Sabtu, 27 Oktober 2012

Pasuruan dan Probolinggo

Sabtu, 27 Oktober 2012
Setelah berbicara tentang sebuah desa di Magelang bernama Mungkid, kali ini saya ingin meneruskannya dengan menuliskan kilasan sejarah yang mengitari Jember. Dimulai Pasuruan dan Probolinggo, dengan sumber yang saya sarikan dari makalah Handinoto, Staf Pengajar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Jurusan Arsitektur, Universitas Kristen Petra.

Pasuruan

Pasuruan disarikan dari sebuah nama, “Passer Oeang.” Tapi saya tidak menemukan data yang banyak mengenai Passer Oeang tempo dulu. Data terbanyak adalah ketika jaman tanam paksa antara tahun 1830 hingga 1870.

Tertulis dalam catatan sejarah, saat itu perusahaan Belanda bernama Nederland Handels Maatschappij atau NHM (sebagai satu-satunya perusahaan Belanda terbesar selama masa tanam paksa), sering mengeksport kopi dan gula langsung dari pelabuhan Pasuruan. NHM juga pernah mengeksport 10.963,5 pikul kopi dan 10.843 pikul gula langsung dari pelabuhan Pasuruan ke Eropa, antara tahun 1830 - 1870. Intinya, Pasuruan sempat dipakai sebagai kota pelabuhan untuk membawa hasil perkebunan tersebut langsung ke pelabuhan–pelabuhan di Eropa.

Adanya sungai Gombong juga memberi andil terhadap masa keemasan (peradaban) Pasuruan di abad ke-19. Dimasa lalu sebelum adanya jaringan jalan darat yang memadai, semua hasil bumi dari daerah pedalaman (hinterland) termasuk diantaranya adalah Jember, diangkut dengan perahu melalui sungai tersebut. Daerah pedalaman sekitar Pasuruan, merupakan salah satu daerah pertanian yang tersubur di Jawa.

Bicara tentang pelabuhan, di Pasuruan berdiri pelabuhan yang sangat besar. Tiga abad sebelumnya, yaitu abad ke-16, dimana kemajuan pelayaran dan perdagangan laut di Jawa mulai menunjukkan kemajuan, kegiatan ekonomi yang awalnya hanya berupa tukar menukar barang, berubah menjadi perdagangan laut antar pulau maupun antar Negara. Nah, saat inilah Pasuruan mulai dikenal sebagai daerah pelabuhan, jauh sebelum dibangun jalan raya pos oleh Deandels.

Sebagai kota pelabuhan, Pasuruan mempunyai penduduk yang relatif lebih hiterogen jika dibandingkan dengan kota-kota pedalaman di Jawa. Sejak ramainya perdagangan disana terdapat banyak sekali permukiman dari berbagai etnis, dengan alasan untuk berdagang. Diantaranya adalah etnis China, yang diperkirakan sudah ada sejak abad ke 17 di Pasuruan. Bahkan menurut pengamatan Tombe, seorang pengelana bangsa Perancis yang pernah mengunjungi komunitas China di Pasuruan pada tahun 1803, memperkirakan, penduduk China yang hidup berkelompok waktu itu, merupakan sepertiga dari penduduk Pasuruan.

Itulah sepintas sejarah tentang kota Pasuruan.Sekarang mari kita tengok sepintas mengenai sejarah kota Probolinggo.

Probolinggo

Probolinggo dikuasai sepenuhnya oleh Belanda pada tahun 1743. Dibandingkan dengan kota-kota pesisir Jawa Timur lainnya seperti Surabaya, Tuban atau Gresik, maka Probolinggo relatif kurang dikenal dimasa lalu. Patokan terjelas tentang Probolinggo adalah ketika kota ini mulai dikuasai oleh VOC, yaitu pada 1743.

Di era sebelum 1743, kota ini ada di bawah kekuasaan Pakubuwono II dari Mataram. Baru setelah perjanjian tanggal 11 Nopember 1743, antara VOC dan Mataram, Probolinggo diserahkan sepenuhnya kepada VOC. Namun sekali lagi, sulit melacak data tentang Probolinggo di masa Pakubuwono II.

Jika Pasuruan memiliki sungai Gombong, Probolinggo punya sungai bernama Banger. Itulah sebabnya sampai tahun 1765, Probolinggo masih dikenal dengan nama Banger. Dalam bahasa Jawa, kata Banger memiliki arti, air yang baunya tidak sedap.

Yang menarik dari Probolinggo, kota ini pernah dijual sebagai tanah pertikelir kepada Kapiten Han Tik Ko (asal Pasuruan), seharga 1.000.000 ringgit (rijksdaalders). Itu terjadi pada masa pemerintahan Daendels (1808-1811), tepatnya pada th. 1810.

Ketika nusantara jatuh di tangan Inggris (1811 - 1816), rakyat melakukan pemberontakan pada Han Tik Ko (yang juga dikenal dengan nama Babah Tumenggung Probolinggo). Ini terjadi pada tahun 1814.

Pemberontakan tersebut dibantu sepenuhnya oleh pihak Inggris, sampai akhirnya Probolinggo dapat direbut kembali.

Sebenarnya, di masa Deandels, bukan hanya Probolinggo yang mengalami nasib seperti itu (jatuh ketangan orang Cina kaya). Besuki dan Panarukan juga bernasib sama, disewakan kepada Han Boeijko (Han Boei Ko), seorang Kapiten dari Surabaya. Ini semua Deandels lakukan semata-mata butuh dana yang besar untuk mewujudkan program kerjanya di tanah Jawa.

Karena letaknya yang strategis dan penting tersebut, sejak tahun 1855, Probolinggo sudah menjadi ibukota Karesidenan Probolinggo dan kemudian menjadi ibukota afdeling (sederajat dengan kabupaten), yang termasuk Karesidenan Pasuruan.

Sampai tahun 1855 daerah sudut Jawa Timur merupakan satu wilayah dengan Besuki sebagai ibukotanya. Sesudah tahun 1855, Pasuruan, Probolinggo, Besuki dan Banyuwangi kemudian dijadikan ibukota Karesidenan dengan nama Karesidenannya mengikuti nama-nama ibukotanya.

Setelah undang-undang desentralisasi tahun 1903 dan disusul dengan pelaksanannya pada tahun 1905, Probolinggo punya status sebagai gemeente (kotamadya). Tapi baru pada tahun 1918 kota tersebut mempunyai dewan kotamadya (gemeente raad).

Dan baru pada tahun 1928, Probolinggo dipimpin oleh seorang Asisten Residen, yang kemudian menjadi Walikotanya. Sekarang Probolinggo berstatus Kotamadya sebagai ibukota Kabupaten Probolinggo.

Sebagai penutup kisah tentang Probolinggo, akan saya catatkan kembali kilasan cerita mengenao Bupati pertama Probolinggo.

Bupati pertama Probolinggo adalah Kyai Jayalelana, yang memerintah atas nama VOC. Kyai Jayalelana adalah anak laki-laki Kyai Bun Jaladriya dari Pasuruan. Tapi pada tahun 1768, Kyai Jayalelana diturunkan dari jabatannya dan kemudian dipenjarakan, karena dianggap oleh pihak VOC tidak setia ketika terjadi puncak konflik antara VOC dan Blambangan pada tahun 1768. Sampai sekarang Kyai Jayalelana masih dianggap sebagai orang suci bagi masyarakat Probolinggo.

Itulah garis besar tentang sejarah kota Pasuruan dan Probolinggo di masa Hindia Belanda. Untuk kota-kota sekitar Jember yang lain, Insya Allah menyusul.

Salam Gaya Bulbul!

Jumat, 26 Oktober 2012

Terdampar di Desa Mungkid

Jumat, 26 Oktober 2012
Pada bulan Oktober 2010 dua tahun yang lalu, ketika gema takbir menyambut Idul Adha berkumandang, saya sedang ada di Magelang. Tepatnya ada di sebuah desa bernama Mungkid, wilayah yang bertetangga dengan Kecamatan Muntilan.

Itu adalah saat dimana badai Merapi masih belum mereda. Debu tebal selalu menyertai langkah-langkah kaki para pejalan, dengan daya pandang yang kadang jelas kadang terbatas.

Dilihat dari namanya, desa Mungkid memiliki keunikan tersendiri. Karena selain sebagai nama desa, Mungkid juga nama sebuah kecamatan, dan sekaligus nama Ibu Kota Magelang, yaitu Kota Mungkid.

Ketika Ngopi di Desa Mungkid

Sehari sebelum malam takbir, saya menyempatkan diri untuk jalan-jalan sore menikmati suasana Mungkid. Langkah saya terhenti di sebuah toko kecil milik seorang perempuan paruh baya. Saya menuju ke toko tersebut karena di papan kecil (di depan toko) ada tertulis sebuah kalimat yang bersifat mengundang selera. JUAL KOPI - 2000 RUPIAH.

Kedatangan saya disambut oleh suara jenggongan anjing. Syukurlah, anjing tersebut diletakkan di dalam etalase (semi kandang). Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Takut anjing ya Mas?"

Pertanyaan dari pemilik toko saya jawab dengan senyum termanis yang bisa saya lemparkan. Tak lama kemudian, senyum saya semakin mengembang manakala terdengar bunyi kletek-kletek yang dihasilkan oleh benturan cangkir dan lepek yang bergoyang di atas nampan.

"Di Mungkid ini suasananya nyaman nggih Bu."

Gantian, kali ini si Ibu pemilik toko yang melempar senyum ke arah saya. Saya lupa, saat itu beliau ngomong apa. Yang jelas, setelah itu si Ibu bertutur banyak hal tentang daerah yang beliau tinggali. Desa Mungkid. Bukan hanya tentang Mungkid, beliau juga berkisah tentang Muntilan tempo dulu, juga sejarah Kabupaten Magelang secara garis besar.

Saya seperti seorang santri yang sedang mendengar petuah Mak Nyai. Begitu takjub dan begitu merasa bodoh. Desa Mungkid, Kecamatan Mungkid, dan Kota Mungkid Kabupaten Magelang, adalah daerah yang kaya akan kisah, dan saya baru tahu.

Acara ngobrol ala pesantren tersebut saya sudahi dengan merogoh dua lembar uang ribuan untuk membayar kopi nikmat yang sudah saya sruput sampai ke akar-akarnya. Betapa terkejutnya saya ketika Ibu pemilik toko berkata, "Mboten usah Mas, gratis."

Ah, Ibu ini ternyata bidadari berhati cantik. Kecantikannya terlihat dari gambar-gambar yang tertempel di dinding tokonya, sebuah simbol-simbol keagamaan, dan kisah yang tadi sempat tertuturkan, bahwa beliau adalah seorang jemaah gereja yang aktif di lingkungannya.

Mungkin Ibu pemilik toko itu juga kasihan melihat sosok lelaki yang ngopi di tokonya. Kecil, dekil, datang dari Jember karena ingin bergabung dengan team SAR, tapi kenyataannya potensi SAR sudah melebihi kuota. Akhirnya si lelaki ini terdampar di Balai Desa Mungkid yang dijadikan posko penampungan korban bencana, dan melebur bersama mereka. Menemani bocah-bocah kecil, menghibur para manula, memanajemen beberapa hal, dan setelahnya luntang-lantung bingung cari sesuatu untuk dikerjakan.

Ibu pemilik toko sempat berkata, "Oalah Mas, tak pikir sampeyan ini salah seorang pengungsi Merapi."

Kelak, ketika saya jatuh cinta pada selembar foto dengan ABD. MOEKI di dalamnya, saya kembali mengingat kisah yang pernah dituturkan Ibu pemilik toko yang baik hati. Dongengnya memudahkan saya untuk menelusuri Mungkid dan Muntilan tempo dulu, dari data ke data, dan dari katanya ke katanya.

Sebuah Kota Kecil Bernama Mungkid

Saya ajak anda untuk menengok sejarah berdirinya Kabupaten Magelang, dan tentang Kota Mungkid itu sendiri. Yang menarik dari Magelang adalah antara sejarah wilayah Kabupaten dan Kota-nya, saling berkaitan. Sebelumnya, kedua wilayah tersebut bersatu tanpa ada pemisahan teritorial.

Dari data yang saya baca, Magelang terbentuk pada tanggal 11 April 907 M. Ini didasarkan pada Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 6 Tahun 1989, setelah sebelumnya diadakan berbagai diskusi dan seminar mengenai Hari Jadi Magelang.

Pada 1918 di era Hindia Belanda, terbit UU No 22/1918, yang menyatakan bahwa Kota Magelang ditetapkan sebagai Ibu Kota Kabupaten. Selanjutnya, pada tahun 1950, di lima tahun kemerdekaan Indonesia, Kota Magelang diberi hak mengatur rumah tangganya sendiri, berdasarkan UU 13/1950.

Nah, sejak saat itu terjadilah pemisahan wilayah administratif antara Kota dan Kabupaten, meskipun pusat pemerintahan Kabupaten tetap berada di Kota Magelang.

Pada 32 tahun berikutnya, saat Bupati Magelang dijabat oleh Bapak drh. Soepardi (sejak 22 Maret 1979), ada sebuah gagasan menarik. Bapak drh. Soepardi memiliki pemikiran, jika roda pembangunan dan pemerintahan masih berada (dan terpusat) di kota Magelang, maka kemungkinan besar hasilnya kurang optimal. Berangkat dari pemikiran tersebut, beliau mengusulkan untuk memindahkan ibu kota kabupaten dari Kota Magelang ke wilayahnya sendiri, yaitu di daerah Mungkid.

Gagasan ini baru ditindaklanjuti tahun 1982. Setelah diadakan penelitian dari berbagai sisi, gagasan tersebut dianggap masuk akal dan bisa diterima. Lalu muncul opsi untuk daerah yang akan dipilih, yaitu Muntilan, Secang, Tempuran, dan Mungkid. Dan pilihannya jatuh pada daerah Mungkid.

Singkat cerita, terbitlah PP No 21/1982, yang ditandatangani Presiden Soeharto pada tanggal 4 Agustus 1982.

Sampai saat ini drh. Soepardi dikenang sebagai sosok pencetus berdirinya Kota Mungkid (dari yang tadinya bukan kota).

Antara Kota Mungkid dan Kecamatan Mungkid

Saya yang bukan warga Magelang, mulanya bingung dan sulit membedakan mana yang Kota Mungkid dan mana yang Kecamatan Mungkid. Tadinya saya kira keduanya adalah wilayah yang sama. Ternyata saya salah.

Kota Mungkid dan Kecamatan Mungkid adalah dua wilayah yang berbeda. Perbedaannya ada di pembagian wilayah. Kecamatan Mungkid terdiri dari 16 desa / kelurahan, dan dua diantaranya masuk ke zona Kota Mungkid.

Berikut 16 Desa di Kecamatan Mungkid:
- Ambartawang
- Desa Mungkid
- Blondo
- Bojong
- Bumirejo
- Gondang
- Mendut
- Ngrajek
- Pabelan
- Pagersari
- Paremono
- Progowati
- Rambeanak
- Sawitan
- Senden
- Treko
Adalah Kelurahan Sawitan dan Kelurahan Mendut yang masuk ke wilayah Kota Mungkid. Wilayah lainnya yang masuk ke dalam administrasi Kota Mungkid adalah desa Deyangan, sebuah desa yang menjadi bagian dari Kecamatan Mertoyudan.

Jadi, Kecamatan Mungkid adalah daerah tersendiri, sedangkan Kota Mungkid terdiri dari 2 kelurahan (dari Kec. Mungkid) dan satu desa (masuk Kec. Mertoyudan).

Kelak, nama drh. Soepardi diabadikan sebagai nama pendapa kabupaten dan nama lapangan sepak bola di Sawitan.

Sekarang saya mengerti, dulunya Mungkid adalah nama desa dan juga nama kecamatan yang kemudian dikembangkan menjadi ibu kota baru kabupaten, menggantikan Kota Magelang. Kota Mungkid berjarak sekitar 10 km sebelah selatan dari Kota Magelang.

Dari Mungkid ke Muntilan

Jarak antara Mungkid dengan Muntilan tidak terlalu jauh, sama seperti alun-alun Jember ke Taman Makam Pahlawan Patrang.

Saat berada di Muntilan, mata saya disegarkan oleh bangunan-bangunan tua yang masih eksis hingga sekarang. Dilihat dari situs arsiterturnya, pastilah Muntilan menyimpan kisah masa lalu yang indah.

Ya benar, di sinilah dulu Romo van Lith mulai merintis berdirinya sekolah guru yang tamatan-nya nanti diharapkan mampu mendidik kaum bumi putera. Sekolah guru ini dijalankan dengan sistem asrama, dengan nama Normaalschool dan Kweekschool.

Normaalschool adalah sekolah guru berbahasa pengantar bahasa daerah, sedang Kweekschool adalah sekolah guru dengan bahasa pengantar Belanda.

Saya pernah menuliskan sepenggal kisah Romo van Lith di sini.

Kampus SMA Pangudi Luhur van Lith

Sekarang, gedung bersejarah tersebut berganti nama menjadi Kampus SMA Pangudi Luhur van Lith. Dimulai pada tahun 1952, ketika sekolah tersebut diserahkan kepada Kongregasi Bruder FIC, yang dalam perkembangannya menjadi SGB, SMP, dan kemudian SGA Xaverius.

SGA Xaverius berganti nama menjadi SPG van Lith. Itu terjadi di tahun 1966. Perubahan terjadi lagi ketika Pemerintah menutup semua SPG di seluruh Indonesia, di tahun 1991.

Sebagai gantinya, SPG van Lith beralih fungsi menjadi SMA Pangudi Luhur van Lith. Sistem sekolahnya ber-asrama, dan dengan status disamakan. Dasar hukum dari pergantian nama ini berdasarkan Keputusan Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah No. 488/C/Kep/I/92 tanggal 31 Desember 1992.

Lebih Dekat Lagi Dengan Kabupaten Magelang

Sejarah Magelang ditelusuri melalui tiga sumber prasasti, yaitu Prasasti Poh, Prasasti Gilikan dan Prasasti Mantyasih. Ketiganya adalah prasasti yang ditulis diatas lempengan tembaga.

Dari penelusuran tersebut, disimpulkan bahwa Kota Magelang mengawali sejarahnya sebagai desa perdikan Mantyasih. Mantyasih sendiri saat ini dikenal dengan Kampung Meteseh di Kelurahan Magelang. Ah, sayangnya saya tidak pernah ke Kampung Meteseh. Sepertinya menyenangkan nyruput kopi di desa tua itu. Semoga suatu saat saya ada kesempatan ngopi di Menteseh, dan melihat sebuah lumpang batu (yang ada di desa tersebut) yang diyakini sebagai tempat upacara penetapan Sima atau Perdikan.

Ada desa lagi selain Matyasih, yaitu Glangglang. Seiring perubahan jaman, kedua desa tersebut berganti nama. Mantyasih menjadi Meteseh, Glangglang menjadi Magelang.

Prasasti Poh dan Mantyasih sendiri ditulis pada zaman Mataram Hindu, saat pemerintahan Raja Rake Watukura Dyah Balitung (898-910 M).

Kok saya tahu? Iya, saya mengintipnya di web Magelang Kota, hehe. Anda bisa inguk-inguk juga. Selengkapnya ada di sini.

Cara Saya Mengingat Magelang

Kelemahan terbesar saya adalah sifat pelupa yang dahsyat. Untuk itu, saya butuh metode tersendiri dalam mengingat kota cantik bernama Magelang. Nah, inilah cara saya dalam mengingat Magelang.

1. Mengenang Kerajaan Gelang-Gelang yang pernah disebut-sebut dalam sandiwara radio Saur Sepuh. Dari Gelang-Gelang, saya akan teringat Magelang.

2. Ingat Normaalschool, ingat Romo van Lith, ingat Muntilan, dan semuanya mengantarkan saya untuk mengingat Magelang.

3. Dunia kagum dengan Candi Borobudur, saya juga. Dan mahakarya peninggalan Dinasti Syailendra ini adalah cara termudah untuk mengingat Magelang. Ingat Borobudur ingat Magelang.

4. Posisi Magelang ada di cekungan sejumlah rangkaian pegunungan. Merbabu - Merapi - Sumbing, ketiganya mengingatkan saya Pada Magelang. Apalagi ketika menyebut barisan Bukit Manoreh, bukan hanya karya SH Mihardja saja yang saya ingat, tapi juga Magelang. Ingat Api di Bukit Manoreh, ingat Magelang.

5. Dan satu lagi yang paling mudah. Saya pernah terdampar di sebuah desa bernama Mungkid. Saat itu takbir berkumandang. Esoknya saya shalat Ied di sebuah masjid yang agak menjorok ke dalam gang, di seberang Balai Desa Mungkid. Ingat Mungkid ingat Magelang.

Sedikit Tambahan

Dari berbagai sumber, dan dari penggalan-pengalan kisah yang berhasil saya ingat.

Mungkid dan Moeki, hehe.. Mirip ya.

Salam Gaya Bulbul!

Kamis, 25 Oktober 2012

Abdoel Moeki Mengajak Saya Terbang

Kamis, 25 Oktober 2012
Harus saya akui, rasa penasaran pada sosok Abdoel Moeki (dan segala yang berkaitan dengan Normaalschool) memaksa saya untuk melahap buku lebih banyak, menyiagakan telinga lebar-lebar, dan mengkorupsi hak tubuh untuk beristirahat.

Saya tidak terlahir sehebat Bacharuddin Jusuf Habibie, Achmad Bachtiar, Mungki Krisdianto, Ananda Firman Jauhari atau Gus Dur. IQ saya biasa-biasa saja, terbukti dari raport sekolah saya yang rata-rata air . Ketika seorang Galih Nofiyan (Almarhum) dengan mudah memahami buku tipis karya Romo Mangun, itu tidak terjadi pada saya. Butuh waktu yang panjang bagi saya untuk memahami buku (yang saya lupa judulnya) tersebut.

Modal saya untuk mencari tahu siapa gerangan Abdoel Moeki hanya satu. Karena saya ingin mencari tahu, itu saja. Tak ada yang menyuruh, tidak ada yang memberi tekanan, pun tidak ada maksud lain yang sengaja saya sembunyikan dibalik 'kekonyolan' ini. Semua mengalir sederhana, seperti ketika saya masih bocah dan tiba-tiba saya berhasrat untuk mengejar layang-layang yang putus dari benangnya. Itu bukan karena Bapak saya tidak bisa membuatkan layang-layang. Sama sekali bukan. Semua hanya karena sebuah kata bernama 'ingin.'

Bermula dari perkenalan saya dengan selembar foto di situs KITLV, kemudian timbul hasrat alami untuk mencari sosok ABD. MOEKI yang namanya terhias indah di sebuah plakat kertas tebal.

Namanya ABD. MOEKI, dia seorang siswa di Normaalschool voor inlandse hulponderwijzers di Jember, tahun 1923.

Adalah tidak mungkin jika hanya itu modal awal yang saya jadikan senjata untuk mencari tahu siapakah Abdoel Moeki. Tapi saya tidak peduli. Ibaratnya saya adalah seorang pengelana di tanah gersang yang merindukan setetes air. Kemanapun saya memandang, fatamorgana selalu setia menemani jejak kaki-kaki kecil ini. Semua menawarkan ketidakpastian yang indah, selayaknya fatamorgana yang sebenarnya.

Abdoel Moeki membuat saya berpikir bahwa cerita rakyat, dongeng kakek, legenda yang tersisa, dan segala hal yang serupa, itu semua sangat penting. Kita hanya butuh tulus untuk mendengar sang penutur, senyum manis untuk berucap terima kasih, dan super filter manakala harus merangkainya.

Maka berpetualanglah saya dengan kisah-kisah (yang dianggap) usang itu. Meskipun saya tahu, bukan itu yang saya butuhkan saat pertama kali memulai pencarian. Saya butuh tahu dimanakah lokasi gedung Normaalschool Jember, dan butuh kepastian akan status ABD. MOEKI sendiri. Apakah dia seorang siswa, guru, ataukah nama seorang tokoh terkemuka di jamannya. Tapi, ketika buku tak lagi bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan kita, maka jawabannya adalah dengan membentangkan sayap silaturrahmi, baik dalam arti sebenarnya maupun kiasan bersayap.

Saya mencari ABD. MOEKI dari era yang terdekat, saat sejarah Jember banyak mengukir nama-nama orang yang layak dijadikan pahlawan. Letkol M. Sroedji, Dr. Soebandi, dan semua orang di bentangan sejarah Agresi Militer II, saya telusuri kembali. Berharap menemukan titik-titik pencerah, mengingat jarak antara Agresi Militer II dengan usia selembar foto tersebut hanya 22 tahun.

Perihal budaya nama-nama di bumi nusantara juga tidak luput dari ketertarikan saya. Misal, nama marga. Atau ketika jaman kerajaan Majapahit, banyak terlahir tokoh-tokoh yang namanya diambil dari nama-nama binatang. Ketika agama semakin memperkaya peradaban Indonesia, muncullah nama-nama yang tak jauh dari filosofi agama yang dipeluk si empunya nama. Dan lahirlah Moeki, yang menyingkat nama depannya menjadi ABD. Nama yang seharusnya terdiri dari dua suku kata (Abdoel), penyebutannya menjadi lebih panjang ketika disingkat ABD.

Petualangan saya pada budaya nama-nama itu mengantarkan saya pada Bupati Jember yang pertama (mengikuti aturan yang tercatat di PEMKAB Jember). Beliau adalah Bapak Notohadinegoro, yang namanya diabadikan sebagai nama Stadion. Nama beliau adalah Wiryodinoto. Kemudian beliau diberi gelar oleh Mangkunegaran Solo, karena mempersunting putri Keraton Solo. Sebelum menjabat Bupati di Jember, Bapak Notohadinegoro adalah seorang Wedono di Ngadiluwih - Kediri.

Tidak berhenti pada nama-nama, saya juga memerdekakan diri untuk terbang ke abad ke-15, atau bahkan yang lebih lama lagi. Ketika harus menceritakan tentang sejarah periklanan, saya malah melayang ke masa Yunani kuno, yaitu di periode Yunani Arkais di abad kedelapan sampai keenam Sebelum Masehi.

Watu macan, batu gong, dan masih berderet lagi peninggalan di Jember yang sempat saya intip. Tidak ada hubungannya dengan pencarian ABD. MOEKI memang, dan sebagiannya tergolong legenda (seperti kisah macan Jember yang senang meloncat dari Raung ke Argopuro). Tapi dari pencarian ABD. MOEKI-lah hasrat kesejarahan itu tumbuh.

Orang-orang yang mengenal saya tentu paham, saya bukan seseorang yang Jember Centris atau Mber Mejember. Bukan, sama sekali bukan. Saya tidak pernah memenjarakan diri ini dengan ikatan teritorial. Hanya saja, semakin saya bertumbuh besar, saya memilih untuk tinggal dan memejamkan mata di sini. Seperti kata seorang teman, seharusnyalah kita belajar untuk memilih manakala kesempatan untuk itu masih ada.

Saya rasa, inilah alasan kenapa saya banyak-banyak menulis tentang Jember di blog-blog usang (bahkan tiga diantara blog tersebut tak terawat, untuk kemudian saya tutup), menciptakan lagu Ai eLof Jember, dan sekarang bertambah satu lagi yaitu berburu dongeng.

*******

Angin membawa saya mengerti, bahwa Moeki adalah seorang siswa Normaalschool. Kunci jawaban tersebut saya temukan melalui plakat nama. Sepertinya mudah, tapi bagi saya tidak sangat mudah. Untuk menemukan kunci jawaban mengenai status Moeki, saya masih harus membandingkan foto tersebut dengan berbagai foto seputar suasana belajar mengajar di jaman Hindia Belanda. Mengingat mudahnya melihat foto di dunia maya (kari bondho klik), ada banyak sekali foto yang saya jadikan perbandingan.

Kebiasaan (baru) saya dalam menthelengi foto, memberi saya wawasan baru mengenai
pentingnya melakukan perbandingan foto-foto Normaalschool di dunia, dalam hal menelusuri ABD. MOEKI dan Normaalschool itu sendiri.

Saya pelajari juga sejarah plakat di Indonesia (dan dunia). Mulai dari sejarah diketemukannya kertas di dunia, sejarah mesin cetak, sejarah pers, hingga pers pertama yang ada di kota kecil Jember.

Ketika ada yang bertanya, apa alasan orang Belanda mendirikan sekolah bagi anak-anak Indonesia? Saya berpikir sangat dalam. Lalu saya mencari data-data manual, buku-buku penunjang (apapun buku tersebut), kontak kawan-kawan yang potensial memiliki buku yang saya inginkan, bertanya, hingga akhirnya online dan mencari sebuah buku yang ada format PDF-nya. Atau kalau tidak, saya akan membuka katalog sebuah toko buku online, dan inceng-inceng beberapa halaman yang disediakan.

Begitulah, perburuan saya pada sosok ABD. MOEKI. Melebar selebar-lebarnya sejalan dengan argumentasi kawan-kawan, pertanyaan-pertanyaan baru, selentingan bersahabat, buku-buku pinjaman baru, hingga humor-humor cerdas. Saya menerima semuanya, lalu saya menyaringnya. Sama seperti ketika Almarhumah Ibu saya sedang meremas parut kelapa di atas saringan. Ampasnya akan saya gunakan untuk mengelap lantai, sedang santannya akan saya manfaatkan sebagai senjata mencari ABD. MOEKI.

Ya, saya tidak tertib diksi. Anda bisa lihat sendiri di tulisan ini. Ketika saya harus menyebut nama sasaran tembak, saya menggunakan berbagai gaya. Kadang ABD. MOEKI (dengan huruf kapital), kadang Abdoel Moeki, kadang malah hanya Moeki saja. Tak apalah jika saya dibilang tidak tertib dalam menggunakan kata. Hidup itu luas, saya hanya sedang mencoba memanfaatkan keluasan yang indah ini.

Segala Hal Yang Saya Dapatkan Tentang ABD. MOEKI


1. ABD. MOEKI adalah nama lain dari Abdoel Moeki, dia menyingkat nama depannya menjadi ABD. Trend menyingkat nama Abdoel (atau Abdul) menjadi ABD ini kembali mencuat di tahun 1970-an.

2. Moeki adalah siswa Normaalschool voor inlandse hulponderwijzers di Jember.

Normaalschool adalah sekolah untuk guru, berbahasa pengantar bahasa daerah, dan sistem pendidikannya asrama. 

Tadinya saya heran dengan istilah (nama) Normaalschool atau Sekolah Normal. Kok namanya Sekolah Normal ya? Kesannya, yang sekolah di sini adalah siswa-siswi yang tidak normal, disekolahkan agar menjadi normal. Ternyata tidak, itu adalah istilah yang diadopsi dari sebuah sekolah model di Paris. Dimana di sekolah itu, pola pengajaran antara guru dan siswa bersifat pro aktif. Seperti jaman saya SD dulu, paket pelajarannya bernama CBSA, Cara Belajar Siswa Aktif.

Abdoel Moeki bukan nama salah seorang guru seperti perkiraan saya sebelumnya.  Dia adalah siswa sang pemegang plakat bertuliskan namanya sendiri.

3. Moeki bukan anak dari seorang Ningrat, melainkan pribumi biasa.

Normaalschool adalah sekolah pendidikan guru yang dirancang khusus untuk sekolah anak-anak pribumi, berkebalikan dengan Kweekschool.

Adapun baju bagus yang dikenakan oleh murid-murid Normaalschool, itu karena mereka sedang ada di tahun pengajaran baru. Baju yang mereka kenakan (seperti yang tampak pada foto), adalah baju terbaik yang ada di koleksi lemari keluarga mereka. 

Para orang tua yang berkedudukan tinggi, ningrat, saudagar, lebih memilih menyekolahkan anaknya di Kweekschool daripada Normaalschool. Meskipun sama-sama sekolah guru, tapi beda bahasa pengantar. Kweekschool menggunakan bahasa Belanda. Lebih bergengsi dan bersifat mengangkat status sosial, juga karena tamatan Kweekschool lebih berpeluang untuk menjadi seorang elit Hindia Belanda.

Meskipun sederajat, dalam kondisi tertentu siswa lulusan Normaalschool bisa meneruskan di Kweekschool. Misalnya, dia adalah siswa berprestasi di Normaalschool, maka bisa saja dia berpeluang untuk melanjutkan di Kweekschool.

4. Usia Abdoel Moeki adalah 15 tahun.

Jika menengok buku karya Elizabeth E. Graves (yang berjudul, Asal-usul elite Minangkabau modern: respons terhadap kolonial Belanda abad XIX/XX), disebutkan bahwa, untuk masuk Normaalschool, para siswa tidak perlu tamat sekolah nagari (atau sekolah desa, atau Volkschool), tapi mereka setidaknya harus berumur 14 tahun.

Argumentasi yang lain. Untuk masuk Normaalschool harus lulus dari Vervolg atau Sekolah Kelas II (lebih populer dengan istilah Sekolah Ongko Loro). Sekolah yang dirancang khusus untuk pribumi ini memiliki masa studi 5 tahun. Sebelumnya, harus menempuh Sekolah Desa dengan masa studi 3 tahun.

Masa Hinda Belanda tidak ada Kelompok Bermain (Speel Groep) dan sekolah TK (Voorbels). Siswa pribumi belum boleh memasuki sekolah desa jika belum berusia 7 tahun. Pengecualian untuk yang berumur 6 tahun tapi tangan kanannya sudah bisa menggapai telinga kiri, masih bisa dikompromi. Untuk sekolah-sekolah dasar yang berbahasa pengantar Belanda, diperbolehkan memulai studinya di usia 6 tahun.

Berhubung Moeki adalah pribumi biasa, dia akan menempuh sekolah di Sekolah Desa selama tiga tahun, dan masuk pada usia 7 tahun. Ketika berumur 10 tahun, Moeki melanjutkan sekolahnya di Sekolah Ongko Loro atau Vervolg, dengan masa studi 5 tahun. Jadi dia lulus dari Vervolg di usia 15 tahun, kemudian melanjutkan ke Normaalschool.

5. Abdoel Moeki dilahirkan di tahun 1908.

Berpatokan pada angka tahun dalam foto, saat itu Moeki berusia 15 tahun. Jadi tahun kelahirannya adalah 1923 - 15 = 1908.

6. Abdoel Moeki berusia 37 tahun ketika Indonesia merdeka.

Mohon maaf, poin enam ini hanya prediksi saya saja, sama sekali tidak ada maksud mempermainkan hal yang ghaib. Bermaksud untuk memudahkan saya dalam mengimajinasikan latar sejarah di masa hidup Abdoel Moeki.

7. Normaalschool Jember berlokasi di wilayah Sukorejo, sekarang gedungnya menjadi Markas Batalyon 509.

Tadinya saya mengira gedung Normaalschool berada di Het sociëteitsgebouw te Djember, ternyata sumber yang lebih rinci mengantarkan saya ke sana. Akan tetapi poin ini belum final, akan saya sempurnakan di kesempatan yang lain.

Sedikit Tambahan

Vervolg atau Sekolah Kelas II (Ongko Loro) di Jember telah terdeteksi keberadaannya sejak 5 januari 1892, dari daftar gaji yang saya dapatkan di situs dbnl berikut ini.


Perburuan saya tentang ABD. MOEKI memang jauh dari kata selesai, karena sedari awal saya tidak memberi batasan tentang garis finish-nya. Sementara hanya ini yang bisa saya dapatkan. Namun dari yang sedikit ini, saya memungut banyak hal tentang kisah pendidikan di Indonesia.

Yang membuat saya terpana (dan sedikit marah) adalah kenyataan bahwa Normaalschool dipandang sebelah mata, teristimewa oleh si pembawa sistem itu sendiri.

Bahwa Normaalschool adalah sekolah kelas rakyat, berbahasa pengantar bahasa daerah, dan dianggap terbelakang dibanding sekolah-sekolah berbahasa Belanda, bisa anda simak dari kisah P. Swantoro saat mewawancarai W.J.S. Poerwadarminta (dalam bentuk spoiler).

Penggalan Kisah dari Pak Poerwa:

Penggalan kisah P. Swantoro saat mewawancarai W.J.S. Poerwadarminta:

Pada tahun 1963, saya sempat mewawancarai Poerwadarminta untuk keperluan majalah Intisari. Ia berkisah, di jamannya dulu, gaji seorang guru lulusan Normaalschool hanya 40 gulden, sedangkan lulusan Kweekschool, sekolah guru yang juga empat tahun, tetapi berbahasa-pengantar Belanda, 75 gulden. Karena itu, para siswi sekolah guru menjuluki guru-guru lulusan Normaalschool "sego abang" (nasi merah), sedangkan lulusan Kweekschool "sego putih" (nasi putih). Ejekan menyakitkan inilah yang memacu Pak Poerwo, dan barangkali juga sejumlah rekannya, untuk mempelajari bahasa-bahasa asing, khususnya bahasa Belanda.
Syukurlah, Indonesia memiliki bunga-bunga bangsa yang hebat dalam memberi sentuhan pada dunia pendidikan di negeri ini. Diantara yang banyak itu, salah satunya adalah Kyai Ahmad Dahlan. Beliau bisa memberi polesan indah pada sejarah pendidikan di negeri ini. Saya membaca kisahnya di aneka sumber. Salah satunya di karya hebat seorang dosen Universitas Paramadina bernama Yudi Latif. Buku itu berjudul: Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20.

Beruntung saya menemukan format PDF buku tersebut. Karena terus terang saja, buku bergizi setebal 822 halaman ini harganya juga lumayan bergizi untuk saya. Tapi saya tetap berharap, semoga di waktu yang lain buku tersebut bisa bersandar manis di pojok rumah.

Sayang sekali, buku setebal ini hanya menyebutkan Normaalschool sekali saja. Ya, hanya satu kali. Di halaman 230, dan terletak di catatan kaki berkode 40. Ah...

Salam Gaya Bulbul!

Rabu, 24 Oktober 2012

Kamera Dibalik Selembar Foto

Rabu, 24 Oktober 2012
Dulu di jaman saya masih SMA, kamera yang biasa dimiliki oleh teman-teman adalah kamera jenis pocket manual. Dan kamera tersebut hanya terdiri dari beberapa merk saja. Paling populer adalah merk Kodak. Aneh, padahal berjarak lumayan jauh dengan jaman ABD. MOEKI, tapi saya merasa ketinggalan satu abad.

Paragraf pembuka di atas melahirkan sebuah tanya, apa jenis kamera yang digunakan untuk memotret normaalschool voor inlandse hulponderwijzers di tahun 1923? Ah, saya tidak mungkin bisa menjawabnya tanpa tahu sejarah kamera itu sendiri.

Sejarah Kamera

Bermula Dari Teknik Lubang Jarum

Gagasan tentang menangkap obyek dan mengabadikannya (seperti cara kerja kamera) sebenarnya telah dimulai oleh Aristoteles di tahun 336 SM. Saat itu dia memperkenalkan teknik LUBANG JARUM. bahwa cahaya yang melewati lubang kecil akan membentuk kesan atau gambar atau image.

Metode lubang jarum inilah yang akhirnya dijadikan landasan teori. Pijakan dasar tersebut terus dikembangkan hingga akhirnya teknologi kamera berkembang seperti yang kita rasakan sekarang ini. Contoh, hampir setiap telepon genggam dilengkapi dengan kamera dengan berbagai pilihan mega pixel.

Kamera Obscura - Ditemukan oleh Alhazen

Adalah Alhazen (seorang ilmuwan muslim) yang pertama kali menemukan Kamera Obscura. Obscura tersebut dijelaskan pada bukunya yang berjudul Books of Optics (1015-
1021 Masehi). Sejak saat itu para ilmuwan arab telah disibukkan dengan penggunaan-penggunaan kamera tersebut.

Obscura sendiri berasal dari bahasa latin, yang memiliki arti ruang gelap. Kamera Obscura ini berbentuk ruangan khusus yang di dalamnya dipantulkan cahaya yang terdiri dari dua lensa konveks.

Obscura Disempurnakan Oleh Roger Bacon

Roger Bacon (juga dikenal dengan sebutan Doctor Mirabilis) menyempurnakan Kamera Obscura temuan Alhazen tersebut di tahun 1267. Bacon menambahkan beberapa cermin untuk memantulkan cahaya yang masuk lewat lubang. Nah, dari hasil pantulan itu, terciptalah proyeksi gambar kondisi di luar. Peristiwa proyeksi kondisi yang dibawa cahaya tersebut, dinamakan dengan ilusi optikal.

Giovanni Turut Menyempurnakan Obscura

Pada 1535 hingga 1615, hiduplah seorang penulis dan ilmuwan bernama Giovanni Battista della Porta (dari Italia). Dia turut mengembangkan camera obscura, dan selalu mencoba melakukan berbagai eksperimen.

Yang Giovanni lakukan adalah menggunakan sebuah lensa sederhana untuk mempertajam proyeksi bayangan yang masuk melalui lubang. Walaupun hasilnya masih jauh dari sempurna, namun langkah ini telah menandai mulai digunakannya sebuah lensa dalam pengembangan camera obscura.

Teknologi Orbem e Vitro

Gerolomo Cardano, seorang matematikawan asal Italia, memperkenalkan teknologi orbem e vitro di abad ke-16. Teknologi ini menggunakan dua cermin cembung yang berfungsi sebagai lensa, sehingga cahaya yang masuk mengalami dua kali pemantulan. Seiring populernya teknologi Orbem e Vitro, hingga ada yang menyebutnya sebagai nenek moyang lensa kamera.

Lensa memang punya peran yang penting dalam kamera. Tanpa lensa, kamera tidak akan bisa mengambil gambar. Tugas lensa adalah mengambil cahaya dari subyek agar masuk ke dalam fokus, sehingga bisa menghasilkan gambar yang bagus.

Kamera Portable Obscura

Kali ini Robert Boyle dan asistennya, Robert Hooke, yang menemukan kamera portable obscura, era 1660-an. Robert Boyle adalah seorang ilmuwan asal Inggris. Temuannya sangat memberi manfaat karena kelebihan dari Kamera Portable Obscura adalah bisa dipindah-pindah, hingga nantinya berbentuk menjadi sebuah kotak yang mudah untuk dibawa dan dipindahkan.

Penemuan mereka lebih diperhalus dan disempurnakan lagi oleh Johann Zahn di tahun 1686. Kamera portable obscura ini cukup praktis dan cukup kecil untuk dapat digunakan dalam bidang fotografi.

Ciri-ciri dari Kamera Portable Obscura yang paling mudah dikenali adalah pemakaian lampu jepret yang meledak dan mengeluarkan asap. Dengan penemuan baru tersebut mulailah kamera dikenal oleh masyarakat luas.

Di masa ini, orang-orang berpendapat bahwa tidak sembarang lensa yang bisa digunakan pada camera obscura. Maka dibuatlah lensa konveks yang berfungsi untuk menghasilkan gambar yang lebih jelas dan lebih tajam.

Teknik Daguerreotype Menjadikan Dunia Fotografi Lebih Mudah

Dialah Louis-Jacques-Mandé Daguerre (lahir pada 18 November 1787 dan meninggal pada 10 Juli 1851), seorang seniman dan fisikawan Perancis, yang telah berjasa menyempurnakan kamera, di tahun 1837.

Pada waktu itu ia menemukan lempengan yang diletakkan dalam alat camera obscura, hingga bisa langsung menyerap proyeksi gambar yang terpantul. Teknik mencetak karya Daguerre ini kemudian disebut daguerreotype.

Meskipun Teknik Daguerreotype dianggap bombastis, namun teknik ini masih memiliki sebuah kelemahan, yaitu hanya bisa bisa mencetak gambar sebanyak satu kali saja.

Teknik Daguerreotype ini kemudian dijual oleh Jacques Daguerre kepada pemerintah Perancis pada tahun 1839. Teknik mencetak gambar ini kemudian menjadi tersebar ke seluruh Eropa dan Amerika.

Kamera Yang Digunakan Belanda Dimulai Dari Sini

Teknik Daguerreotype adalah pijakan awal bagi pemerintah kerajaan Belanda untuk pendokumentasiannya di Indonesia (jaman penjajahan), yang nantinya seluruh dokumentasi tersebut tersimpan di KITLV. Pendokumentasian Belanda di Indonesia lebih sempurna lagi setelah ditemukannya teknik calotype.

Teknik Calotype: Cikal Bakal Penamaan Photography

Teknik Calotype ditemukan oleh William Fox Talbot dari Inggris pada tahun 1844. Ini adalah teknologi baru yang bisa memperbanyak foto lewat kertas film negatif.

Kelemahan dari Teknik Calotype adalah cetakannya tidak sebagus foto Daguerre yang menggunakan Teknik Daguerreotype. Akan tetapi dia bisa memperbanyak hasilnya, berapapun jumlahnya. Proses ini kemudian dinamakan PHOTOGRAPHY, dan kemudian diakui sebagai inspirator proses foto modern.

Teknik Collodion Yang Mencengangkan

Seseorang bernama Frederick Scott Archer (1813 - 1857) menyusul prestasi yang telah ditorehkan Daguerre dan William Talbot. Dia berhasil membuat temuan mencetak foto yang lebih cepat. Hanya dalam waktu 3 detik saja, wow! (ngomong wow sambi salto). Cara kerjanya adalah dengan mencetak gambar pada saat plat film masih dalam keadaan basah. Teknik ini kemudian dinamakan collodion.

Frederick Scott Archer benar-benar membuat prestasi. Temuannya sangat meningkatkan aksesibilitas fotografi untuk masyarakat umum.

Ditemukannya Gelatin Oleh Richard Maddox

Gelatin adalah sebuah bahan yang digunakan untuk mencetak foto, dan Richard Maddox menemukannya di tahun 1871.

Bahan gelatin menggantikan piringan kaca fotografik. Dengan penemuan gelatin, gambar bisa dicetak lebih banyak dan kualitasnya lebih bagus. Di era tersebut, kamera sudah ada yang lebih handy alias bisa ditenteng. Ini merupakan awal dari proses produksi massal film.

Kamera Kodak Seperti Jaman Saya SMA Dulu

Walah, ternyata kamera Kodak portable box sudah diperkenalkan oleh Eastman ke publik tahun 1888. Saya benar-benar ketinggalan. Malah tertinggal dua abad, bukan satu abad. Wew..

Kamera kodax portable box lebih ringkas dan sederhana daripada alat-alat fotografi sebelumnya. Alat ini sudah bisa digunakan oleh setiap orang, karena mudah digunakan. Namun, atas pertimbangan manajemen, kamera ini tidak segera dipasarkan ke publik.

Penemuan Bidang Photograpy di Abad 20

Kamera Leica

Leica adalah merek kamera yang diproduksi oleh perusahaan Jerman bernama sama, yaitu perusahaan Leica. Ini perusahaan yang unik, mengingat sebelumnya mereka tidak bergerak di bidang kamera, melainkan mikroskop.

Perusahaan Leica dulunya bernama Optische Institut von Ernst Leitz of Wetzlar atau Pabrik Optik Leitz Wetzlar dan didirikan pada tahun 1869, dan memang khusus untuk memproduksi mikroskop saja.

Dimulai pada tahun 1911, ketika seorang fotografer dan ahli optik bernama Oskar Barnak bekerja pada perusahaan tersebut dan berhasil membuat kamera portabel Leica pertama yang menjadi awal dari pembuatan kamera 35mm.

Pada tahun 1912, Max Berek juga bergabung dengan perusahaan tersebut dan menemukan sistem lensa Leica. Produk kamera pertama yang diluncurkan perusahaan ini disebut Ur-Leica, dimana Ur berarti orisinil atau prototipe dan Leica dari singkatan Leitz Camera.

Pada tahun 1924, Oskar Barnak berhasil menyakinkan Ernst Leitz II, menantu pemilik Leica saat itu, untuk memproduksi kamera 35mm hasil rancangannya (yang dimulai tahun 1911).

Kamera LEICA menjadi standar para jurnalis di masa itu.

Saya tutup tulisan ini dengan menampilkan temuan Edwin Land tahun 1947. Dia menemukan kamera Polaroid yang memungkinkan untuk mencetak gambar secara langsung tanpa memiliki negatif film, karena film instant digunakan langsung di dalam kamera tersebut.

Kesimpulan

Selembar foto ABD. MOEKI dan kawan-kawannya di Normaalschool Jember dijepret pada 1923, ketika kamera sudah menemukan pola photography-nya. Ada kemungkinan, foto tersebut dijepret dengan kamera Leica.

Contoh Pembanding


Para siswa Normaalschool di Sasaran - Minahasa, menyanyikan lagu perpisahan untuk Gubernur Jenderal ACD de Graeff (tengah).

Foto di atas diambil tahun 1927, berjarak 4 tahun lebih baru dari foto Abdoel Moeki. Tampak pada gambar, seseorang sedang menggunakan kamera yang lebih lama dari produk Leica.

Tentang fenomena dalam gambar, ada dua versi yang ingin  saya ketengahkan. Yang pertama, seperangkat alat foto tertutup (seperti pada film klasik / kamera portable obscura) tersebut hanya untuk properti action, mengingat ada fotografer lain di belakangnya, yang menghasilkan foto ini dan kita tidak tahu.

Versi kedua, Belanda memang memanfaatkan alat kamera dari jenis obscura hingga sistem lensa Leica.

Sedikit Tambahan

Karena saya bukan photografer, maka saya butuh koreksi dari anda jika sekiranya dalam tulisan ini ada yang kurang benar.

Disarikan dari berbagai sumber.

Anda yang ingin mengenal tokoh photografer Indonesia bernama Kassian Chepas, silahkan baca di sini.

Salam Gaya Bulbul!

Selasa, 23 Oktober 2012

Gedung Normaalschool Jember Ada di Sukorejo

Selasa, 23 Oktober 2012
Ternyata gedung Normaalschool Jember yang selama ini saya cari-cari, ada di daerah Sukorejo.Sekarang bangunan tersebut dimanfaatkan sebagai Markas Batalion Infantri 509 - Balawara Yudha.

Saya menemukan tulisan bergizi tentang Jember tempo dulu di situs UMM. Di situs ini pula saya temukan posisi Normaalschool (di Jember) secara akurat.
Markas Armed sebelumnya adalah markas Batalion Infantri 509 yang dipindah sekitar tahun 60-an ke daerah Sukorejo (4 km) dari Alun-alun kota. Di markas ini pula pernah sempat berdiri sebuah Sekolah Pendidikan Guru yang dikenal dengan sebutan “Normal School” dan oleh karenanya, wilayah ini sering mendapat sebutan normal.
Bentuk PDF bisa anda baca di sini.

Ini menggugurkan prediksi saya tentang keberadaan gedung Normaalschool di Jember. Tadinya saya mengira posisi Normaalschool ada di gedung Het sociëteitsgebouw te Djember op Oost-Java (seputaran gedung Bhayangkara), ternyata saya salah. Yang benar, Normaalschool Jember tempo dulu berada di sebuah gedung di wilayah Sukorejo - Jember, yang sekaligus juga markas Batalyon Infantri 509 (hingga saat ini).

Plakat Semen Normaalschool Jember Yang Melekat di Tembok


Seandainya tulisan NORMAALSCHOOL VOOR INLANDSE HULPONDERWIJZERS di atas belum terpugar dan bisa melewati masa revolusi, pastilah akan sangat indah.

Sedikit Tambahan

Info selanjutnya mengenai Gedung Normaalschool di Sukorejo akan saya sempurnakan di kesempatan yang lain. Terima kasih.

Salam Gaya Bulbul!

Tambahan Penting: Lokasi Normaalschool Jember Ada di Kebonsari

Senin, 22 Oktober 2012

Deskripsi Foto Normaalschool Jember

Senin, 22 Oktober 2012
Kini saatnya bagi saya untuk memberikan deskripsi 'sementara' mengenai selembar foto yang saya temukan di kitlv, berlatar belakang Jember tahun 1923, dengan data akuisisi pada tahun 2006. Sumber foto bisa dilihat di sini.


Europese onderwijzer met leerlingen van de 'normaalschool voor inlandse hulponderwijzers' te Djember

Sebelum membahas lebih jauh tentang foto di atas, saya kemukakan dulu alasan kenapa harus menggunakan kata 'Deskripsi' pada judul artikel ini. Terkesan seolah-olah saya sedang melakukan penelitian yang serius. Ya, mungkin bagi saya ini adalah sesuatu yang serius, meskipun saya lebih senang menggunakan bahasa pengungkapan sederhana, jauh dari kata bahasa akademis.

Alasan Saya Memilih Judul Tersebut:

Saya menganggap ini sebuah perburuan sederhana, dengan gaya penelitian deskriptif.

Penelitian deskriptif itu sendiri adalah salah satu jenis metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya ( Best,1982 : 119).

Saya suka segala hal yang sederhana. Selain itu, penelitian Deskriptif juga sering disebut non-eksperimen, karena pada penelitian ini peneliti tidak melakukan kontrol dan manipulasi variabel penelitian. Dengan penelitian metode deskriptif, memungkinkan saya untuk melakukan hubungan antar variabel, menguji hipotesis, mengembangkan generalisasi, dan mengembangkan teori yang memiliki validitas universal.

Waduh, kok malah terkesan lancip ya? hehe. Baiklah, kita tinggalkan saja istilah yang bikin gliyek telinga ini. Langsung menuju deskripsi foto Normaalschool di Jember - 1923.

Deskripsi Foto Normaalschool Jember

1. Foto ini dijepret tahun 1923, dengan keterangan (di kitlv) seperti ini: Europese onderwijzer met leerlingen van de 'normaalschool voor inlandse hulponderwijzers' te Djember. Seorang guru Eropa sedang foto bersama para siswa Normaalschool (sekolah yang dirancang untuk para pribumi dengan bahasa pengantar Melayu dan bahasa daerah, untuk mencetak mereka menjadi seorang guru).

2. Foto ini menceritakan tentang angkatan baru (Normaalschool), di tahun ajaran pertama. Berikut saya paparkan juga argumentasinya:

- Berlatar belakang papan tulis kapur yang sengaja ditulis dengan sebagus mungkin, disertai dengan tanggal dan nama lokasi, juga pola hiasan di sekeliling tepi papan tulis. Saya membandingkannya dengan foto-foto lain yang saya temukan di situs yang sama.

- Para siswa sedang mengenakan pakaian terbaiknya. Pakaian seperti ini wajar bagi para pelajar di sekolah lain yang berbahasa pengantar Belanda, namun menjadi agak janggal jika dikenakan oleh siswa siswi sekolah guru pribumi (Normaalschool).

3. Kajian segala tulisan tentang Normaalschool di Jember adalah untuk mengorek informasi tentang siapa sebenarnya ABD. MOEKI. Dan jawabannya, Abdoel Moeki tidak lain adalah siswa yang memegang plakat itu sendiri, dengan argumentasi yang sudah saya paparkan di tiga artikel sebelumnya.

- Tersandung Plakat Penanda Sejarah

- Melihat Sejarah Percetakan Indonesia Dari Jember

- Wajah Abdoel Moeki Sang Pemegang Plakat

Sebagai pondasi penguat adalah tulisan-tulisan saya yang lain dalam blog Gaya Bulbul ini. Semua saling berkaitan.

4. Normaalschool di Jember berdiri antara tahun 1918 - 1923. Sumber data, sebuah majalah Hindia Belanda yang terbit pada 28 November 1917. Di sana disebutkan tentang rencana pembukaan Normaalschool di Jember.

Djember zal eerstdaags een normaalschool met vierjarigen cursus krijgen tot opleiding van inlandsche hulp onderwijzers.

Artikel tersebut berjudul, Menemukan Titik Terang Tentang Berdirinya Normaalschool di Jember. Anda bisa membacanya di sini.

Diperkuat lagi dengan koran yang sama edisi berukutnya, 27 Maret 1918.


Di sana disebutkan di sebuah kolom yang kecil, bahwa Direktur D dan E bersikeras mendesak pembangunan Normaalschoolen bagi guru dukungan asli di Surabaya dan Jember.

5. Lokasi gedung Normaalschool masih dalam tahap analisis. Namun semua mengarah ke gedung Het sociëteitsgebouw te Djember op Oost-Java. Poin ini akan segera saya bahas tersendiri setelah saya menemukan data yang komprehensif.

Edit

Lokasi akurat mengenai gedung Normaalschool Jember sudah saya temukan. Ada di Sukorejo - Jember. Info selengkapnya ada di sini.

Salam Gaya Bulbul!

Minggu, 21 Oktober 2012

Wajah Abdoel Moeki Sang Pemegang Plakat

Minggu, 21 Oktober 2012
Dialah Abdoel Moeki

Sesuai dengan janji saya, setelah menayangkan dua tulisan sebelumnya, yaitu: Tersandung Plakat Penanda Sejarah dan Melihat Sejarah Percetakan Indonesia Dari Jember, maka kini saatnya bagi saya untuk menuliskan jawaban tentang status ABD. MOEKI sebenarnya. Apakah dia salah seorang guru di Normaalschool Jember, ataukah siswa si pemegang plakat bertuliskan nama ABD. MOEKI itu sendiri. Dan jawabannya adalaaaaah..

Jreng jreeeng.. eng ing eng..


Ya benar, siswa sang pemegang plakat itu sendirilah si empunya nama ABD. MOEKI atau Abdoel Moeki.

Tadinya saya berpikir, jika saya tidak bisa menentukan mana yang ABD. MOEKI, seorang siswa ataukah salah seorang pengajar (dan atau orang berkedudukan penting), maka selesailah sudah. Saya harus mengubur hasrat ingin tahu ini, karena tanpa mengetahui itu, saya tak bisa melangkah lagi.

Lalu saya menelusuri sejarah plakat. Bahkan tadinya sudah ada rencana untuk mengumpulkan plakat (apapun bentuknya) yang ada di Jember. Syukurlah sudah saya temukan jawabannya. Mungkin suatu hari nanti, saya akan tetap berburu plakat beserta kisah di baliknya, tapi bukan sekarang.

Beberapa kajian sudah saya tuliskan di dua artikel sebelum ini (berturut-turut), jadi saya rasa saya tidak perlu mengulangnya lagi, kecuali kajian penyempurna berikut ini.

Mari kita perhatikan plakat-plakat pada foto


Lokasi foto di atas memang bukan di Indonesia, melainkan di Suriname. Tapi sistem pendidikannya kurang lebih sama. Lihat plakat-plakat itu, setiap plakat menunjukkan nama orang yang duduk di belakang bangku. Kemungkinannya, mereka baru memasuki sekolah tahap-tahap awal. Jadi untuk mempermudah pengajar dalam menghapalkan tiap-tiap nama, dan beberapa hal lagi.

Di Normaalschool Jember juga begitu. Setiap murid baru wajib menaruh plakat nama ini di deretan depan meja belajarnya. Setelah jam pelajaran usai, nama akan tetap di bangku meja. Percuma saja jika akan dibawa, toh Normaalschool adalah sekolah dengan sistem asrama.

Yang terjadi pada ABD. MOEKI adalah kiprah kenakalan kecilnya. Dia keluar dengan membawa serta plakat nama yang seharusnya ada di dalam kelas.

Pemasangan plakat nama di deretan meja akan berlaku hingga para pengajar bisa menghapal nama-nama mereka. Saya katakan tidak selama-lamanya karena dari pengamatan saya, suasana belajar mengajar dalam foto-foto steril dari plakat nama.

Klas van een inlandse normaalschool te Probolinggo of Pasoeroean


Ini salah satu contoh. Kegiatan belajar mengajar di atas menunjukkan bahwa mereka bukan lagi baru atau ada di tahap-tahap awal gelombang tahun ajaran, melainkan sudah lewat masa itu. Tidak terlihat adanya plakat lagi. Sebuah kegiatan belajar mengajar di Madiun juga menunjukkan hal yang sama, begitu pula di sekolah-sekolah yang lain yang sudah saya telusuri.

Sebuah kegiatan belajar mengajar di sekolah Madiun


Sedikit Tambahan

Semoga anda masih ingat tulisan saya di blog Gaya Bulbul ini yang berjudul, Perihal ABD Pada Nama Abdoel Moeki. Di sana saya tuliskan mengenai budaya pemberian nama di Indonesia, dan tentang peraturan seputar nama yang dikeluarkan Belanda.

Untuk urusan peraturan nama-nama, Belanda mengaturnya dengan sangat rinci. Begitu juga dengan yang terjadi di Normaalschool Jember. Meskipun Normaalschool adalah sekolah guru berbahasa pengantar bahasa Melayu dan daerah, namun selalu ada kontrol yang ketat dari pihak kolonial.

Inilah Wajah Abdoel Moeki

ABD. MOEKI adalah seorang siswa yang memegang plakat bertuliskan namanya sendiri.


Saya senang karena telah mengerti posisi / status ABD. MOEKI. Ini memudahkan saya untuk pencarian di langkah-langkah selanjutnya.

Salam Gaya Bulbul!

Sabtu, 20 Oktober 2012

Melihat Sejarah Percetakan Indonesia Dari Jember

Sabtu, 20 Oktober 2012
Sudah saya paparkan pada posting sebelumnya tentang proses perjalanan plakat di Indonesia sejak jaman Hindia Belanda, baik itu plakat untuk penanda berdirinya gedung / bangunan, plakat untuk iklan, plakat nama, hingga plakat untuk souvenir. Hampir kesemuanya berbahan logam cor. Artikel bisa dibaca di sini.

Dari kajian tersebut, kini saya akan memaparkan khusus tentang plakat yang dipegang salah seorang siswa Normaalschool Jember (tahun 1923) yang bertuliskan ABD. MOEKI.

Tampak jelas bahwa plakat ini terbuat dari bahan kertas tebal dengan tulisan yang sangat presisi.

Plakat ABD. MOEKI


Pertanyaannya, apakah di tahun 1923 di Jember (dan sekitarnya) sudah ada percetakan dan otomatis juga dengan produksi kertas?

Sejarah Percetakan di Negeri Ini

Seperti yang sudah saya singgung di tulisan sebelumnya, sejarah percetakan dunia dimulai dari penemuan seorang warga negara Jerman bernama Johan Gutenburg, tahun 1450.

Di Indonesia sendiri, sejarah percetakan dimulai sejak 1624, 28 setelah kedatangan Belanda ke negeri ini. Para misionaris Protestan Belanda memperkenalkan percetakan dengan membeli sebuah mesin cetak (dari negerinya sendiri). Tujuannya untuk menerbitkan literatur Kristen dalam bahasa daerah, sehubungan dengan keperluan penginjilan. Namun mesin cetak itu menganggur oleh sebab tak ada tenaga operator yang menjalankannya. Baru pada tahun 35 tahun kemudian (1659), Kornelis Pijl memprakarsai percetakan dengan memroduksi sebuah Tijtboek, yakni sejenis almanak, atau buku waktu. Inilah titik awal perkenalan kita dengan mesin cetak. (sumber: percetakanku.co.id)

Perkembangan percetakan di Indonesia erat sekali dengan sejarah perjalanan surat kabar. Berikut adalah beberapa catatan waktu perjalanan percetakan di Indonesia, masih dari sumber yang sama. Untuk menyingkat ruang, sebagian besar akan saya tampilkan secara spoiler.

Catatan waktu perjalanan percetakan di Indonesia:
1667:
Pemerintah pusat berinisiatif mendirikan percetakan dan memesan alat cetak yang lebih baik, termasuk matriks yang menyediakan berbagai jenis huruf.

1668:
Hendrik Brant mencetak dokumen sebagai produk pertama percetakan pemerintah, yaitu Perjanjian Bongaya antara Laksamana Cornelis Speelman dan Sultan Hasanuddin di Makasar yang ditandatangani 15 Maret 1668. Hendrik Brant pada Agustus 1668 mendapat kontrak mencetak dan menjilid buku atas nama VOC dengan upah 86 dolar yang dibayar dengan cara mencicil. Kontrak berakhir 16 Februari 1671.

1671:
VOC menandatangani kontrak baru dengan Pieter Overtwaver dan tiga pegawai Kompeni lainnya (Hendrick Voskens – punch cutter, Piet Walbergen – type-founder, dan Aernout Kemp – ahli cetak) untuk percetakan yang bernama Boeckdrucker der Edele Compagnie (pencetak buku Kompeni). Kontrak berakhir 1695.

1677:
Dokumen dengan kosa kata Belanda-Melayu pertama kali dicetak.

1693:
Dokumen New Testament dicetak dalam bahasa Portugis.

1699:
Pendeta Andreas Lambertus Loderus mengambiil alih Boeckdrucker der Edele Compagnie untuk didayagunakan secara maksimal. Banyak karya penting dalam bahasa Belanda, Melayu dan Latin lahir dari percetakannya, termasuk sebuah kamus Latin-Belanda-Melayu yang disusun oleh Loderus sendiri.

1718:
Pemerintah pusat mendirikan percetakan sendiri di Kasteel Batavia (kasteel = benteng, Batavia saat itu adalah kota yang dikelilingi benteng) untuk kepentingan mencetak dokumen-dokumen resmi.

1743:
Seminarium Theologicum di Batavia memeroleh satu unit alat percetakan. Pernah menerbitkan Perjanjian Baru (bagian dari kitab suci agama Kristen, red) dan beberapa buku doa dalam terjemahan Melayu. Tahun 1755 percetakan tersebut dipaksa bergabung dengan Percetakan Benteng.

1744:
Surat kabar tercetak pertama bernama Batavia Nouvelles lahir dari Percetakan Benteng yang dikelola oleh Jan Erdman Jordens, tepatnya pada 8 Agustus 1744. Hanya terdiri dari selembar kertas berukuran folio, yang kedua halamannya masing-masing berisi 2 kolom. Isinya memuat maklumat pemerintah, iklan dan pengumuman lelang. Pembaca bisa mendapatkannya setiap Senin dari Jan Abel, perusahaan penjilidan milik Kompeni di Benteng. Sebuah sumber menyebutkan, koran pada saat itu ditulis tangan.

1745:
Surat kabar Batavia Nouvelles dihentikan penerbitannya (20 Juni 1746) atas permintaan Dewan Direktur VOC kepada Gubernur Jenderal, karena surat kabar yang berorientasi iklan dan berisi informasi tentang kondisi perdagangan di Hindia Belanda dikhawatirkan bisa dimanfaatkan oleh pesaing Eropa.

1761:
Mulai diberlakukan peraturan percetakan pertama yakni “Reglement voor de Drukkerijen te Batavia” (Juni 1761) di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal A. van der Parra.

1776:
Surat kabar Vendu Niews (VN) diterbitkan oleh L. Dominicus. Ini adalah surat kabar pertama yang bersentuhan dengan orang Indonesia, tiga dasawarsa setelah Bataviase Nouvelles mati. VN merupakan media iklan mingguan, terutama mengenai berita lelang, juga maklumat penjualan sejumlah perkebunan besar dan beberapa iklan perdagangan. Dikenal oleh masyarakat sebagai “soerat lelang”.

1785:
Percetakan Kota dilarang keras mencetak apapun tanpa izin sensor. Penyensoran mulai dilaksanakan di Hindia Belanda pada 1668.

1809:
Surat kabar Vendu Niews menghentikan penerbitan pada masa pemerintahan Jenderal Herman Willem Daendels (1808 – 1811).

Di tahun yang sama, Daendels membeli Percetakan Kota dan menggabungkannya dengan Percetakan Benteng menjadi Landsdrukkerij, yang sekarang bernama Percetakan Negara. Sebelum namanya menjadi Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) pada tahun 1950, Perum PNRI telah mengalami beberapa kali perubahan nama. 1942, namanya Gunseikanbu Inatsu Koja (GIK), 1945 berubah lagi menjadi Percetakan Republik Indonesia (PRI), lalu melalui Peraturan Pemerintah no. 46 Tahun 1991, PNRI menjadi Perusahaan Umum (Perum). Percetakan Negara masih eksis hingga kini.

1810:
15 Januari 1810 terbit edisi pertama mingguan resmi pemerintah, Bataviasche Koloniale Courant yang diasuh oleh Profesor (Kehormatan) Ross, pendeta komunitas Belanda di Batavia sejak 1788. Isinya memuat juga iklan, mulai dari tali sepatu hingga budak belian. Penerbitan berhenti 2 Agustus 1811, persis seminggu sebelum Batavia jatuh ke tangan Inggris.

1812:
29 Februari 1812, pemerintahan yang baru (Inggris) menerbitkan Java Government Gazette, mingguan yang sebagian besar berbahasa Inggris, dicetak oleh A.H. Hubbard.

1816:
Java Government Gazette berhenti bersamaan dengan kembalinya Belanda. 20 Agustus 1816 pemerintah Belanda menggantikannya dengan Bataviasche Courant yang berganti nama menjadi Javasche Courant 12 tahun kemudian.

1831:
Muncul surat kabar partikelir pertama. Ini terlambat, mengingat kendalanya adalah kesulitan mendapatkan alat untuk membuat huruf timah. Tapi yang lebih penting dari itu adalah ketiadaan tenaga (kompositor) terampil. Karena itu percetakan misionaris menjadi satu-satunya percetakan non pemerintah yang bergiat dalam cetak-mencetak selama abad ke-18.

1855:
Surat kabar pertama berbahasa Jawa terbit di Surakarta sekali seminggu, namanya Bromartani. Diterbitkan oleh perusahaan kongsi Belanda, Harteveldt & Co.

1910:
Di Jakarta terbit surat kabar nasional yang pertama, Medan Prijaji.


1921-1922:
Pabrik kertas pertama, N. V. Papier Fabriek Padalarang, dibangun di Padalarang dengan kapasitas produksi 9 ton per hari.

1939-1940:
Pabrik kertas kedua dibangun di Jawa Timur, dekat daerah Letjes, Probolinggo, oleh pemilik pabrik yang sama dengan yang di Padalarang.

Catatan waktu percetakan setelah kemerdekaan:
1949:
Di Jakarta hanya terdapat 2 mesin printing yang dimiliki oleh warga pribumi. Percetakan milik warga asing hanya berproduksi untuk kepentingannya saja.

1950:
Jumlah perusahaan percetakan nasional (milik pribumi) di Jakarta meningkat menjadi 23 buah. 24 lainnya dimiliki warga asing (Belanda), sementara 86 lagi dimiliki warga Tionghoa.

1951:
Dari data resmi, terdapat 150 perusahaan percetakan di Jawa Timur (75 di Surabaya, 18 di Malang, dan sisanya tersebar di daerah dan sekitarnya).

1953-1954:
Percetakan Negara melakukan proyek modernisasi percetakan yang ambisius dengan membeli sebuah mesin web-offset 4 warna.

1969:
Pemerintah Belanda bekerja sama dengan Departemen Pendidikan & Kebudayaan Indonesia mendirikan institusi pendidikan dan pelatihan SDM di bidang grafis, Pusat Grafika Indonesia (Pusgrafin) di Jakarta. Antara tahun 1969-1978, sekitar 2.000 orang mengikuti kursus composing, printing, binding, machine maintenance, lay-out, management, dll.

1970-an:
Industri percetakan di seluruh dunia berganti ke teknologi offset. Dua perusahaan percetakan Cina terbesar, Sin Po dan Keng Po membeli mesin cetak rotasi untuk koran yang tetap digunakan hingga 1970-an. Surat kabar Sinar Harapan (sejak 1961) dan Kompas (sejak 1965) pernah menggunakan fasilitas mesin printer ini hingga mereka memiliki mesin cetak sendiri di tahun 1970-an.

1976:
Sebanyak 385 mesin cetak offset diimpor ke Indonesia.

1992:
Teknologi computer to film (CTF) masuk ke Indonesia. Awalnya hanya percetakan-percetakan besar saja yang memilikinya. 1995, percetakan-percetakan menengah dan kecil mulai mengadopsi. Hingga tahun 1997, penggunaan CTF bisa dibilang sudah merata.

2000:
Masuknya teknologi computer to plate (CTP) mulai menggeser CTF dan ikut berdampak pada menurunnya bisnis repro. Sampai sekarang kurang lebih terdapat 70 mesin CTP di Indonesia. Dulu merek-merek yang terkenal untuk mesin ini adalah Heidelberg dan AGFA. Sekarang sudah mulai banyak pemain baru, seperti Screen, Scitex dan Basys Print.
Jadi pada era keberadaan Normaalschool di Jember, sudah tidak ada masalah dengan mesin cetak.

Pada jarak yang sangat dekat, yaitu sepuluh tahun berikutnya (1933), di Jember juga sudah ada mesin cetak milik pribadi (Kwee Thiam Tjing), plus juga menerbitkan koran Pembrita Djember. Koran lain yang ada di Jember waktu itu adalah De Oosthoek Bode, koran berbahasa Belanda pimpinan Brunswijk van Hulten.

Sangat hebat, jempol untuk Bapak Kwee Thiam Tjing. Di tahun tersebut, adalah sulit memiliki percetakan pribadi. Perhitungan saya sederhana. Pada tahun 1949 saja, para penerbit pribumi mengeluhkan bahwa di Jakarta hanya terdapat dua percetakan yang dimiliki orang Indonesia asli, selebihnya milik warga Belanda. Meskipun hal itu berubah sejak 1950 ke atas (banyak warga Indonesia yang memiliki percetakan pribadi) tetap saja saya salut pada percetakan pribadi Bapak Kwee Thiam Tjing dan koran Pembrita-nya. Itu membuat daerah se-ndlesep Jember terlihat keren.

Ohya, tulisan saya tentang Pembrita Djember bisa anda baca di sini.

Kesimpulan

Saya kira, terjawab sudah rasa penasaran ini pada tulisan di plakat tersebut, kenapa bisa se-presisi itu. Ternyata pada era 1920-an, percetakan di nusantara sudah memiliki bentuknya meskipun masih belum sempurna benar.

Perkembangan dunia percetakan Indonesia selanjutnya..

Persatuan Perusahaan Grafika Indonesia (PPGI) mencatat, bahwa pada akhir dekade 1970-an, di Indonesia terdapat sekitar 1.700 perusahaan percetakan.

Pernyataan di atas sempat dikutip oleh Eduard Kimman dalam tesisnya yang dibukukan tahun 1981. Dengan pertimbangan banyaknya percetakan kecil yang tidak terdaftar di PPGI, Eduard memerkirakan pada saat itu di Indonesia ada sekitar 15.000 percetakan.

Bagaimana dengan jumlah percetakan saat ini? Tentunya jauh lebih besar, sebab dunia percetakan adalah bisnis yang berkembang sangat pesat.

Sumber rujukan percetakanku.co.id bisa dikunjungi di sini

Siapa Pemilik Plakat Bertuliskan ABD. MOEKI Itu

Nah, ini dia pertanyaannya, siapa pemilik plakat tersebut? Apakah milik salah seorang guru, atau milik siswa yang memegang pkalat itu sendiri. Jawabannya akan saya paparkan di artikel setelah ini.

Salam Gaya Bulbul!

Jumat, 19 Oktober 2012

Tersandung Plakat Penanda Sejarah

Jumat, 19 Oktober 2012
Saya kembali mentelengi sebuah papan nama kecil bertuliskan ABD. MOEKI yang ada di genggaman seorang siswa. Apa benar siswa yang memegang itu sendirilah yang bernama Abdoel Moeki? Ataukah nama salah seorang guru? Atau seorang tokoh pendidikan di era 1920-an? Mengingat, ada seorang siswa lain yang memegang semacam kertas karton bertuliskan Boedi Oetomo.

Gambar seorang siswa memegang kertas bertuliskan Boedi Oetomo


Selama saya mempelajari sejarah dari SD hingga sekarang, kok rasanya nggak ada ya, seorang tokoh bernama Pak Moeki. Dan memang, ketika satu persatu potensi data saya seser, tak ada (belum ada) jejak yang menyatakan keberadaan Abdoel Moeki di waktu yang lalu, selain selembar foto dari KITLV ini.

Tentang Plakat Nama

Ini Namanya Apa?


Kawan saya yang bernama Deni Adam Malik membahasakan kertas tebal (atau mungkin sejenis mika) itu dengan nama plakat. Dia bilang, hanya seorang guru (atau tokoh penting) yang namanya ada di dalam plakat. Argumen sederhana namun kokoh. Maklum, dia banyak berkutat dengan data-data sejarah, setidaknya dulu saat masih kuliah di sastra ilmu sejarah.

Masalahnya, apakah itu memang sebuah plakat? Apa sih plakat itu?

Mendefinisikan Selembar Plakat Nama

Sepemahaman saya, plakat adalah sebuah karya seni yang biasanya dirupakan tropi atau piala. Ada juga yang mengatakan, plakat adalah tulisan yang ada di dalam tropi, sebagai penjelasan. Misalnya, tulisan juara satu pada sebuah tropi, itulah plakat. Atau, ketika anda selesai melaksanakan mata kuliah KKN, anda diharuskan membuat semacam cinderamata atau souvenir dari marmer dengan ukuran pada umumnya. Saya menamai itu dengan plakat.

Jadi, plakat adalah nama benda sesuai bentuk dan bahannya (plakat marmer, plakat kuningan, plakat plastik, plakat kertas karton, plakat mika, dan sebagainya). Plakat berbeda dengan nama dada maupun nama meja.

Apa pentingnya guru atau kepala sekolah memakai benda seperti yang terlihat dalam foto? Dijadikan nama meja juga tidak bisa karena hanya selembar, bukan lipatan segitiga.

Nah, apakah benda di atas bisa dinamai dengan plakat? Ketika ada yang mengatakan, hanya guru atau kepala sekolah, atau orang di jajaran penting yang namanya pantas tersemat di situ, saya memiliki gagasan yang sebaliknya.

Plakat tersebut untuk siswa. Sayangnya, saya belum memiliki landasan yang kuat. Dengan kata lain, saya masih belum bisa menerjemahkan kisah di balik plakat secara cermat, dengan data-data yang akurat.

Tersandung Plakat

Penyebutan kata plakat dalam bahasa Belanda adalah plakkaat. Orang-orang memberikan pengertian yang seragam mengenai plakat, yaitu poster.

Ketika saya mencoba googling tentang plakat, yang saya temui kebanyakan adalah tulisan-tulisan seputar bisnis barang kerajinan seperti pembuatan souvenir, nama dada, nama yang ditempelkan di tembok depan rumah, tulisan semacam toilet (dengan arah panah), open-close, dan masih banyak lagi.

Kemudian saya menemukan sebuah makalah berbentuk PDF milik Yetti Wira Citerawati SY. Di sini dituliskan tentang definisi plakat (bergandengan dengan kata poster). Definisinya lebih dari satu, tapi semuanya membias. Saya tidak menemukan penyebutan definisi plakat seperti yang ada dalam foto.

Bisa saja saya mengajak anda untuk menyepakati nama benda dalam foto itu adalah plakat. Tapi menurut saya, ini sangat penting. Ketika saya tidak bisa menjlentrehkan plakat itu, maka saya tidak bisa menentukan apakah Abdoel Moeki itu seorang siswa, guru, atau figur yang lain.

PLAKAT PENANDA SEJARAH

Naluri saya mengatakan, saya harus tahu tentang budaya plakat nama di dunia, dan plakat-plakat yang berceceran di kota kecil Jember, terutama di dinding depan sebuah rumah ber-arsitektur lawas.

Biasanya plakat dinding ini bertuliskan nama tuan rumah (selaku kepala keluarga). Misal, plakat nama dinding yang saya temukan di blog Mahapuja, bertuliskan nama BD. Soewondo. Plakat ini berfungsi sebagai penanda akan pemilik rumah.

Plakat Nama Dinding


Sampai di sini, saya sudah mendapatkan kesimpulan pertama. Tentang fungsi dari sebuah plakat, yaitu sebagai penanda. Dia mengikat segala kesan masa lalu dan butuh seseorang untuk mengungkapkannya.

Plakat dan Situs :

Apakah plakat juga bisa dikatakan sebagai situs? Mari kita tengok tentang arti situs itu sendiri.

Pengertian situs menurut KBBI.web.id:

Situs /si·tus/ n 1 daerah temuan benda-benda purbakala: -- fosil binatang purba di daerah itu diusulkan untuk diteliti; 2 Komp a tempat yg tersedia untuk lambang suatu inskripsi; b tempat pd suatu papan yg dapat atau tidak dapat dilubangi.

Pengertian situs menurut wiki:

Situs adalah lokasi kejadian, struktur, objek, atau hal lain, baik aktual, virtual, lampau, atau direncanakan. Selain itu Situs dapat mengacu kepada beberapa hal berikut:

- Situs arkeologi
- Situs bangunan
- Situs web

Sepertinya plakat yang saya maksud ini lebih dekat dengan bagian dari situs bangunan. Tapi tidak terlalu mengerucut. Ada baiknya jika saya menggunakan kata yang lebih merakyat saja, yaitu memaknai plakat sebagai penanda.
Bicara tentang penanda, saya jadi ingat tentang segala bidang ilmu yang dimulai dengan kata SEM (asal jangan ditambahi 'pak' lho ya). Tak lama setelah saya mengingat SEM, segera saya meraih buku milik Prit (istri saya) yang bertutur tentang SEMIOLOGI - Kajian Teori Tanda Saussuran, karya Jeanne Martinet. Tapi isi buku bersampul coklat itu hanya membuat saya berjibaku dengan kata-kata asing semacam hermeneutik, estetik, tik klutik, dan masih banyak lagi. Terlalu ngampus, saya tidak suka. Saya lebih suka dengan gaya bahasa yang tumbuh di luar kerajaan.

Saya akan membahas plakat nama dari yang umum-umum saja. Nah, karena setiap kali pencarian saya akan kata plakat selalu berjumpa dengan bahasa iklan, saya ajak anda untuk menelusuri sejarah iklan itu sendiri. Bagaimana? Kalau anda tidak mau tidak apa-apa, saya akan tetap menelusurinya. Sekalian belajar dengan cara mandiri.

Sekilas tentang Sejarah Periklanan

Pada era Yunani kuno (periode Yunani Arkais di abad kedelapan sampai keenam sebelum masehi), sudah disinggung tentang keberadaan benda seni kuno yang terbuat dari bebatuan. Batu-batu tersebut diukir dengan aneka kreasi gambar.

Itu adalah masa dimana Yunani belum mengenal huruf. Komunikasi dan kehidupan sosial lebih banyak dilakukan untuk barter barang. Nah, dari sistem barter (tukar menukar barang sesuai dengan kesepakatan) inilah mereka mengenal yang namanya iklan.

Jangan bermimpi mereka akan melakukan iklan di radio, bentuk radio saja masih di awang-awang (radio tanpa kawat diketemukan pertama kali di akhir abad XIX dan disempurnakan pada awal abad XX). Mereka melakukan periklanan manual dari mulut ke mulut atau viral marketing. Semua ditujukan untuk mendukung praktek barter barang.

Dunia juga bergerak, saling tambal sulam dan saling mengembangkan periklanan dengan cara yang sangat sederhana antar komunitas. Kesederhanaannya bisa dilihat dari konsep barter dan adanya gagasan tentang utusan (yang mewakili kepentingan kelompok).

Ketika manusia telah mengenal huruf, cara beriklan pun turut berubah. Apalagi ketika mereka sudah bisa merangkai huruf demi huruf dan menjadikannya sebuah pesan. Didukung dengan ditemukannya kertas di Cina tahun 1275, memberi angin segar pada dunia periklanan.

Periklanan semakin pesat sejak seorang warga negara Jerman bernama Johan Gutenburg menemukan mesin cetak. Itu terjadi pada tahun 1450. Termasuk dalam penemuannya adalah aloy logam huruf (type metal). Saya menebak, yang dimaksud dengan aloy logam huruf tersebut adalah plakat dari logam cor seperti yang saya maksud.

Penemuan Johan Gutenburg membuat gairah periklanan semakin hot. Mereka mulai membuat plakat nama untuk menunjukkan keahlian seseorang yang ditawarkan. Atau menjadikannya sebagai sebuah pesan, semacam iklan layanan, atau tanda-tanda yang lain.

Seterusnya, periklanan melaju bersama sejarah dunia. Ketika ada revolusi industri (pertengahan tahun 1700 hingga akhir PD I), saat dimulai eksploitasi besar-besaran, dunia iklan ikut bicara. Didukung oleh penemuan-penemuan baru seperti telepon, film dan teknologi fotografi, semakin membuat dunia iklan berlari kencang.

Sampai pada era masyarakat industri, dimana budaya kapital semakin mencengkeram, dunia iklan seperti sedang mengganti mesinnya dengan mesin yang lebih baru dan canggih, hingga lajunya semakin joss. Apalagi, sejak ada booming televisi di tahun 1940-an.

Perihal plakat untuk beriklan, bertahan di Indonesia hingga memasuki abad XX. Biasanya plakat ini difungsikan untuk menunjukkan keahlian seseorang, atau menyampaikan pesan tentang barang dagangan, untuk monumen kematian, nomor rumah, penanda dari seorang pemilik rumah, hingga aneka souvenir.

Berikut Adalah Beberapa Contoh Plakat Beserta Fungsinya:

Plakat Dalam Arsitektur Bangunan


Sebuah gardoe polisi di tahun 1903, mungkin di Batavia. Gambar dari kitlv


Plakat yang berfungsi sebagai penanda berdirinya Masjid Cipaganti

Plakat Untuk Iklan


Plakat Untuk Informasi


Plakat Untuk Souvenir


Selanjutnya, plakat berkembang mengikuti hukum pasar. Dimana ada permintaan, pasti akan ada pelayanan meskipun barang (plakat) akan mengalami pergeseran fungsi. Ini sama saja dengan nasib plat nomor kendaraan. Asal ada uang, kita bisa saja membuat plat kendaraan bertuliskan nama kita sendiri, angka yang kita mau, atau hanya sekedar tulisan iseng.

Mengenai souvenir, berkembang juga souvenir-souvenir lain yang diistilahkan sebagai plakat. Misalnya, plakat kenang-kenangan dari panitia untuk pembicara sebuah seminar, dan masih banyak lagi yang bisa dicontohkan. 

Sedikit Tambahan

Sementara ini saja tulisan saya mengenai plakat dan perkembangannya. Mengenai contoh-contoh plakat  yang ada di Jember, akan saya tuliskan di artikel setelah ini. Terimakasih.

Salam Gaya Bulbul!

Kamis, 18 Oktober 2012

Pendidikan Kita Dari Masa Ke Masa

Kamis, 18 Oktober 2012
Selama berkutat dalam penelusuran Abdoel Moeki, saya selalu bersinggungan erat dengan dunia pendidikan Indonesia dari masa ke masa. Sayangnya, hanya sedikit yang mengkaji tentang normaalschool. Data lebih banyak menggali eksistensi kweekschool ketimbang normaalschool. Ada pula yang rancu memaparkan antara normaalschool dan kweekschool.

Di sini saya hendak merangkum kembali apa yang sudah saya dapatkan tentang perjalanan pendidikan kita dari masa ke masa.

Ohya hampir lupa. Saya ingatkan dulu, tulisan ini mungkin akan menjadi sebuah artikel yang panjang. Terlebih, saya memiliki kebiasaan buruk saat menulis, yaitu ngelantur. Jadi, mohon maaf sebelumnya.

Pendidikan Indonesia di Masa Purba

Indonesia kaya akan peninggalan di masa purba. Ini adalah masa dimana orang-orang belum mengenal budaya tulis, senang berburu, berpindah-pindah, dan suka sekali berkumpul di saat senja dan malam hari, melingkari api unggun dan saling berbagi pengalaman hari itu. Pendidikan di masa ini adalah tentang segala cara untuk bertahan hidup (seperti membuat api) dan berkenalan dengan alam raya.

Pendidikan Indonesia di Masa bercocok Tanam

Masa bercocok tanam adalah masa peralihan dari yang sudah saya paparkan di atas. Bisa dikatakan, ini adalah sebuah revolusi besar. Mereka yang tadinya hidup berpindah-pindah, di masa ini sudah belajar untuk tinggal di suatu tempat. Biasanya tempat favorit untuk ditinggali adalah gua. Dari sini lahir sebuah pelajaran baru, yaitu seni menghias gua.

Adanya gejala hidup menetap dengan cara bercocok tanam (dan beternak) diperkirakan mulai pada tahun 6000 SM. Di sinilah cikal bakal lahirnya sebuah desa (kampung) atau sebuah komunitas manusia yang tinggal secara berkelompok.

Perkembangan pendidikan dimulai dari cara hidup menetap, kemudian belajar meramu hasil buruan, lalu berkembang lagi dengan belajar bercocok tanam di lahan sekitar tempat yang mereka tinggali. Perkembangan selanjutnya, mereka mulai mencoba membuat peralatan untuk mempermudah hidup. Misalnya, alat yang tadinya berbahan batu kasar dirubah menjadi lebih halus. Terakhir, masa ini ditandai dengan adanya sistem kepercayaan (animisme dan dinamisme).

Pendidikan Indonesia di Masa Hindu Budha

Hindu dan Budha adalah agama yang tua. Keduanya ada dan mengiringi perkembangan negeri ini, hingga sekarang. Disinyalir, kedua agama ini berkembang pesat pada sekitar abad ke lima masehi, seiring dengan bertumbuhnya kerajaan besar yang ada di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan pulau lainnya.

Pertumbuhan pendidikan di Kalimantan ditandai dengan berdirinya Kerajaan Hindu di Kutai yang dipimpin oleh Mulawarman. Dia adalah putra dari Aswawarman dan cucu dari Kudungga. Sedangkan di Pulau Jawa (Jawa Barat) ditandai dengan munculnya Kerajaan Hindu Tarumanegara dengan rajanya Purnawarman.

Pada masa itu, eksistensi pulau Jawa telah disebut Ptolomeus (pengembara asal Alexandria – Yunani) dalam catatannya dengan sebutan Yabadiou. Hal yang sama dapat kita temukan pula dalam epik Ramayana. Eksistensi Jawa dinyatakan dengan sebutan Yawadwipa. Ptolomeus juga sempat menyebut tentang Barousai (merujuk pada pantai barat Sumatera Utara, Sriwijaya). Fa-Hien, seorang pengembara asal China, dalam perjalanannya dari India singgah di Ye-po-ti (Jawa) yang menurutnya telah banyak para brahmana (Hindu) tinggal di sana. Masih ada beberapa lagi catatan para pengembara dunia tentang nusantara.

Maka tidak berlebihan jika banyak ilmuwan yang kemudian menyatakan bahwa lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia telah ada sejak periode permulaan. Pada masa itu, pendidikan lekat terkait dengan agama.

Pendidikan Indonesia di Masa Islam

Islam datang ke negeri ini dari berbagai sisi, dan sering diceritakan bahwa pembawa Islam ke nusantara lebih banyak datang dari para pedagang. Lalu dimulailah pendidikan informal. Pendidikan yang tak lekang oleh jaman adalah mengaji di surau (musholla, langgar ataupun masjid). Nantinya akan berkembang menjadi pesantren, dan berkembang lagi menjadi lembaga pendidikan modern, mengikuti perkembangan jaman namun tetap pada esensinya.

Para pembawa Islam ini lebih banyak mencontohkan kehidupan mereka sehari-hari. Jika dia pedagang, maka sebagai percontohannya adalah meladeni pembeli dengan senyum dan tidak nakal dalam urusan timbangan.

Pendidikan Indonesia di Masa Portugis

Seorang sejarahwan berbangsa Inggris Furnivall dalam bukunya “ Educational progress in south east asia “ menuliskan keadaan pendidikan di Asia pada umumya dan Indonesia pada khususnya sebelum bangsa barat menjejakkan kakinya dinegara itu, bahwa “ waktu orang Eropa yang mula-mula sampai ditimur jauh, didaerah khatulistiwa mereka dapati sejumlah sekolah dan orang yang pandai tulis-baca lebih banyak daripada yang ada di Eropa ketika itu”

Paragraf di atas saya temukan di sebuah makalah yang sayangnya saya lupa judulnya. Setelah saya tuliskan kembali di notepad, link saya hapus. Maaf. Pokoknya terima kasih buat yang menuliskannya, semoga semakin disayang Tuhan, Amin. Oke lanjut lagi.

Adalah Portugis yang pertama kali datang ke nusantara di permulaan abad 16. Di akhir abad yang sama, disusul dengan Inggris dan Belanda yang juga menjejakkan kakinya ke bumi pertiwi.

Tujuan Portugis datang ke Indonesia adalah untuk melebarkan sayapnya dengan mengembangkan agama Khatolik, selain juga untuk berdagang. Dua maksud yang berpadu menjadi satu hinga kemudian melahirkan maksud-maksud yang lain.

Portugis menganggap keberadaan Islam di bumi nusantara adalah musuh yang harus dimusnahkan, baik di sektor agama itu sendiri, perdagangan (ekonomi), politik, dan segala lini lainnya. Dan syarat dasar untuk mencapai tujuannya adalah pembangunan di bidang pendidikan untuk masyarakat lokal. Bisa jadi ini untuk mengimbangi budaya menimba ilmu di surau oleh masyarakat muslim.

Dibentuklah sekolah guru untuk pertama kalinya di wilayah Indonesia. Sekolah guru itu didirikan di daerah Ternate yang didirikan oleh kaum pendeta portugis. Hal yang sama juga berlaku untuk pulau-pulau lain disekitar Ternate. Sekolah-sekolah ini dibina oleh kaum gerejawan khatolik.

Dengan jalan mengembangkan pendidikan berdasarkan agama khatolik itu bangsa portugis berusaha untuk dapat berpengaruh di segala bidang (terutama ekonomi dan politik). Namun semua itu mengalami kegagalan karena kecerobohan dan keserakahan para penguasa mereka sendiri. Pada tahun 1574 mereka diusir dari ternate dan datanglah bangsa belanda yang uncoba melakukan apa yang elah dilakukan oleh bangsa portugis.

Pendidikan Indonesia di Masa VOC

Pihak Belanda (pada waktu itu masih VOC) seakan mengadopsi jalan yang pernah ditempuh oleh Portugis. Mereka menyebarkan pengaruhnya juga dengan cara mendirikan sekolah. Tapi terlihat sangat jelas, di awal-awal pertumbuhan sekolah di nusantara, VOC sama sekali tak benar-benar berniat untuk membuat rakyat Indonesia pandai. VOC hanya membuat lembaga sekolah sesuai kebutuhan mereka sendiri.

Sekolah yang dibentuk oleh VOC ada di daerah Ternate dan sekitarnya, kemudian Batavia (Batavia akhirnya menjadi pusat pergerakan mereka).

Sebenarnya, masalah pendidikan memang bukan urusan VOC. Mereka bergerak di bidang dagang (yang bersifat menghisap). Tak heran bila ada catatan yang mengabarkan bahwa pada tahun 1779 murid-murid VOC di pantai barat pulau Sumatera hanya sebanyak 37 orang saja. Ini menunjukkan kurangnya perhatian mereka terhadap bidang pendidikan, karena jauh sebelumnya mereka juga berkuasa di daerah ini (akhir abad 16, setelah Portugis).

Pada 1 Januari 1800, VOC dibubarkan oleh pemerintah kerajaan Belanda, setelah sebelumnya mengalami kemunduran dan kemerosotan yang dahsyat. Ini berkaitan dengan mental para karyawan VOC itu sendiri yang senang korupsi dll. Mental yang menular ke penduduk pribumi.

Semenjak itu seluruh daerah Indonesia menjadi tanah jajahan Kerajaan Belanda yang diurus oleh suatu badan yang bernama Aziatische Road. Seluruh kekayaan perusahaan VOC dan seluruh hutang piutangnya jatuh ke tangan Kerajaan Belanda yang pada saat itu masih berstatus sebagai Bataafsche Republik yang tunduk kepada Perancis.

Apakah pergantian ini akan membawa dampak perubahan di bidang pendidikan? Mari kita lanjutkan. Sekarang kita membahas sedikit saja masa-masa singkat kepemimpinan Deandels di Jawa.

Pendidikan Indonesia di Masa Deandels

Semoga anda tidak berharap saya akan menuliskan tentang proses pembangunan Jalan Raya Pos Anyer - Panarukan, karena saya memang tidak hendak menuliskan itu.

Setelah VOC dibubarkan dan selama Belanda masih berstatus Bataafsche Republik, diutuslah Mr. Herman Daendels ke Indonesia. Deandels diberi jabatan sebagai Gubernur Jenderal yang baru pada tahun 1808.

Deandels memang kejam, dialah tokoh yang memerintahkan pembuatan jalan sepanjang 1000 km hanya dalam waktu setahun saja. Jika ada yang tidak bekerja sesuai seleranya, maka matilah. Jalur Anyer - Panarukan sendiri dikabarkan memakan korban sebanyak 12 ribu jiwa. Tapi itu kan yang tercatat, bisa jadi jauh lebih banyak dari itu. dan saya sendiri kok yakin ya, kalau korbannya jauh lebih banyak dari angka 12. 000. Benar-benar masa genosida, pembantaian besar-besaran.

Terlepas dari itu semua, saya mencoba menghadirkan sosok Deandels dari sisi yang lain.

Bicara tentang Deandels sama seperti membicarakan sosok Descartes. Ya, Daendels terobsesi dengan pemikiran Descartes yang ingin mengenalkan ilmu pengetahuan kepada banyak orang. Dan itu coba Deandels hadirkan di bumi pertiwi, berkebalikan dengan sosoknya yang sepintas sangat terilhat sombong dan metao. Tapi tak apalah, saya akan tetap menuliskannya dan memandang sosok Deandels dari berbagai sisi.

Di media kompasiana, saya mendapati tulisan bergizi dari seorang kompasianer bernama Anton Dwisunu Hanung Nugrahanto. Dia menulis artikel berjudul, Bapak Pendidikan Kita: Daendels atau Ki Hadjar Dewantara?

Jika tertarik, anda bisa membacanya di sini.

Mas Anton DH Nugrahanto menuliskan, bahwa pada tahun 1811 (di Batavia), Daendels melihat begitu banyak kematian bayi-bayi, dan tidak adanya perawatan kesehatan. Itu membuat Daendels memerintahkan dibentuknya sekolah bidan. Bisa dibilang, ini merupakan sekolah kedokteran tahap pertama sebelum adanya sistem pendidikan yang sistematis pada masa-masa selanjutnya.

Wah, saya tercengang oleh kenyataan ini. Bisa jadi, sekolah kebidanan bentukan Deandels adalah cikal bakal berdirinya STOVIA (sekolah juru kesehatan) pada 2 Januari 1849.

Ada hebatnya juga si Daendels ini. Dia membangun pendidikan tanpa jiwa nasionalisme, melainkan hanya sekedar ingin menyebarkan ilmu pengetahuan.

Alasan Kenapa Belanda Merasa Perlu Mendirikan Pendidikan di Indonesia

Sudah saya tuliskan di artikel-artikel sebelumnya tentang kenapa Belanda menyelenggarakan pendidikan di negeri ini. Tidak jauh berbeda dengan ketika pertama kali Portugis datang ke Indonesia (dan membentuk sekolah-sekolah), Belanda juga memiliki agenda agama untuk negeri jajahannya. Terbukti oleh langkah-langkah para misionaris di awal kedatangan Belanda.

Cerminan politik di masa itu (seratus tahun pertama keberadaan Belanda di Indonesia), semuanya bergerak di zona agama. Dan bidang penelitian adalah wilayah kerja para misionaris.

Kemudian Belanda kembali memikirkan situasi politik tersebut. Ini adalah gambaran situasi yang mudah memercikkan api dan bisa menimbulkan ketegangan antara misionaris dan pemimpin Muslim.

Pemerintah Kerajaan Belanda berkeyakinan, mengganti peran misionaris dengan lembaga penelitian sekuler bisa meminimalisasi konflik tersebut. Lembaga penelitian juga lebih efisien ketimbang menggunakan jasa misionaris. Dan kemudian lahirlah sebuah lembaga penelitian pertama di Hindia Belanda, bernama Bataviasche Genootschap van Kusten en Westenscappen. Lahir pada 1778.

Bataviasche Genootschap van Kusten en Westenscappen bergerak dalam bidang sosial, humaniora dan ilmu alam, dengan agenda untuk meng-advokasi perdagangan, kesejahteraan sosial, dan persoalan pertanian di Indonesia. Lalu pada 1851, upaya penelitian tersebut dilembagakan dalam lembaga bernama KITLV. Anda bisa membacanya di artikel saya yang berjudul, Peran KITLV Untuk Belanda dan Indonesia.

Jadi, alasan pertama kenapa Belanda merasa perlu mendirikan pendidikan di Indonesia adalah karena poros agama.

Anda yang suka dan ingin mencari tahu latar belakang dunia pendidikan dan budaya di masa itu, silahkan membaca karya Prof. Dr. Mohammad Dimyati, berjudul: LANDASAN PENDIDIKAN, Analisis Keilmuan, Teorisasi, dan Praktek Pendidikan. Tulisan (format PDF) bisa anda temukan di sini.

Saya sudah menulis banyak hal tentang pendidikan di masa Hindia Belanda abad XIX, anda cukup menelusurinya di artikel-artikel dalam blog sederhana ini. Jika saya meringkasnya (ditambah dengan sumber yang baru), maka akan tertulis seperti ini.

Catatan Ringkas Mengenai Landasan Pendidikan di Masa Hindia Belanda

1779 - Tercatat bahwa murid-murid ( di sekolah bentukan VOC) di pantai barat pulau Sumatera hanya sebanyak 37 orang saja.

1811 - Dibentuk sekolah bidan oleh Deandels.

Sedikit sisipan : Indonesia di masa jajahan Inggris, 1811 - 1816

Sejarah mencatat, bahwa antara tahun 1811 hingga 1816, terjadi pergumulan besar di Indonesia, antara dua kekuatan. Ketika itu pertahanan Daendels dijebolkan oleh Inggris. Kekuasaan akan Indonesia berpindah ke tangan Inggris, antara tahun 1811 - 1816. Indonesia ada di bawah pengawasan Lord Minto, seorang Gubernur Jendral Inggris untuk jajahannya di Asia Selatan-Tenggara yang berkedudukan di Kalkuta. Berlaku sebagai Wakil Gubernur Jendral Inggris adalah Letnan Jendral Raffles

Di masa ini tidak ada catatan yang menyinggung dunia pendidikan (atau mungkin saya tidak berhasil menemukannya).

Oleh sebab perkembangan politik di Eropa yang tidak stabil, Indonesia diserahkan kembali kepada Belanda oleh perwakilan Inggris bernama John Fendall (yang menggantikan Raffles). Ini terjadi pada 12 Maret 1816.

Kisah tentang pendidikan di Indonesia berlanjut pada 1818.

1818 - Adanya peraturan pemerintah (kerajaan Belanda di Indonesia) yang menetapkan bahwa pribumi diperbolehkan untuk sekolah di sekolah-sekolah Belanda. Selanjutnya pemerintah akan menetapkan peraturan-peraturan mengenai tata tertib yang diperlukan sekolah-sekolah bagi pribumi itu.

Sayangnya, saat itu kondisi politik di Jawa tidak memungkinkan bagi pemerintah untuk dapat segera merealisasikan peraturan tersebut. Hal ini diakibatkan oleh adanya perang Jawa (Perang Diponegoro 1825 - 1830 yang menyebabkan Londo bangkrut total, haha.. kapok koen le) dan Cultuur Stelsel yang sangat menyita perhatian pemerintah.

1948 - Tahun ini pihak Belanda baru bisa merealisasikan gagasan sebelumnya (1818). Dan pada 1848 pula, untuk pertama kalinya pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan pendidikan dasar untuk masyarakat pribumi.

1856 - bahasa Belanda mulai diajarkan, murid sekolah tersebut bertambah bangga oleh sebab kepandaiannya mempergunakan bahasa asing. Ini berpengaruh pada peningkatan derajat mereka di tengah masyarakat.

1871 - bahasa Belanda sudah merupakan bahasa wajib yang harus dipelajari oleh semua murid dan harus lulus dengan baik. Tamatan Sekolah-sekolah harus pandai berbahasa Belanda dengan lancar. Semenjak itu ukuran kepandaian murid adalah kecakapan mereka dalam mempergunakan bahasa Belanda sehari-hari.

1885 - bahasa Belanda dijadikan bahasa pengantar di Sekolah.

Sewaktu bahasa Belanda sudah merupakan bahasa Wajib di Sekolah, sekolah lain yang lebih rendah tingkatannya sudah banyak didirikan oleh Belanda seperti sekolah Valksschool, Vervolgschool, Sekolah Kelas Satu, Normaalschool, dan beberapa lagi.

Sejarah mencatat, bahwa tidak semua sekolah di Indonesia menggunakan pengantar berbahasa Belanda. Ini adalah kepincangan tersendiri.

1892 - Adanya penyempurnaan kembali peraturan tahun 1848. Bunyinya berkisar pada keharusan untuk membuat pendidikan dasar pada setiap Karesidenan, Kabupaten, Kawedanaan, atau pusat-pusat kerajinan, perdagangan, atau tempat yang dianggap perlu.

1898 - Lebih menyempurnakan kembali konsep dan peraturan seputar pendidikan. Tercatat bahwa penerapan konsep yang disempurnakan ini dilakukan pada 1901, di pembuka abad XX dan awal politik etis.

1899 - Seorang ahli hukum Belanda bernama Conrad Theodore van Deventer mencetuskan gagasannya (pada 1899) tentang politik balas budi atau lebih dikenal dengan Politik Etis. Segala hal tentang van Deventer bisa anda baca di wiki.

Politik etis gagasan van Deventer diarahkan untuk kepentingan penduduk bumi putera dengan cara memajukan penduduk asli secepat-cepatnya melalui pendidikan secara barat.

Pemerintah mendasarkan kebijaksanaannya pada pokok-pokok pikiran sebagai berikut:

1. Pendidikan dan pengetahuan barat diterapkan sebanyak mungkin bagi golongan penduduk bumi putera.

2. Pemberian pendidikan rendah bagi golonan bumiputera disesuaikan dengan kebutuhan mereka.

Wah, panjang sekali artikel ini, apa ada yang baca ya? Maaf sekali untuk para pembaca. Mata anda pasti lelah saat membaca tulisan ini di layar monitor. Sekali-sekali selingi dengan nyruput kopi yah, hehe. Gak apa-apa lah tulisannya panjang, sekalian saya belajar lagi. Sewaktu-waktu saya butuh, maka saya tahu harus mengintip kemana.

Sebagai penutup untuk ulasa Pendidikan di masa Hindia Belanda, saya hanya akan mengingatkan (diri saya sendiri) tentang garis-garis besar tujuan pendidikan di masa itu. Berikut adalah ringkasannya yang terbagi dalam empat poin.

1. Pemerintah Belanda (di Indonesia) berusaha untuk tidak memihak kepada salah satu agama tertentu. Muatan tentang agama-nya kering. Yang saya maksud adalah agama yang dipeluk oleh penduduk lokal (yang tidak sama dengan agama yang dianut Belanda).

Kadang para siswa pribumi dipaksa untuk menghapal nama-nama kota di Belanda. Ini jelas nampak sangat lucu. Pribumi lebih senang menjuluki konsep pendidikan Belanda ini dengan nama pendidikan sekuler.

2. Pendidikan jaman Hindia Belanda kering muatan lokal, seperti sengaja tidak untuk mencetak siswa yang dapat hidup selaras dengan lingkungan, tetapi supaya anak didik di kelak kemudian hari dapat mencari penghidupan atau pekerjaan demi untuk kepentingan pemerintah. Pantaslah jika sampai hari ini cita-cita menjadi pegawai di instansi yang dianggap 'aman' masih populer.

3. Pendidikan di masa Hindia Belanda tidak mengenal kata setara, sebuah kata yang biasa diperjuangkan oleh kawan-kawan punk di abad XX. Sistem persekolahan disusun menurut perbedaan lapisan sosial yang ada dalam masyarakat Indonesia, khususnya di pulau Jawa.

4. Pengukuhan atas golongan priyayi. Karena pada umumnya, pendidikan diarahkan untuk membentuk suatu golongan elite sosial agar dapat dipakai sebagai alat bagi kepentingan atau keperluan supremasi politik dan ekonomi Belanda di Indonesia.

Pendidikan Indonesia di Masa Jepang

Saat Jepang menyerang Indonesia dimulai dari Sumatra Selatan (Februari 1942) kemudian Jawa, ada perubahan besar-besaran di bidang pendidikan kita. Berikut adalah poin-poin pentingnya.

1. Sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan Pasifik. Ini berhubungan erat dengan motto, Kemakmuran Bersama Asia Raya.

2. Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda.

Hal ini ditandai dengan ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya.

Termasuk yang harus ditutup adalah Hollandsche Chineesche School atau HCS, sehingga memaksa peranakan China kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi pada adanya proses resinification (penyadaran dan penegasan identitas sebagai keturunan bangsa China).

3. Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.

4. Jepang memandang perlu untuk melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya.

Pendidikan Indonesia di Awal Kemerdekaan

Setelah Indonesia merdeka, pemerintah yang baru di bentuk menunjuk Ki Hajar Dewantara sebagai Menteri Pendidikan dan Pengajaran. Masa kerjanya singkat, mulai 19 Agustus 1945 hingga14 November 1945. Menteri selanjutnya juga memiliki masa kerja (pengabdian) yang singkat.

Oleh sebab masa jabatan yang umumnya amat singkat tersebut, pada dasarnya tidak bayak yang dapat diperbuat oleh para Menteri Pendidikan dan Pengajaran, selain hanya memperluas konsep yang sudah ada sebelumnya.

Kurikulum sekolah di masa itu memiliki tujuan sebagai berikut:

• Meningkatkan kesadaran bernegara dan bermasyarakat
• Meningkatkan pendidikan jasmani,
• Meningkatkan pendidikan watak,
• Memberikan perhatian terhafap kesenian,
• Menghubungkan isi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari,
• Mengurangi pendidikan pikiran.

Meletusnya G 30 S / PKI juga mempengaruhi perjalanan pendidikan di Indonesia. Pasca kejadian tersebut, diadakanlah perubahan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional yaitu, “Membentuk manusia pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikenhendaki oleh pembukaan UUD 1945”. Hal ini tercatat dalam TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan, dan kebudayaan.

Sistem pendidikan di Indonesia meliputi tiga tingkatan yaitu pendidikan rendah, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

1. Pendidikan rendah adalah Sekolah Rakyat (SR) 6 tahun.

2. Pendidikan menengah terdiri dari sekolah menengah pertama dan sekolah menengah tinggi. Berikut adalah jenis-jenis sekolah menengah pertama.

Sekolah Menengah Pertama, masa studi tiga tahun

- SMP : Sekolah Menengah Pertama, sebagai sekolah menengah pertama yang sifatnya umum
- STP : Sekolah Teknik Pertama
- ST : Sekolah Teknik
- KKN : Kursus Kerajinan negeri
- SKP : Sekolah Kepandaian Putri (dan sekolah dagang), sebagai sekolah menengah pertama kejuruan.
- SGB : Sekolah Guru B
- SGC : Sekolah Guru C

Sekolah Menengah Tinggi, masa studi tiga tahun

- SMT : Sekolah Menengah Tinggi, sebagai sekolah menengah umum
- STM : Sekolah Teknik Menengah
- SGKP : Sekolah Guru Kepandaian Putri
- SGA : Sekolah Guru A
- Kursus Guru

Pendidikan Indonesia Periode 1969 - 1994

Selama rentang waktu 25 tahun tersebut, pendidikan di negeri ini mengalami banyak kemajuan di beberapa sisi.

Hal ini setidaknya ditandai oleh tiga hal:

1. Semakin luasnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan pada semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan

2. Meningkatnya jumlah sarana dan prasarana pendidikan yang tersedia serta tenaga yang terlibat dalam pendidikan.

3. Meningkatnya mutu pendidikan dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.

Periode ini dianggap sebagai periode pendidikan Indonesia yang semakin mantab. Apalagi dengan disahkan UU No. 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional beserta sejumlah peraturan pemerintah yang menyertainya.

Namun demikian, bukan berarti periode ini tanpa hambatan. Setidaknya ada dua hal yang bisa kita kolomkan.

1. Belum tercapainya pemerataan kesempatan untuk mamperoleh pendidikan (terutama SD).
2. Mutu pendidikan yang masih terus menerus diupayakan dengan cara peningkatan relefansi pendidikan, efektifitas, dan efisiensi pendidikan. Semuanya untuk menuju pendidikan Indonesia yang lebih baik.

Dua hal yang tidak bisa dilupakan dalam periode ini.

1. 2 Mei 1984 - Indonesia memulai wajib belajar 6 tahun untuk tingkat SD
2. 2 Mei 1994 - Indonesia memulai wajib belajar 9 tahun untuk tingkat SMP

Pendidikan Indonesia di Masa Sekarang

Bagaimana dengan pendidikan Indonesia di masa sekarang? Sepertinya kita sendiri yang harus menjawabnya. Terima kasih.

Salam Gaya Bulbul!
RZ Hakim © 2014