanku.co.id)
Perkembangan percetakan di Indonesia erat sekali dengan sejarah perjalanan surat kabar. Berikut adalah beberapa catatan waktu perjalanan percetakan di Indonesia, masih dari sumber yang sama. Untuk menyingkat ruang, sebagian besar akan saya tampilkan secara spoiler.
Catatan waktu perjalanan percetakan di Indonesia:
1667:
Pemerintah pusat berinisiatif mendirikan percetakan dan memesan alat cetak yang lebih baik, termasuk matriks yang menyediakan berbagai jenis huruf.
1668:
Hendrik Brant mencetak dokumen sebagai produk pertama percetakan pemerintah, yaitu Perjanjian Bongaya antara Laksamana Cornelis Speelman dan Sultan Hasanuddin di Makasar yang ditandatangani 15 Maret 1668. Hendrik Brant pada Agustus 1668 mendapat kontrak mencetak dan menjilid buku atas nama VOC dengan upah 86 dolar yang dibayar dengan cara mencicil. Kontrak berakhir 16 Februari 1671.
1671:
VOC menandatangani kontrak baru dengan Pieter Overtwaver dan tiga pegawai Kompeni lainnya (Hendrick Voskens – punch cutter, Piet Walbergen – type-founder, dan Aernout Kemp – ahli cetak) untuk percetakan yang bernama Boeckdrucker der Edele Compagnie (pencetak buku Kompeni). Kontrak berakhir 1695.
1677:
Dokumen dengan kosa kata Belanda-Melayu pertama kali dicetak.
1693:
Dokumen New Testament dicetak dalam bahasa Portugis.
1699:
Pendeta Andreas Lambertus Loderus mengambiil alih Boeckdrucker der Edele Compagnie untuk didayagunakan secara maksimal. Banyak karya penting dalam bahasa Belanda, Melayu dan Latin lahir dari percetakannya, termasuk sebuah kamus Latin-Belanda-Melayu yang disusun oleh Loderus sendiri.
1718:
Pemerintah pusat mendirikan percetakan sendiri di Kasteel Batavia (kasteel = benteng, Batavia saat itu adalah kota yang dikelilingi benteng) untuk kepentingan mencetak dokumen-dokumen resmi.
1743:
Seminarium Theologicum di Batavia memeroleh satu unit alat percetakan. Pernah menerbitkan Perjanjian Baru (bagian dari kitab suci agama Kristen, red) dan beberapa buku doa dalam terjemahan Melayu. Tahun 1755 percetakan tersebut dipaksa bergabung dengan Percetakan Benteng.
1744:
Surat kabar tercetak pertama bernama Batavia Nouvelles lahir dari Percetakan Benteng yang dikelola oleh Jan Erdman Jordens, tepatnya pada 8 Agustus 1744. Hanya terdiri dari selembar kertas berukuran folio, yang kedua halamannya masing-masing berisi 2 kolom. Isinya memuat maklumat pemerintah, iklan dan pengumuman lelang. Pembaca bisa mendapatkannya setiap Senin dari Jan Abel, perusahaan penjilidan milik Kompeni di Benteng. Sebuah sumber menyebutkan, koran pada saat itu ditulis tangan.
1745:
Surat kabar Batavia Nouvelles dihentikan penerbitannya (20 Juni 1746) atas permintaan Dewan Direktur VOC kepada Gubernur Jenderal, karena surat kabar yang berorientasi iklan dan berisi informasi tentang kondisi perdagangan di Hindia Belanda dikhawatirkan bisa dimanfaatkan oleh pesaing Eropa.
1761:
Mulai diberlakukan peraturan percetakan pertama yakni “Reglement voor de Drukkerijen te Batavia” (Juni 1761) di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal A. van der Parra.
1776:
Surat kabar Vendu Niews (VN) diterbitkan oleh L. Dominicus. Ini adalah surat kabar pertama yang bersentuhan dengan orang Indonesia, tiga dasawarsa setelah Bataviase Nouvelles mati. VN merupakan media iklan mingguan, terutama mengenai berita lelang, juga maklumat penjualan sejumlah perkebunan besar dan beberapa iklan perdagangan. Dikenal oleh masyarakat sebagai “soerat lelang”.
1785:
Percetakan Kota dilarang keras mencetak apapun tanpa izin sensor. Penyensoran mulai dilaksanakan di Hindia Belanda pada 1668.
1809:
Surat kabar Vendu Niews menghentikan penerbitan pada masa pemerintahan Jenderal Herman Willem Daendels (1808 – 1811).
Di tahun yang sama, Daendels membeli Percetakan Kota dan menggabungkannya dengan Percetakan Benteng menjadi Landsdrukkerij, yang sekarang bernama Percetakan Negara. Sebelum namanya menjadi Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) pada tahun 1950, Perum PNRI telah mengalami beberapa kali perubahan nama. 1942, namanya Gunseikanbu Inatsu Koja (GIK), 1945 berubah lagi menjadi Percetakan Republik Indonesia (PRI), lalu melalui Peraturan Pemerintah no. 46 Tahun 1991, PNRI menjadi Perusahaan Umum (Perum). Percetakan Negara masih eksis hingga kini.
1810:
15 Januari 1810 terbit edisi pertama mingguan resmi pemerintah, Bataviasche Koloniale Courant yang diasuh oleh Profesor (Kehormatan) Ross, pendeta komunitas Belanda di Batavia sejak 1788. Isinya memuat juga iklan, mulai dari tali sepatu hingga budak belian. Penerbitan berhenti 2 Agustus 1811, persis seminggu sebelum Batavia jatuh ke tangan Inggris.
1812:
29 Februari 1812, pemerintahan yang baru (Inggris) menerbitkan Java Government Gazette, mingguan yang sebagian besar berbahasa Inggris, dicetak oleh A.H. Hubbard.
1816:
Java Government Gazette berhenti bersamaan dengan kembalinya Belanda. 20 Agustus 1816 pemerintah Belanda menggantikannya dengan Bataviasche Courant yang berganti nama menjadi Javasche Courant 12 tahun kemudian.
1831:
Muncul surat kabar partikelir pertama. Ini terlambat, mengingat kendalanya adalah kesulitan mendapatkan alat untuk membuat huruf timah. Tapi yang lebih penting dari itu adalah ketiadaan tenaga (kompositor) terampil. Karena itu percetakan misionaris menjadi satu-satunya percetakan non pemerintah yang bergiat dalam cetak-mencetak selama abad ke-18.
1855:
Surat kabar pertama berbahasa Jawa terbit di Surakarta sekali seminggu, namanya Bromartani. Diterbitkan oleh perusahaan kongsi Belanda, Harteveldt & Co.
1910:
Di Jakarta terbit surat kabar nasional yang pertama, Medan Prijaji.
1921-1922:
Pabrik kertas pertama, N. V. Papier Fabriek Padalarang, dibangun di Padalarang dengan kapasitas produksi 9 ton per hari.
1939-1940:
Pabrik kertas kedua dibangun di Jawa Timur, dekat daerah Letjes, Probolinggo, oleh pemilik pabrik yang sama dengan yang di Padalarang.
Catatan waktu percetakan setelah kemerdekaan:
1949:
Di Jakarta hanya terdapat 2 mesin printing yang dimiliki oleh warga pribumi. Percetakan milik warga asing hanya berproduksi untuk kepentingannya saja.
1950:
Jumlah perusahaan percetakan nasional (milik pribumi) di Jakarta meningkat menjadi 23 buah. 24 lainnya dimiliki warga asing (Belanda), sementara 86 lagi dimiliki warga Tionghoa.
1951:
Dari data resmi, terdapat 150 perusahaan percetakan di Jawa Timur (75 di Surabaya, 18 di Malang, dan sisanya tersebar di daerah dan sekitarnya).
1953-1954:
Percetakan Negara melakukan proyek modernisasi percetakan yang ambisius dengan membeli sebuah mesin web-offset 4 warna.
1969:
Pemerintah Belanda bekerja sama dengan Departemen Pendidikan & Kebudayaan Indonesia mendirikan institusi pendidikan dan pelatihan SDM di bidang grafis, Pusat Grafika Indonesia (Pusgrafin) di Jakarta. Antara tahun 1969-1978, sekitar 2.000 orang mengikuti kursus composing, printing, binding, machine maintenance, lay-out, management, dll.
1970-an:
Industri percetakan di seluruh dunia berganti ke teknologi offset. Dua perusahaan percetakan Cina terbesar, Sin Po dan Keng Po membeli mesin cetak rotasi untuk koran yang tetap digunakan hingga 1970-an. Surat kabar Sinar Harapan (sejak 1961) dan Kompas (sejak 1965) pernah menggunakan fasilitas mesin printer ini hingga mereka memiliki mesin cetak sendiri di tahun 1970-an.
1976:
Sebanyak 385 mesin cetak offset diimpor ke Indonesia.
1992:
Teknologi computer to film (CTF) masuk ke Indonesia. Awalnya hanya percetakan-percetakan besar saja yang memilikinya. 1995, percetakan-percetakan menengah dan kecil mulai mengadopsi. Hingga tahun 1997, penggunaan CTF bisa dibilang sudah merata.
2000:
Masuknya teknologi computer to plate (CTP) mulai menggeser CTF dan ikut berdampak pada menurunnya bisnis repro. Sampai sekarang kurang lebih terdapat 70 mesin CTP di Indonesia. Dulu merek-merek yang terkenal untuk mesin ini adalah Heidelberg dan AGFA. Sekarang sudah mulai banyak pemain baru, seperti Screen, Scitex dan Basys Print.
Jadi pada era keberadaan Normaalschool di Jember, sudah tidak ada masalah dengan mesin cetak.
Pada jarak yang sangat dekat, yaitu sepuluh tahun berikutnya (1933), di Jember juga sudah ada mesin cetak milik pribadi (Kwee Thiam Tjing), plus juga menerbitkan koran Pembrita Djember. Koran lain yang ada di Jember waktu itu adalah De Oosthoek Bode, koran berbahasa Belanda pimpinan Brunswijk van Hulten.
Sangat hebat, jempol untuk Bapak Kwee Thiam Tjing. Di tahun tersebut, adalah sulit memiliki percetakan pribadi. Perhitungan saya sederhana. Pada tahun 1949 saja, para penerbit pribumi mengeluhkan bahwa di Jakarta hanya terdapat dua percetakan yang dimiliki orang Indonesia asli, selebihnya milik warga Belanda. Meskipun hal itu berubah sejak 1950 ke atas (banyak warga Indonesia yang memiliki percetakan pribadi) tetap saja saya salut pada percetakan pribadi Bapak Kwee Thiam Tjing dan koran Pembrita-nya. Itu membuat daerah se-ndlesep Jember terlihat keren.
Ohya, tulisan saya tentang Pembrita Djember bisa anda baca di sini.
Kesimpulan
Saya kira, terjawab sudah rasa penasaran ini pada tulisan di plakat tersebut, kenapa bisa se-presisi itu. Ternyata pada era 1920-an, percetakan di nusantara sudah memiliki bentuknya meskipun masih belum sempurna benar.
Perkembangan dunia percetakan Indonesia selanjutnya..
Persatuan Perusahaan Grafika Indonesia (PPGI) mencatat, bahwa pada akhir dekade 1970-an, di Indonesia terdapat sekitar 1.700 perusahaan percetakan.
Pernyataan di atas sempat dikutip oleh Eduard Kimman dalam tesisnya yang dibukukan tahun 1981. Dengan pertimbangan banyaknya percetakan kecil yang tidak terdaftar di PPGI, Eduard memerkirakan pada saat itu di Indonesia ada sekitar 15.000 percetakan.
Bagaimana dengan jumlah percetakan saat ini? Tentunya jauh lebih besar, sebab dunia percetakan adalah bisnis yang berkembang sangat pesat.
Sumber rujukan percetakanku.co.id bisa dikunjungi di sini.
Siapa Pemilik Plakat Bertuliskan ABD. MOEKI Itu
Nah, ini dia pertanyaannya, siapa pemilik plakat tersebut? Apakah milik salah seorang guru, atau miliksiswa yang memegang pkalat itu sendiri. Jawabannya akan saya paparkan di artikel setelah ini.
Salam Gaya Bulbul!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon maaf, saya mengaktifkan moderasi pada kolom komentar, untuk entri yang lebih lawas --14 hari. Salam.